16.4 C
New York
Sunday, May 19, 2024

GMKI Kecam Kinerja Walikota Siantar, Fery Sinamo: Kebijakan Walikota Tidak Populis

Siantar | MISTAR.ID – Walau tidak masuk zona merah (buruk) dalam pelayanan publik, namun berdasarkan hasil survei Ombudsman 2019, Kota Pematangsiantar masuk dalam katagori penilaian kurang baik, karena berada di zona kuning.

Persoalan pelayanan publik di Kota Pematangsiantar, tidak terlepas dari perhatian Ketua Gerakan Mahasiswa Kristen Indonesia (GMKI) Pematangsiantar-Simalungun, May Luther Dewanto Sinaga dan anggota Komisi 2 DPRD Kota Pematangsiantar, Fery Sinamo.

Memasuki akhir tahun 2019 ini, GMKI menyoroti beberapa kinerja Walikota Pematangsiantar, Hefriansyah dan jajarannya, yang dinilai tidak sesuai dengan peraturan dan perundangan-undangan.

Kepada Mistar, Rabu (10/12/19), May Luther Dewanto Sinaga dan Fery Sinaga yang dihubungi terpisah mengungkapkan, selama kepemimpinan Hefriansyah sebagai Walikota Pematangsiantar, muncul beberapa persoalan yang mencerminkan kinerja buruk pemerintahan kota.

Kekonyolan kebijakan pertama, kata May Luther, ketika Hefriansyah melakukan perombakan jabatan di Dinas Kependudukan dan Catatan Sipil (Disdukcapil), mengganti empat pejabat struktural, yakni Sekretaris Disdukcapil, dua Kepala Bidang, dan satu kepala seksi. Kemudian keempat pejabat ini dilantik tangal 5 Maret 2019.

Kemudian, pergantian ini disorot habis-habisan oleh elemen peduli ASN karena pergantian pejabat struktural itu tidak sesuai dengan peraturan yang berlaku di NKRI. Hingga kemudian, posisi pejabat Disdukcapil yang sempat dipindahkan itu dikembalikan lagi pada jabatan semula.

Menurut May Luther Dewanto Sinaga, pemutasian itu sangat memalukan. Karena berdasarkan UU No.24 tahun 2013, Pasal 83 A, poin (2) di tegaskan, bahwa pejabat struktural pada unit kerja yang menangani administrasi kependudukan di kabupaten/kota diangkat dan diberhentikan oleh Menteri atas usulan Bupati/Walikota melalui Gubernur.

“Dalam hal ini kita menilai bahwa Hefriansyah selaku Walikota Pematangsiantar tidak paham Tupoksinya, dan hal itu sangat memprihatikan bagi seorang Kepala Daerah,” tegas May Luther.

Sementara, Fery Sinmo menangapi persoalan jabatan di ASN ini, semua itu katanya tidak terlepas dari peran dan tanggungjawab Kepala BKD Zainal Siahaan.

“Dia itu kan sudah 30 an tahun jadi ASN, dan dia itu tentu tau mana yang boleh dana mana yang tidak boleh,” ujar Fery.

Malahan anggota DPRD dari PDIP itu meragukannya, sehingga bisa jadi ‘memerangkapkan’ kepala daerahnya mengambil keputusan yang salah.

Lagian katanya, Zainal itu dianggap mampu makanya ditempatkan sebagai Kepala BKD. Selain itu, karena kemampuannya yang mungkin berlebih, diangkat lagi dalam jabatan sebagai Asisten 2 dan satunya lagi sebagai Dewan Pengawas PDAM.

Lebih lanjut, Ketua GMKI menyoroti kesalahan lainnya, tejadi pada pelantikan Lurah Proklamasi, Nikma. Pengangkatan Lurah ini disorot habis-habisan oleh berbagai kalangan, karena ijzahnya hanya tamatan SLTA.

“Demikian juga yang kita pahami, dalam mengangkat Lurah juga tidak asal diangkat, ada syarat yang menjadi standard agar tidak sembarang memilih Lurah. Terkait dengan adanya Lurah yang dipilih tamat SLTA/SMA itu, kita menilai itu sudah tidak sesuai. Jangan ada jabatan yang diberikan karena kedekatan pribadi, dan jangan ada jabatan yang dicopot karena sentimen pribadi. Semuanya harus sesuai dengan regulasi yang berlaku,” tandas Ketua GMKI itu.

May Luther juga mencontohkan syarat menjadi lurah, yakni, usia maksimal 52 tahun, mengikuti pendidikan pimpinan, pendidikan minimal S1, penilaian prestasi kerja baik dalam 2 tahun terakhir, tidak berstatus tersangka, sehat jasmani dan rohani dan bukan dari PNS bidang pendidikan dan kesehatan.

ASN Pemko Pematangsiantar yang rangkap jabatan juga tidak terlepas dari sorotan May Luther Dewanto Sinaga.

Dia juga mempertanyakan jabatan yang disandang Zainal Siahaan. Kalau tidak salah, ungkapnya, Zainal sekarang menjabat sebagai Asisten Bidang Perekonomian dan Pembangunan, kemudian sebagai Plt.Badan Kepegawaian Daerah (BKD).

Demikian juga halnya dengan Kusdianto yang sekarang jadi Pejabat Sekda, juga masih menjabat sebagai Kepala Dinas Pariwisata.

Lanjutnya lagi, Midian Sianturi Kepala Pelaksana Badan Penanggulangan Bencana Daerah (BPBD) yang juga sebagai Plt Kepala Bappeda, dan beberapa lainnya yang belum disebutkan.

Kami menilai hal ini terindikasi KKN di kota Pematangsiantar,” katanya. Lanjutnya lagi, hal ini diduga melanggar UU No 5 tahun 2014 tentang Aparatur Sipil Negara (ASN), UU No 30 tahun 2014 tentang Administrasi Pemerintahan serta PP No 11 tahun 2017 tentang Manajemen PNS.

“Dan apabila ada yang rangkap jabatan, maka tidak akan mungkin mampu menjalankan tugasnya dengan baik dan maksimal. Itu pertanda tidak ada keseriusan dari Pemko untuk membenahi kota Pematangsiantar ini kearah yang lebih baik,” tukasnya.

Terkait Silpa Rp 90 Miliar, menurutnya dikarenakan tidak ada perencanaan yang baik dan cermat dari tim anggaran Pemko Pematangsiantar, sehingga terjadi Silpa pada APBD Tahun 2019.

Bila merujuk pada Peraturan Menteri Keuangan (Permenkeu) Nomor 125/PMK tahun 2016 tentang Penundaan Penyaluran Sebagian DAU Tahun 2016, maka Silpa Rp90 miliar ini menyebabkan akan dilakukan pemotongan dana alokasi umum (DAU) oleh pemerintah pusat.

“Silpa 90 miliar rupiah ini juga membuktikan bahwa Pemerintah Kota tidak memiliki perencanaan yang matang, dan hal ini sangat merugikan masyarakat karena akan mengakibatkan tersendatnya pembangunan,” paparnya.

Terkait dengan posisi Sekretaris Daerah (Sekda) saat ini yang masuk ke ranah hukum, dimana Budi Utari menggungat pemberhentiannya melalui jalur PTUN Medan, hal ini kata Ketua GMKI itu sangat disesalkan.

“Kami menilai, salah satu kunci suksesnya pemerintahan agar dapat berjalan dengan baik, ialah sosok seorang Sekda yang harus berperan,” ujarnya.

Posisi Sekda katanya, memegang peranan penting dalam penyelenggaraan suatu pemerintahan daerah.

“Bagaimana mungkin kondisi pemerintah kota Pematangsiantar akan baik, bila posisi Sekdanya saja bermasalah. Ini memperlihatkan, bahwa Walikota lebih mementingkan ego pribadi dibandingkan kepentingan masyarakat umum kota Pematangsiantar,” terangnya.

Demikian juga adanya pejabat yang berstatus tersangka, tapi masih menjabat alias tidak dicopot. Menurut May Luther, itu akan mencemari nama baik pemerintahan di kota Pematangsiantar.

Dia mencontohkan, Kepala Dinas Komunikasi dan Informatika (Kadis Kominfo) Posma Sitorus dan Sekretaris, Acai Sijabat.

Keduanya telah ditetapkan Kejaksaan Negeri (Kejari) Pematangsiantar sebagai tersangka korupsi proyek/program Smart City.

“Hefriansyah seharusnya selaku walikota mengutamakan pemerintahan yang bersih, dan bagaimana mungkin selaku kepala daerah membiarkan tersangka korupsi masih menjabat? Hal itu akan menimbulkan stigma buruk terhadap Hefriansyah selaku Walikota, dan akan memicu timbulnya ketidakpercayaan masyarakat terhadap pemerintah kotanya,” tegasnya.

Kecewa Pada Walikota

Lebih lanjut, anggota Komisi 2 DPRD Kota Pematangsiantar, Fery Sinamo mengatakan, sangat kecewa dengan kebijakan walikota yang tidak populis.

“Kita sebagai DPRD Pematangsiantar, sangat merasa kecewa atas kebijakan walikota yang tidak populis,” katanya kepada Mistar, Rabu (10/12/19) malam.

Anggota DPRD itu mengharapkan, agar kejadian-kejadian yang telah terlanjur terjadi, sebaiknya dijadikan pelajaran untuk menjadi lebih baik di masa yang akan datang.(red/hm02)

Editor : Herman Maris

Related Articles

Latest Articles