10.4 C
New York
Saturday, April 20, 2024

Pengamat Politik UMSU Soroti Kekosongan Jabatan Wawako Siantar

Pematang Siantar, MISTAR.ID

Pengisian jabatan Wakil Wali Kota (Wawako) Pematang Siantar yang lowong mendapat tanggapan dari Pengamat Politik dari Fakultas Ilmu Sosial dan Ilmu Politik Universitas Muhammadiyah Sumatera Utara (FISIP UMSU) Shohibul Anshor Siregar, Jumat (21/10/22).

“Pertama, Wakil Kepala Daerah itu adalah salah satu jabatan yang strategis dalam sistem pemerintahan daerah di Indonesia. Suatu jabatan yang sering dikenal sebagai jabatan nomor dua tertinggi di dalam pemerintahan daerah. Mungkin juga kerap disimbolkan dengan angka bahwa Siantar 1 maknanya wali kota dan Siantar 2 adalah Wakil Wali Kota,” ujar Sohibul mengawali tanggapannya.

Kedua, lanjut Shohibul, telah terbukti secara empiris bahwa dalam sejarah pemerintahan daerah tidak jarang kemungkinan suatu saat terjadi kekosongan jabatan wakil kepala daerah itu dikarenakan figurnya berhalangan tetap. Sehingga tidak
memungkinkan lagi baginya untuk dapat mengemban jabatan itu.

Baca Juga:Pencalonan Wawako Siantar Berlarut-larut, ini Kata Pengamat dan Anggota DPR RI

Ketiga, secara yuridis norma dalam UU Nomor 10 Tahun 2016 Tentang Perubahan Kedua Atas UU Nomor 1 Tahun 2015 Tentang Penetapan Pereppu Nomor 1 Tahun 2014 Tentang Pemilihan Gubernur, Bupati, dan Wali Kota menjadi Undang-Undang, tepatnya dalam ketentuan Pasal 176 ayat (4) menghendaki dilakukan pengisian kekosongan jabatan Wakil Kepala Daerah yang masih memiliki sisa masa jabatan selama 18 (delapan belas) bulan lebih.

“Ketiadaan norma hukum yang jelas mengatur mengenai batasan maksimum atau minimum untuk waktu pengisian kekosongan jabatan Wakil Kepala Daerah itu menjadi faktor penyebab sering tidak dilakukannya pengisian kembali jabatan itu di Indonesia. Bisa juga terjadi pengisian jabatan setelah waktu tersisa tinggal beberapa bulan. Semua ini dikarenakan terjadi kekosongan hukum dan multitafsir. Berapa lamakah waktu yang dibutuhkan untuk melakukan pengisian kembali jabatan wakil kepala daerah itu?” tanya dia.

Lebih lanjut, Shohibul mengatakan kasus pengisian jabatan untuk Wakil Gubernur Sumatera Utara pada masa HT Erry Nuradi yang menggantikan gubernur yang berhalangan tetap karena masalah hukum, adalah salah satu contoh.

“Selain itu tidak pula terdapat norma hukum yang mengatur spesifik mengenai bagaimana mekanisme pengisian kekosongan jabatan wakil kepala daerah yang menyebabkan kerumitan mekanisme,” tukasnya.

“Keempat, secara historis dan psikologis. Saya menduga orang Indonesia sebetulnya tidak suka memiliki wakil dalam jabatannya. Soekarno ditinggal sendirian hingga akhir masa jabatan oleh Hatta. Soeharto mempergilirkan orang-orang yang ‘disukainya’ sebagai pendamping (wakil) hingga akhir masa jabatannya,” sambungnya.

Baca Juga:Balon Wawako Siantar akan Dikoordinasikan Setelah Plt Wako Dilantik Jadi Wako

Shohibul menyebut, SBY tidak kompak dengan JK sehingga untuk periode kedua memilih figur lain meski JK masih sangat ingin dalam jabatan itu. Joko Widodo juga tidak begitu harmonis dengan JK, dan untuk periode keduanya memilih Ma’aruf Amin yang juga terkesan kurang harmonis.

“Banyak daerah (provinsi, kabupaten dan kota) di Indonesia yang secara kuat menunjukkan gejala yang sama. Mengapa hal itu terjadi? Mungkin saja sistim paket dalam pemilihan langsung pejabat eksekutif di Indonesia yang meniru demokrasi Barat (Amerika) yang jika dihubungkan dengan fenomena yang terjadi selama ini di Indonesia, adalah sebuah pilihan tergesa-gesa yang lebih mempertimbangkan desakan para konsultan politik dan demokrasi Barat ketimbang nilai-nilai lokal,” paparnya.

Kelima, kata Shohibul, demokrasi sentimental. Di Medan Akhyar Nasution menjadi Pelaksana Tugas (Plt) Wali Kota (Wali kota berhalangan tetap karena masalah hukum) sejak 17 Oktober 2019 hingga 11 Februari 2021.

“Ia baru ditetapkan wali kota definitif sejak 11 Februari 2021 dan berakhir 17 Februari 2021. Barangkali Akhyar Nasution adalah wali kota tersingkat di dunia. Padahal hak normatifnya untuk menjadi wali kota, dan hak normatif rakyat kota Medan untuk memiliki wali kota definitif. Sebetulnya tak tertangguhkan kecuali oleh faktor aneh, mungkin sentimen demokrasi,” ujarnya.

Baca Juga:Pelantikan dr Susanti Jadi Wawako Siantar akan Terapkan Prokes Ketat

Kasus Pematangsiantar, kata Shohibul, sama sekali berbeda dengan kasus DKI Jakarta. “Basuki Tjahaja Purnama menjadi Wakil Gubernur sejak 15 Oktober 2012 hingga 16 Oktober 2014. Ketika Joko Widodo meninggalkan jabatan gubernur DKI karena ikut Pilpres, jabatan kosong hanya terjadi dalam masa amat singkat, yakni sejak 16 Oktober 2014 hingga 19 November 2014. Basuki Tjahaja Purnama menjadi Plt hanya dalam waktu singkat, yakni sejak 19 November 2014 hingga Desember 2014. Jabatan Wagub DKI Jakarta tidak lowong dalam waktu lama, karena Djarot Saiful Hidayat menjadi Wakil Gubernur DKI sejak 17 Desember 2014,” jelasnya.

Selanjutnya yang keenam, kata Shohibul, untuk dua kali kasus yang sama di Kota Pematang Siantar sebenarnya sangat perlu menjadi pertimbangan revisi regulasi sekaitan dengan pelantikan wali kota dan wakil wali kota terpilih.

“Semestinya, pada satu hari yang sama dapat dilaksanakan tiga kali rapat paripurna DPRD untuk yang pertama. Pelantikan kepala daerah dan wakil kepala daerah terpilih. Yang kedua, dilanjutkan dengan pelantikan Plt Wali Kota (karena wali kotanya sudah jelas berhenti karena meinggal dunia bahkan sebelum dilantik). Dan, yang ketiga, dilanjutkan dengan pelantikan wali kota definitif. Politisi Indonesia tak tahu mengapa ingin dan nyaman saja menyaksikan anomali demokrasi yang amat serius ini dan tak kunjung merevisi regulasi usang,” tutupnya. (ferry/hm12)

Related Articles

Latest Articles