15.9 C
New York
Wednesday, May 15, 2024

Dari Danau Toba, Aktivis Perempuan Desak W20 Lindungi Hak-hak Perempuan Adat

Simalungun, MISTAR.ID

Sebuah banner raksasa bertuliskan “Perempuan Sumatera Utara Lawan Deforestasi” terapung di atas danau Toba. Banner tersebut dibentangkan oleh sejumlah aktivis serta para perempuan pedesaan Toba, pada Rabu (20/7/22).

Lewat aksi tersebut, mereka menyampaikan pesan kepada para partisipan W20 Summit di Parapat, betapa pentingnya menjaga hutan dan hak-hak masyarakat adat, khususnya perempuan adat dari ancaman deforestasi dan eksploitasi lahan.

“Aksi ini adalah bentuk penyampaian aspirasi kami bahwa pertemuan W20 Summit yang mengedepankan isu kesetaraan dan diskriminasi gender, ekonomi inklusif, perempuan marjinal dan kesehatan, seharusnya juga berkaca pada apa yang terjadi di hutan Sumatera Utara dan sekitarnya,” ucap Sekar Banjaran Aji, Juru Kampanye Hutan Greenpeace Indonesia melalui siaran pers yang dibagikan melalui whatsapp.

Baca Juga:W20 Summit 2022 Diharapkan Bawa Kemajuan Pariwisata Simalungun

“Banyak masyarakat adat khususnya perempuan adat dan pedesaan terpaksa kehilangan ruang hidupnya, akibat perampasan tanah dan hutan yang dilakukan perusahaan-perusahaan besar, demi meraup keuntungan semata,” tegas Sekar Banjaran Aji lagi.

Menurut Sekar, perempuan adat di tanah Sumatera Utara dan hampir seluruh wilayah Indonesia telah lama menjadi korban akibat ketimpangan struktural dan pembangunan eksploitatif yang tidak memperhatikan aspek gender.

Berbagai program pembangunan telah menimbulkan konflik sosial, serta kehancuran lingkungan hidup yang kemudian mengesampingkan dan bahkan melanggar hak-hak perempuan.

Baca Juga:Sandiaga Uno: W20 Momentum Promosikan Danau Toba

Menurut mereka, kelompok perempuan adalah kelompok yang paling rentan kehilangan sumber penghidupan akibat kasus penghancuran hutan dan perampasan lahan, serta seringkali juga mengalami kekerasan di wilayah-wilayah konflik agraria.

”Meskipun Presiden Jokowi telah menyerahkan 4 SK Hutan Adat di Danau Toba pada awal Februari 2022, namun belum menjawab persoalan masyarakat adat di Danau Toba. Masih banyak konflik agraria yang belum diselesaikan dengan serius,” ucapnya.

Menurut aktivis perempuan itu, atas nama pembangunan perampasan tanah terus terjadi. Selain perampasan tanah adat, kerusakan hutan dan lingkungan juga tidak serius ditangani.

Baca Juga:Summit W20 di Parapat Resmi Dibuka, Prioritas Utama Promosikan Kesetaraan Perempuan di Seluruh Dunia

Sementara itu, KSPPM (Kelompok Studi dan Pengembangan Prakarsa Masyarakat) Rocky Pasaribu mengatakan, bahwa Perampasan tanah yang dilakukan akibat kehadiran perusahaan-perusahaan besar tersebut, merupakan pemiskinan struktural yang telah terjadi lebih dari tiga dekade, dan berkontribusi besar memperburuk kualitas hidup perempuan.

Rocky Pasaribu juga menyebutkan, kehadiran dua perusahaan besar di wilayah itu telah lama merenggut hak-hak perempuan pedesaan di wilayah Toba dan menghancurkan hutan kemenyan. Kerusakan lingkungan hidup yang terjadi menyebabkan krisis iklim yang menyulitkan para petani untuk menentukan musim tanam.

Para petani juga seringkali mengalami gagal panen akibat buruknya cuaca yang tidak dapat diprediksi. Pada pertengahan 2020, datang ancaman baru seiring lahirnya proyek pangan skala besar atau Food Estate. Proyek yang digadang-gadang sebagai program ketahanan pangan untuk menangani krisis pangan di masa yang akan datang, nyatanya malah menghilangkan budaya.

Baca Juga:Ajang W20 Harus Konkret Memberdayakan Perempuan

Pengalaman, dan pengetahuan perempuan dalam corak pertanian lokal. Mereka harus berpatokan pada sistem pasar yang ditentukan oleh pemerintah dan korporasi besar. Menurut para aktivis, proyek tersebut, sama halnya dengan proyek pertanian sebelumnya, hanya akan melahirkan konflik baru, industrialisasi pangan yang mengenyampingkan masyarakat, serta monopolisasi lahan-lahan pertanian, dengan skema yang tampak baik di permukaan saja.

Negara anggota G20 yang merupakan forum ekonomi utama dunia dimana secara kolektif mewakili dua per tiga atau sekitar 65 persen penduduk dunia, 79 persen perdagangan global, dan setidaknya 85 persen perekonomian dunia, memiliki posisi strategis bagi keberlanjutan lingkungan hidup dan penanganan krisis iklim.

Baca Juga:Polda Sumut Perketat Pengamanan Jalur Kegiatan W20 di Toba dan Parapat

Indonesia sebagai pemegang Presidency G20, harus memastikan bahwa ada kesepakatan yang lebih ambisius, yang harus dicapai untuk mengedepankan model pembangunan ekonomi yang berkelanjutan, dengan beralih ke energi terbarukan yang berkeadilan, dan menghentikan kebijakan ekonomi dan pembangunan yang berbasis lahan yang mendorong deforestasi, merampas hak-hak masyarakat adat dan petani, serta hanya menguntungkan segelintir elit.

Dalam aksi tersebut, terdapat beberapa organisasi yang terlibat, yakni KSPPM, Greenpeace, KPA, AKSI, RAN, AMAN, BAKUMSU, BITRA, PDPK, Petrasa, YAK, Yapidi.(roland/hm15)

Related Articles

Latest Articles