13.8 C
New York
Sunday, May 5, 2024

Potret Stunting di Pesisir Medan

Medan, MISTAR.ID

Stunting kerap terjadi pada masyarakat yang tinggal di wilayah pesisir, tak luput salah satunya di pesisir Kota Medan. Selain faktor pendidikan atau kurangnya pengetahuan orang tua tentang gizi anak, persoalan ekonomi juga menjadi penyebabnya.

Dewi Sari (23), warga Medan Labuhan, merupakan orang tua dengan anak stunting. Dewi memiliki tiga anak, pertama usia 7 tahun (laki-laki), kedua usia 5 tahun (perempuan), dan ketiga usia 2 tahun (perempuan).

Anak pertama dan kedua Dewi memiliki tinggi badan tak sampai 100 cm. Padahal tinggi badan ideal anak laki-laki usia 7 tahun sekitar 113 cm, sedangkan tinggi badan ideal anak perempuan usia 5 tahun berkisar 101 cm.

“Saya tidak tahu soal stunting, bagi saya yang penting anak saya sehat,” tutur Dewi saat diwawancarai mengenai stunting di rumahnya, Jalan Young Panah Hijau, Kelurahan Pekan Labuhan, Kecamatan Medan Labuhan, Kota Medan, pada Sabtu (17/9/2022).

Dewi mengakui pada usia muda telah menikah karena faktor ekonomi, sehingga kini memiliki tiga anak. “Saya menikah ketika usia 15 tahun, saat masih SMP. Bapak hanya bekerja sebagai nelayan, sedangkan ibu tidak ada pekerjaan. Mungkin orang tua saya tidak sanggup lagi menyekolahkan saya. Anaknya ada enam, saya anak terakhir,” ungkap Dewi.

Setelah menikah dengan suaminya, Sabda Sembiring (34) yang merupakan nelayan, beberapa bulan kemudian Dewi hamil. Namun, semasa hamil kebutuhan gizinya tidak terpenuhi seutuhnya. “Tiga bulan setelah menikah, saya hamil anak pertama. Saat hamil, saya tidak pernah minum susu ibu hamil dan jarang makan buah-buahan karena tidak punya uang. Konsumsi vitamin saja hanya yang dikasih bidan,” ujarnya.

Baca juga:Inisiasi Menyusui Dini Sangat Penting untuk Mencegah Stunting pada Anak

Kebutuhan nutrisi Anak tidak terpenuhi

Saat hamil anak pertama kebutuhan nutrisinya tidak terpenuhi. Ini terjadi juga pada masa kehamilan anak kedua dan ketiga Dewi.  Hal ini lantaran penghasilan suaminya tidak tentu sebagai nelayan yang khusus menangkap cumi-cumi.

“Saya hanya ibu rumah tangga. Suami saya tidak setiap hari pulang ke rumah karena melaut, bisa 3-5 hari sekali baru pulang. Bahkan, terkadang saat pulang ke rumah tidak mendapatkan hasil,” sambung Dewi.

Ia menyebutkan, ketika suaminya pulang ke rumah, hasil melaut dijual ke gudang tempat penampungan. Uang yang didapat paling banyak sekitar Rp500 ribu hingga Rp750 ribu. “Hasil tangkapan dijual semua, sayang kalau kami makan sebagian nanti enggak dapat uang. Soalnya, suami saya harus bayar sewa sampan karena bukan punya sendiri. Kami makan nasi sama ikan asin sambal dan sawi rebus sudah cukup,” jelasnya.

Dia menyatakan, tidak ada makanan tambahan untuk gizi ketiga anaknya. “Apa yang saya masak, anak-anak juga ikut makan. Kalau makan buah kadang-kadang, pas lagi ada uang lebih. Itupun buah yang murah dibeli, seperti jeruk atau pisang,” ucapnya.

Lebih lanjut Dewi mengatakan, dia bersama suami dan ketiga anaknya tinggal bersebelahan dengan rumah orang tuanya. Kondisi rumah berbentuk kotak sabun dengan luas sekitar 6×4 meter, atap serta dinding terbuat dari kayu dan tepas. Rumah mereka sengaja dibangun tepat di atas sungai kecil yang tidak begitu jauh bermuara ke laut Belawan, sehingga bisa dijadikan tempat untuk buang air besar atau air kecil.

“Rumah kami tidak ada WC. Air bersih untuk masak, mandi dan nyuci (pakaian), kami harus beli. Harganya, Rp1.000 untuk 1 jerigen kecil. Supaya menghemat, kami menampung air hujan yang bisa digunakan untuk nyuci,” terangnya.

Diutarakan Dewi, anak ketiganya sebelum usia 2 tahun berhenti konsumsi ASI (Air Susu Ibu). Kini, anak bungsunya mengonsumsi air manis atau air putih dicampur gula sebagai pengganti ASI.

“Berhenti ASI karena tidak keluar lagi. Saya coba kasih minum itu (air putih dicampur gula), anak saya suka. Baru 3 bulan ini diminumnya, sehari bisa 5 kali minum,” ucap dia.

Terkait imunisasi lengkap terhadap ketiga anaknya, Dewi mengaku semua anaknya hanya mendapatkan 2 kali imunisasi saja di Posyandu. Ia beralasan karena khawatir anaknya demam setelah imunisasi. “Takut sakit anak saya nanti setelah imunisasi, makanya hanya 2 kali,” pungkasnya.

Tak jauh berbeda diungkapkan keluarga dengan anak stunting lainnya, Farida (25), penduduk Jalan KL Yos Sudarso KM 25, Kelurahan Belawan Bahari, Kecamatan Medan Belawan. Farida memiliki seorang balita berusia 2 tahun yang masih ASI. “Suami saya sehari-hari sebagai nelayan. Setiap hari bisa dapat ikan minimal 3-5 kg. Ikan yang didapat sering dijual semua,” ujarnya.

Farida mengaku kesehariannya mengonsumsi tempe, tahu atau ikan asin yang juga diberikan kepada anaknya. Apabila hasil tangkapan ikan lagi melimpah, barulah memasak ikan. “Jarang dibawa pulang ke rumah hasil melaut, kalau lagi banyak baru bisa dimasak sebagian. Kalau sedikit hasilnya dan disisihkan lagi untuk di rumah, bisa enggak dapat uang nanti,” ungkap dia.

Baca juga:Ketua PKK Pakpak Bharat: Stunting Berkaitan dengan Ekonomi dan Kualitas SDM

Angka stunting meningkat setiap tahun

Sementara itu, Sub Koordinator Kesehatan Keluarga dan Gizi Dinas Kesehatan Kota Medan, dr Shereivia Faradhillah mengatakan, ada 550 anak stunting, dimana 20% di antaranya berusia di atas 2 tahun. Jumlah stunting ini meningkat dari angka tahun lalu yang masih 400-an kasus.

Menurut Shereivia, faktor penyebab stunting terjadi karena masalah gizi. Indikasi yang paling terlihat yaitu tinggi dan berat badan anak. Faktor lain bisa juga disebabkan dari kesehatan lingkungan, pola asuh anak yang salah dalam pemberian gizi, dan akses kesehatan yang kurang.

“Selain itu, stunting juga bisa disebabkan karena ibu hamil kurang konsumsi vitamin dan penambah darah, tidak melakukan pemeriksaan kandungan 4 kali selama kehamilan. Kemudian, pada usia remaja 13-18 tahun tidak dapat tablet penambah darah, serta tidak diberikan edukasi tentang kesehatan reproduksi,” terangnya.

Selanjutnya, stunting juga bisa disebabkan karena balita tidak dibawa ke Posyandu sehingga tidak dapat imunisasi. Balita tidak dapat vitamin A, tidak dipantau tumbuh kembangnya. “Faktor stunting itu banyak, ada yang spesifik dan non spesifik, termasuk soal sanitasi yakni bagaimana kebersihan sehari-hari,” ucapnya.

Shereivia menyebutkan, dari 21 kecamatan yang ada di Medan, Kecamatan Medan Belawan dengan kasus stunting tertinggi. Selain itu, Kecamatan Medan Labuhan tetapi masih lebih rendah dibanding Kecamatan Medan Belawan “Ada 106 kasus di Kecamatan Medan Belawan, yang tertinggi ada di Kelurahan Sicanang dan Kelurahan Belawan Bahari,” pungkas dia.

Baca juga:Cegah Stunting, Nawal Lubis Ajak Masyarakat Tanjungbalai Gemar Makan Ikan

Minim Pengetahuan Orangtua

Terpisah, akademisi dari Universitas Sumatera Utara (USU), Dr Nur Sukmasuri mengatakan, hasil penelitian lapangan yang dilakukannya terkait stunting, anak di Sumut banyak mengalami gizi buruk. “Di Kabupaten Langkat, kami menemukan hampir seluruhnya kaum ibu memberikan SKM (Susu Kental Manis) dan juga air dicampur dengan gula kepada anaknya yang masih balita,” kata Nur yang juga Ketua Pimpinan Wilayah Majelis Aisyiyah Sumut.

Nur melanjutkan, penyebab lain dari stunting di Sumut karena minimnya pengetahuan orang tua tentang gizi anak, pola hidup sehat untuk anak-anak batita, anak usia dini menikah dan faktor ekonomi. “Kebanyakan stunting terjadi karena rendahnya pengetahuan si ibu tentang mengasuh anak, misalnya si ibu mau simpel anaknya tak nangis dan kenyang, ya sudah,” cetusnya.

Kepedulian orang tua yang simpel terhadap anaknya belum bisa membuat anak menjadi sehat. “Enggak sakit kok dia, gemuk kok, aman-aman saja, begitulah pengetahuannya. Padahal anak itu bukan sekarang dilihatnya, tapi nanti 10 tahun lagi baru kelihatan tumbuh kembangnya baik atau tidak. Karena pengetahuan yang kurang, orang tua tidak memikirkan masalah gizi buruk dan stunting. Perlu diingat, 1.000 hari pertama menentukan kualitas seorang bayi, tapi banyak ibu yang mau enak dan simpel saja,” pungkasnya. (anita/hm06)

 

Related Articles

Latest Articles