5.7 C
New York
Thursday, April 25, 2024

Bawang Putih Sulit Didapat, Bawang Bubuk Jadi Alternatif

Siantar, MISTAR.ID – Merebaknya virus korona di sejumlah negara di Asia ditengarai berdampak terhadap komoditas kebutuhan dapur. Terbukti, salah satu komoditas yakni bawang putih mengalami kenaikan signifikan. Bahkan dikabarkan, bawang putih sudah mulai sulit didapatkan di pasar sayur mayur. Kalau pun ada, stock sangat terbatas. Alasan para pedagang dan agen, kenaikan harga bawang putih ini dipicu penyebaran virus korona. Pasalnya,sumber bawang putih dari China banyak dicekal, sehingga impor bawang putih sulit masuk ke Indonesia.

Sejumlah pengusaha yang ditemui Mistar mengeluhkan kondisi tersebut. Sumini, salah seorang pemilik rumah makan di kawasan Jalan Sangnaualuh atau Jalan Asahan, merasa resah dengan naiknya harga bawang putih secara tiba – tiba.”Kalau tahu begini, saya beli banyak aja, buat stock di dapur,”ujarnya ketika berbelanja di Pasar Dwikora, Kamis (6/2/20).

Diakuinya, bawang putih dari China harganya lebih murah dan lebih bagus bentuknya. Selain itu gampang didapat di pasar maupun di warung kecil yang menjual sayur mayur.”Kalau bawang putih itu yang membawa virus, kok bawang putih dibuat jadi obat. Bahkan saya itu suka makan bawang putih tanpa dimasak jika sedang masuk angin,”katanya.

Di tempat lain, Rosani, pengusaha home industry pembuat kacang Tojen di Jalan Rakuta Sembiring juga mengeluhkan naiknya harga bawang putih ini. Bahkan sangat berpotensi merugikan usahanya. Sebab jika tidak menggunakan bawang putih, kacangnya tidak wangi dan gurih. “Biasanya saya memasak kacang sebanyak 300 – 400 Kilogram setiap minggunya, menggunakan bawang putih sekitar 3 Kilogram. Jadi selama sebulan, saya bisa menghabisan bawang putih sekitar 10 – 15 kilogram,”ucapnya.

Menurutnya, bawang putih dari china itu lebih murah harganya dibanding bawang lokal. “Memang bawang lokal yang bentuknya kecil dan hanya terdiri dari beberapa siung saja. Bawang lokal juga sulit ditemukan. Padahal kan bagus kalau ditanam di tempat kita sendiri, tidak perlu jauh – jauh ke China. Selain itu harga bawang putih lokal juga mahal. Sekilo saja bisa sampai Rp.100 ribu. Jadi untuk dijual rasanya kurang pas dengan harga segitu,”imbuhnya.

Untuk sementara ini, Ia akan mengurangi isi dan berat dari setiap bungkus kacang produksinya. Karena, ia yakin masyarakat yang mengkonsumsi kacangnya bisa mengerti dengan kondisi yang terjadi saat ini.

Rio, seorang pengusaha kerupuk di Karang Bangun, Kabupaten Simalungun bahkan akhir – akhir ini sudah tidak menggunakan bawang putih natural. Gantinya, Rio menggunakan bawang putih yang sudah diolah menjadi bubuk. Tapi tetap saja ia was – was. Sebab pembuatan bubuk bawang putih juga dari bahan bawang putih asli.

“Dulu kami menggunakan bawang putih asli, tetapi terjadi masalah pada mesin pengiling kami. Bawang-bawang tersebut kurang halus dan kuwalitas kerupuk yang kami produksi pun tidak maksimal. Akhirnya kami beralih ke bubuk bawang putih. Bahan ini pun kami dapatkan dari Jakarta. Untuk di sini belum ada, apalagi kami pun butuh dalam jumlah banyak,”ujar lelaki yang tak bersedia menyebutkan rincian berapa kebutuhan bubuk bawang putih setiap bulannya.

Mau ga mau, katanya, mereka harus memutar otak agar tidak terus terbawa arus akibat melambungnya harga bawang putih yang menjadi bahan baku produksinya. Dia juga menjelaskan, bawang putih itu sangat dibutuhkan dalam pembuatan kerupuk, agar kerupuk terasa renyah dan gurih. Jika bahan ini dikurangi, ia takut nantinya rasa dari kerupuk tersebut akan berkurang.

“Mungkin akan kami kurangi dari segi isi tiap plastik atau ukuran kerupuk tersebut dikurangi.”imbuhnya mengakhiri.(hm08)

Penulis : Yetty
Editor : Herman Maris

Related Articles

Latest Articles