15.7 C
New York
Tuesday, April 23, 2024

Mahkamah Pancasila

Oleh: Dr.Henry Sinaga, SH, Sp.N, M.Kn

Tulisan ini disampaikan atas permintaan dan undangan dari Badan Pengkajian Majelis Permusyawaratan Rakyat Republik Indonesia (BP – MPR RI) kepada penulis dalam Focus Group Discussion (FGD), yang diselenggarakan oleh BP – MPR RI, di Hotel Horizon Pematangsiantar, 22 Agustus 2017 yang lalu.

Penulis diminta untuk memberikan pandangan terkait topik: “Penegasan Pancasila Sebagai Dasar Negara, Ideologi Bangsa Dan Negara Dalam Undang-Undang Dasar Negara Republik Indonesia Tahun 1945.”

Ada satu pertanyaan yang mendasar ketika kita berbicara tentang Penegasan Pancasila Sebagai Dasar Negara, Ideologi Bangsa Dan Negara Dalam Undang-Undang Dasar Negara Republik Indonesia Tahun 1945 (UUD NRI Tahun 1945).

Pertanyaan itu adalah,“Sudah tepatkah Pancasila ditegaskan dalam UUD NRI Tahun 1945 dan atau dalam Ketetapan MPR RI (TAP MPR RI)?

Dalam pandangan Penulis adalah tidak tepat apabila norma yang lebih tinggi (Pancasila, sebagai norma dasar) diatur oleh norma yang di bawahnya (UUD NRI Tahun 1945 atau TAP MPR RI).

Karena menurut Teori Hukum / Filsafat Hukum dan Penjelasan Umum Angka III UUD NRI Tahun 1945, kedudukan Pancasila sebagai norma dasar negara lebih tinggi dari UUD NRI Tahun 1945 dan TAP MPR RI.
Pancasila seharusnya ditempatkan di luar UUD NRI Tahun 1945 dan TAP MPR RI secara terpisah, karena posisinya lebih tinggi dari UUD NRI Tahun 1945 dan TAP MPR RI.

Menempatkan Pancasila di dalam UUD NRI Tahun 1945 atau TAP MPR RI, menjadikan posisi Pancasila lebih rendah atau sama dengan UUD NRI Tahun 1945 atau TAP MPR RI, sekaligus pula membahayakan posisi Pancasila sebagai dasar negara terhadap ancaman penggantian sebagai dasar negara, karena UUD NRI Tahun 1945 dan TAP MPR RI bisa
dicabut oleh MPR RI (bayangkan jika suatu saat MPR RI dikuasai oleh para wakil rakyat yang ingin mengganti Pancasila).

Pancasila harus ditetapkan langsung oleh rakyat (melalui referendum) dan posisinya harus ditetapkan di atas UUD NRI Tahun 1945 dan TAP MPR RI, dan dinyatakan tidak dapat dicabut/dirubah/diamandemen oleh siapapun.

Sebagai contoh ketidaktepatan Pancasila ditegaskan dalam Ketetapan MPR RI, dapat kita simak pernyataan dari Ketua Badan Pengkajian MPR RI Dr. H. Bambang Sadono, SH, MH, dalam TOR FGD BP MPR RI, angka 7-8 hal.2-3, yakni sebagai berikut:

7.“Ketetapan MPR RI Nomor II/MPR/1978 tentang Pedoman Penghayatan dan Pengamalan Pancasila (Ekaprasetya Pancakarsa) dan penetapan tentang Penegasan Pancasila sebagai Dasar Negara telah dicabut melalui Ketetapan MPR Nomor XVIII/MPR/1998.

Dalam Pasal 1 Ketetapan MPR RI Nomor XVIII/MPR/1998 ditegaskan, Pancasila sebagaimana dimaksud dalam Pembukaan Undang-Undang Dasar 1945 adalah dasar negara dari Negara Kesatuan Republik Indonesia yang harus dilaksanakan secara konsisten dalam kehidupan bernegara.
Permasalahannya, setelah MPR melakukan peninjauan terhadap materi dan status hukum Ketetapan MPRS/MPR dari tahun 1960 sampai dengan tahun 2002, Ketetapan MPR Nomor XVIII/MPR/1998 masuk dalam
kategori Ketetapan MPR yang tidak perlu dilakukan tindakan hukum lebih lanjut, baik karena bersifat einmalig (final), telah dicabut, maupun telah selesai dilaksanakan.

Dengan demikian, Ketetapan MPR Nomor XVIII/MPR/1998 dinyatakan sudah tidak berlaku lagi, padahal di dalam Ketetapan tersebut memuat penegasan Pancasila sebagai dasar negara.

Dengan dicabutnya ketetapan ini, tidak ada satupun peraturan
perundang-undangan yang menegaskan keberadaan Pancasila sebagai dasar dan ideologi negara.

8.Dengan ditetapkannya Ketetapan MPR RI Nomor I/MPR/2003 yang mengelompokkan Ketetapan MPR RI Nomor XVIII/MPR/1998 ke dalam Pasal 6, yaitu Ketetapan MPRS dan Ketetapan MPR RI yang tidak perlu dilakukan tindakan hukum lebih lanjut, baik karena bersifat einmalig (final), telah dicabut, maupun telah selesai dilaksanakan, mengakibatkan konsideran Pasal 1 yang berbunyi Pancasila sebagaimana dimaksud dalam Pembukaan Undang-Undang Dasar 1945 adalah dasar negara dari Negara Kesatuan Republik Indonesia harus dilaksanakan secara konsisten dalam kehidupan Negara, tidak berlaku.

Penegasan Pancasila sebagai norma dasar negara yang terpisah dari UUD NRI Tahun 1945 dan TAP MPR RI, idealnya juga dilengkapi dengan uraian atau penjabaran dari nilai-nilai dari tiap-tiap sila dari Pancasila.

Selanjutnya Pancasila dan penjabaran nilai-nilai dari tiap-tiap sila tersebut harus ditetapkan sebagai kode etik bagi para penyelenggara negara dalam membuat kebijakan dan tindakan, dan dijadikan dasar dan haluan dalam menyusun kebijakan dalam bidang ekonomi, politik dan pembangunan sumber daya manusia.

Setelah Pancasila dan penjabarannya terbentuk dan didudukkan sesuai dengan posisinya sebagai norma dasar negara, maka selanjutnya dilakukan pembentukan Mahkamah Pancasila, yang berwenang untuk menguji apakah suatu undang-undang dan atau undang undang
dasar atau kebijakan dan tindakan penyelenggara negara bertentangan dengan Pancasila.

Mahkamah Agung diberikan kewenangan untuk menguji (judicial review) apakah sebuah norma (yang hirarkinya di bawah undang-undang) bertentangan dengan norma yang lebih tinggi (undang-undang), dengan kata lain, Mahkamah Agung adalah pengawal undang undang.

Mahkamah Konstitusi diberikan kewenangan untuk menguji (judicial review) apakah sebuah norma (undang undang) bertentangan dengan Undang-Undang Dasar Negara Republik Indonesia Tahun 1945 (norma yang lebih tinggi).

Dengan kata lain, Mahkamah Konstitusi adalah pengawal Konstitusi (pengawal Undang Undang Dasar Negara Republik Indonesia Tahun 1945).

Lalu pertanyaan mendasar selanjutnya, siapakah pengawal norma dasar negara (Pancasila), lembaga manakah di Indonesia yang diberi kewenangan untuk menguji (judicial review) ketika suatu norma (setingkat undang undang atau setingkat undang undang dasar
atau setingkat Ketetapan MPR RI atau yang berupa kebijakan/tindakan penyelenggara negara) bertentangan dengan norma dasar negara Pancasila?

Pembentukan Mahkamah Pancasila adalah langkah konkret untuk menjaga
konsistensi Pancasila dengan konstitusi dan perundangan, koherensi antar sila dan korespondensi dengan realitas sosial. Ini juga sebuah langkah strategis agar Pancasila yang semula hanya melayani kepentingan vertikal (negara) menjadi Pancasila yang melayani
kepentingan horizontal (seluruh) lapisan masyarakat dan sekaligus pula dapat dijadikan sebagai kritik terhadap kebijakan negara(*)

Penulis adalah Notaris/PPAT dan Dosen Program Studi Magister Kenotariatan USU–Medan

Related Articles

Latest Articles