17 C
New York
Wednesday, May 15, 2024

Generasi Milenial Batu Silangit, Berniat Wujudkan Desanya jadi Kampung Pakan    

Simalungun, MISTAR.ID

Menuju Desa (Nagori) Batu Silangit di Kecamatan Tapian Dolok, Kabupaten Simalungun, butuh perjalanan lebih kurang 7 km dari simpang Dolok Ulu jalan Medan-Pematangsiantar.

Infrastruktur menuju desa itu, terlihat masih memprihatinkan. Melewati kawasan perkebunan karet milik salah satu perusahaan perkebunan swasta ternama. Kita harus melintasi jalan tanah berbatu (sirtu) yang lebarnya pas-pasan untuk ukuran dua mobil pribadi.

Desa itu, masih begitu asri. Dikelilingi pepohonan dan perladangan yang didominasi ladang ubi kayu. Penduduknya mayoritas suku Jawa, tutur sapanya sangat ramah, demikian juga kalangan pemudanya, begitu santun dalam bertutur sapa. Suasana desa, begitu terasa di perkampungan itu. Sehinga komunikasi terasa sangat akrab.

Baca Juga: Generasi Milenial Harus Bijak Serap Informasi Halal

Sesampainya di desa itu, puluhan petani bersama kalangan pemuda/pemudi dan remaja, terlihat begitu ramah menyambut kedatangan wartawan Mistar didampingi pengusaha ikan dari Parapat, Kecamatan Girsang Sipangan Bolon Eripson Ginting yang memang sudah direncanakan untuk wawancara mengenai pertanian dan harapan kalangan milenial desa itu.

Generasi milenial Batu Silangit dengan aneka kuliner usaha rumahannya.(foto:maris/mistar)

Sebuah rumah sederhana milik Aminuddin Purba, adalah rumah yang dijadikan untuk tempat pertemuan Mistar dengan warga desa yang mayoritas kehidupannya dari sektor pertanian.

Tak lama, suguhan sangat sederhana disajikan kalangan pemuda dan pemudi desa itu, berupa teh manis dan kerupuk semprong yang disediakan dalam piring. Duduk di atas tikar plastik yang memang sudah disediakan.

Baca Juga: SMAN 1 Tarutung Gelar Seminar, Kaum Milenial Jangan Takut Hadapi Perubahan

Menyusul suguhan lainnya, berupa keripik singkong, roti manis, wajik bandung yang keseluruhannya hasil produksi usaha rumahan warga desa.

Beberapa pemuka desa ikut nimbrung dalam silaturahmi itu. Diantaranya pak Sarwan, Tukiman (68) yang dikenal sebagai mantan pengurus kelompok tani (Poktan), Suhety seorang pengrajin wajik bandung.

Juga kalangan milenial desa ikut hadir. Diantaranya, Aris, Dea Aulia, Putri, Sri dan puluhan kelompok milenial Nagori Batu Silangit, Kecamatan Tapian Dolok.

Baca Juga: Milenial Sumut Sepakat Melakukan Pencegahan Peningkatan Covid-19

Kedatangan Mistar ke desa itu, tak lain untuk wawancara mengenai keluhan dan harapan-harapan dari warga desa, khususnya keluhan dan harapan kalangan milenial Nagori Batu Silangit.

Dalam pertemuan itu, para petani desa dan kalangan milenial Batu Silangit, sangat berkeinginan membangun desa mereka, tentu semua itu melalui kerja keras dan mereka mengaku sudah siap untuk itu.

“Kami warga desa ini, tidak membutuhkan bantuan dalam bentuk uang atau belas kasihan pak. Kami hanya butuh agar benar-benar diperhatikan bagaimana kami di desa ini bisa hidup trampil dalam berusaha untuk mandiri. Kami ingin hidup dari jerih payah kami. Karena kami yakin itu bisa kami lakukan. Untuk itu kami sangat berharap agar pemerintah maupun kalangan pengusaha mau membantu kami,” ujar Sarwan mewakili para petani desa yang hadir.

Baca Juga: Milenial Paling Banyak Ditolak Bank Saat Ajukan KPR

Mantan Pengurus Poktan, Tukiman mengamini apa yang dikatakan Sarwan. Dia menambahkan, untuk mendapatkan pupuk bersubsidi saja mereka sangat susah. Dan ini kata dia sudah sangat lama terjadi, mereka terpaksa membeli pupuk non subsidi yang harganya jauh lebih mahal.

Pertanian warga desa yang dominan tanaman ubi kayu, hasilnya kata Tukiman sangat sedikit, hanya sekitar 20 ton per hektar. Hasil ini diakuinya sangat rendah dibandingkan hasil pertanian di daerah lain yang mampu menghasilkan sedikitnya 60 ton per hektar sekali panen, karena di daerah lain pupuknya cukup.

“Poktan kami sudah lama tidak aktif, dan rencananya kami akan mengaktifkan kembali untuk mendukung anak-anak muda desa yang bertekat untuk membuat kelompok milneial bidang pertanian,” ujar Sarman didampingi boru Saragih pengusaha ternak lele dumbo.

Para petani itu mengakui, niat dari kalangan milenial lahir dari dorongan seorang ibu rumah tangga bermarga Saragih yang suaminya seorang dokter bermarga Siahaan.

“Kami sangat termotivasi karena bimbingan dari ibu itu (boru Saragih). Semangat kami bangkit untuk jadi pelaku usaha rumahan di desa kami ini,” ujar seorang remaja putri mengaku bernama Sri.

Kaum muda desa itu, mengaku tidak butuh untuk dikasihani, tapi yang mereka inginkan bagaimana agar mereka dapat menjadi orang yang trampil dan terlatih, tahu cara berwira usaha dengan baik dan benar.

“Kami butuh agar ada pelatihan-pelatihan kepada kami kaum muda dan remaja di desa ini. Kami sudah bertekad menjadikan kampung kami sebagai kampung pakan dan kampung lele,” sambung Aris seorang remaja pembuat gaplek ubi.

Kehidupan sebagian warga di desa itu, memang masih memprihatinkan. Bahkan kaum usia lanjut yang seharusnya sudah pensiun dari kerja berat, kenyataannya setiap hari masih harus bekerja sebagai buruh di perkebunan milik swasta maupun bekerja kepada orang lain. Semua itu demi sesuap nasi.

“Saya sangat prihatin melihat ibu-ibu yang usianya sudah lanjut, tapi masih bekerja sebagai buruh di ladang dan kebun orang. Apalagi sekarang masa pandemi corona, susah cari makan,” imbuh boru Saragih yang sekarang membuka usaha ternak lele dumbo didampingi suaminya dr.D.Siahaan.

Dari bincang-bincang dengan Mistar di desa itu, terrangkum beberapa harapan yang diinginkan para petani dan kalangan milenial desa. Harapan-harapan ini sudah lama mereka impikan.

Harapan pertama mereka. Perlunya ada pelatihan berbagai bidang yang berhubungan dengan pertanian dan peternakan, misalnya ternak lele dan ternak kambing serta pengolahan pakannya.

Cita-cita besar mereka, adalah menjadikan kampung Batu Silangit sebagai ‘Kampung Pakan’ dan ‘Kampung Lele’. Alasan mereka, karena kampung mereka dikenal sebagai penghasil ubi kayu, kemudian dibuat jadi gaplek untuk bahan baku pakan ternak dan pakan ikan.

Setelah itu berjalan, mereka juga ingin agar pemerintah membantu untuk pemasarannya, misalnya mendorong agar perusahaan-perusahaan pakan yang sudah ada mau menampung hasil gaplek mereka.

Demikin juga tentang lahan tidur yang masih banyak di desa itu, agar pemerintah mendorong dan memberi kemudahan kepada warga desa, agar lahan tidur itu dapat dimanfaatkan demi menunjang program ketahanan pangan. Mereka tak berani memanfaatkan lahan tidur kalau tidak ada ijin dari pemilik lahan.(maris/hm02)

 

 

 

 

Related Articles

Latest Articles