13.2 C
New York
Thursday, May 2, 2024

Prokes Harga Mati, Kepala Daerah Bisa Dicopot

Jakarta, MISTAR.ID

Kerumunan dan keramaian sangat berpotensi mengabaikan protokol kesehatan. Untuk itu, para kepala daerah, termasuk pangdam dan kapolda, diminta untuk melarang semua bentuk kegiatan pengumpulan massa. Bagi yang melanggar akan dikenakan sangsi bahkan pencopotan.

Termasuk para tokoh agama, ulama, dan masyarakat atau siapa pun agar menunda segala bentuk aktivitas yang berpotensi menimbulkan kerumunan dan melanggar protokol kesehatan.

“Siapa pun yang punya niat berkunjung ke daerah, membuat acara, dan berpotensi menimbulkan kerumunan serta melanggar protokol kesehatan wajib dilarang. Ini demi menyelamatkan rakyat kita agar terhindar dari penularan virus corona (Covid-19),” tegas Ketua Satgas Penanganan Covid-19 Letjen TNI Doni Monardo di Bandara Halim Perdana Kusuma, Jakarta, sebelum melakukan kunjungan kerja ke Yogyakarta kemarin.

Baca Juga:Wagubsu Ingatkan Masyarakat Tetap Jaga Protokol Kesehatan   

Sebelum terbang, Doni melakukan percakapan via telepon dengan Gubernur Sumatera Utara Edy Rahmayadi. Dia menyampaikan, belajar dari kejadian di Jakarta beberapa hari lalu, Gubernur wajib melakukan pencegahan agar tidak terjadi pengumpulan massa dalam bentuk acara apa pun di masa mendatang. “Semua kegiatan wajib taat dan patuh pada protokol kesehatan. Protokol kesehatan adalah harga mati,” tegasnya.

Doni berharap para gubernur, pangdam, dan kapolda bisa segera membuat jumpa pers sekaligus menyampaikan ke publik bahwa di masa pandemi ini kita harus disiplin dan patuh pada protokol kesehatan sesuai dengan arahan Presiden.

Menurutnya, kasus kerumunan di Jakarta jika terlambat dicegah dan saat massa sudah berkumpul dan dibubarkan sangat berpotensi terjadi gesekan. Sebab kalau massa sudah berkumpul dan dipaksa bubar, bisa terjadi hal-hal yang tidak diinginkan.

Makanya imbauan untuk tidak berkumpul harus dilakukan sejak awal agar kerumunan yang melanggar protokol kesehatan tidak terjadi. “Ingat, Covid ini nyata, bukan konspirasi. Yang meninggal di Indonesia sudah lebih dari 15.000 orang dan di dunia lebih 1,5 juta jiwa,” tegas mantan Komandan Jenderal Komando Pasukan Khusus (Kopassus) itu.

Baca Juga:Mardohar: Jangan Kendor Tegakkan Protokol Kesehatan

Doni berjanji menelepon satu per satu gubernur, pangdam, dan kapolda seluruh Indonesia untuk mengingatkan agar benar-benar menjalankan larangan kerumunan massa. “Jika para pemimpin di daerah tegas menjalankan dan mematuhi protokol kesehatan, kita sudah melindungi rakyat kita,” tandasnya.

Menurut Doni, percepatan penanganan membutuhkan peran serta semua pihak. Tanpa dukungan kolektif dari masyarakat, rantai penyebaran Covid-19 akan terus terjadi. Menghindari kerumunan, salah satunya, menjadi langkah yang nyata untuk memutus rantai penyebaran tersebut. “Upaya bersama dalam perubahan perilaku dibutuhkan dalam adaptasi masa pandemi ini. Salus populi suprema lex esto, keselamatan rakyat adalah hukum tertinggi,” sebut Doni.

Ancaman Pencopotan

Di bagian lain, Menteri Dalam Negeri (Mendagri) Tito Karnavian menerbitkan Instruksi Mendagri Nomor 6/2020 tentang Penegakan Protokol Kesehatan untuk Pengendalian Penyebaran Covid-19. Instruksi ini diterbitkan untuk menindaklanjuti arahan Presiden Joko Widodo (Jokowi) pada rapat terbatas Senin lalu agar kepala daerah konsisten menegakkan protokol kesehatan. Melalui instruksi itu Tito menegaskan pemerintah pusat bisa memberhentikan kepala daerah jika terbukti melanggar protokol kesehatan Covid-19.

Baca Juga:Abaikan Prokes, Warga Disuruh Push Up dan Menyanyikan Lagu Indonesia Raya

Gubernur Sulawesi Selatan Nurdin Abdullah mengaku instruksi Mendagri perlu ditanggapi dengan bijak. Menurut dia, instruksi itu terbit atas berbagai pertimbangan yang sudah dilakukan Mendagri. Namun, kata dia, pemberian sanksi tidak bisa serta-merta dilakukan. Ada rambu-rambu lain yang mesti dijadikan dasar yang jadi pertimbangan dalam menghukum seseorang. “Kecuali rambu-rambu itu sudah dihilangkan, dihapus, diubah. Jadi saya kira kita menerjemahkan (instruksi) Menteri Dalam Negeri juga secara arif dan bijaksana,” ucap Nurdin.

Dia melanjutkan, kalaupun ada seorang kepala daerah yang dianggap melanggar, harus diproses lebih dulu untuk memastikan jenis dan bentuk sanksi yang akan diberikan jika sudah terbukti bersalah. “Karena mereka juga punya hak untuk membela. Makanya dalam pengambilan keputusan menghukum orang, kita harus melihat dulu dari awal proses, terus lihat aturan yang kira-kira yang bisa kita berikan,” sambung dia.

Anggota Komisi II DPR RI dari Fraksi PKS Mardani Ali Sera sependapat bahwa protokol kesehatan (prokes) Covid-19 harus dijalankan secara konsisten oleh semua pihak. “Penerapan prokes wajib ditegakkan. Karena pandemi corona (Covid-19), tidak bisa dilakukan dengan disiplin setengah-setengah,” kata Mardani.

Baca Juga:Penyebaran Covid-19 di Toba Masih Tinggi, Warga Diimbau Patuhi Prokes

Namun dia mengingatkan bahwa jangan ada pendekatan hukum yang tidak adil. Kasus pemanggilan Gubernur DKI Anies Baswedan oleh Polda Metro Jaya harus diterapkan juga ke kepala daerah lain yang dinilai melalukan pelanggaran serupa. “Jangan ada pendekatan penegakan hukum yang tidak adil. Kisah pemanggilan Gubernur DKI mesti diikuti jika ada kepala daerah lain yang juga melanggar,” tegas legislator asal DKI Jakarta itu.

Direktur Pusat Studi dan Kajian Konstitusi (Pusako) Fakultas Hukum Universitas Andalas Feri Amsari angkat bicara soal diterbitkannya instruksi Mendagri yang menyebut bahwa pemerintah bisa memberhentikan kepala daerah jika terbukti melanggar protokol kesehatan. “Secara prinsip instruksi ini tidak diperlukam karena telah diatur dalam UU Pemda soal pemberhentian,” kata Feri.

Feri khawatir instruksi tersebut justru diterbitkan hanya karena ada kaitan dengan situasi kekinian. Dalam hal ini dia menyinggung kasus yang menyeret Gubernur DKI Jakarta Anies Rasyid Baswedan.

Dia menjelaskan bahwa siapa pun kepala daerah yang melanggar undang-undang (UU) dapat dimakzulkan (dilakukan impeachment). Kendati demikian, proses pemberhentian juga tidak mudah. Urusan pemakzulan, lanjut Feri, bukanlah kewenangan Mendagri atau pemerintah pada ujungnya, melainkan Mahkamah Agung (MA). “MA adalah ujung akhir proses pemberhentian,” ujar dia. (sndo/hm19)

Related Articles

Latest Articles