7.8 C
New York
Friday, April 19, 2024

RUU PKS Janji Yang Terus Menerus Gagal.

Jakarta, MISTAR.ID
Gagal lagi dan gagal lagi. Rancangan Undang-Undang Penghapusan Kekerasan Seksual ( RUU PKS) kembali gagal untuk dibahas di DPR. Komisi VIII DPR mengusulkan agar RUU Penghapusan Kekerasan Seksual dikeluarkan dari daftar Program Legislasi Nasional (Prolegnas) Prioritas 2020. Alasannya, pembahasan RUU PKS sulit dilakukan saat ini.

Jaringan kelompok masyarakat sipil (JKMS) kecewa dengan kinerja DPR terkait penundaan pembahasan Rancangan Undang-Undang Penghapusan Kekerasan Seksual ( RUU PKS). Jaringan ini terdiri dari ratusan kelompok dan individu pendukung RUU PKS, antara lain Himpunan Serikat Perempuan Indonesia (Hapsari), Himpunan Wanita Disabilitas Indonesia (HWDI), hingga Kelompok Peduli Penghapusan Tindak Kekerasan Terhadap Perempuan dan Anak (KePPaK Perempuan).

“Masyarakat sipil menyampaikan rasa kecewa yang mendalam atas pernyataan Komisi VIII DPR akan dikeluarkannya RUU PKS dari daftar Prolegnas Prioritas Tahun 2020,” ujar perwakilan jaringan masyarakat sipil dari Forum Pengada Layanan (FPL), Veni Siregar, dalam keterangan tertulis, Minggu (5/7/20).

Baca juga: RUU Ketahanan Keluarga Tandingan RUU PKS

Veni mengungkapkan, pihaknya mencatat bahwa sejak Maret 2020, Komisi VIII DPR telah menyerahkan RUU tersebut kepada Badan Legislasi (Baleg) DPR. Alasannya, karena beban penyelesaian agenda rancangan yang cukup sulit untuk dipenuhi. Namun, pada saat itu, Baleg DPR tidak mengambil alih sebagai RUU Prioritas 2020. Sehingga, status RUU PKS sampai saat ini masih menjadi usulan Komisi VIII. Veni menilai, saat ini terjadi ketidakjelasan status RUU PKS di parlemen.

Baca juga: Wakil Ketua MPR: Pemerintah Seharusnya Minta DPR Hentikan Bahas RUU HIP

Menurutnya, sejak ditetapkan sebagai proglenas prioritas 2020, sampai Juli 2020 ini, belum ada kejelasan siapa yang akan menjadi pengusul RUU itu.

Dengan demikian, hal tersebut pun menimbulkan kebingungan publik. Terutama mengenai posisi kebijakan yang sebelumnya diharapkan untuk melindungi dan memberikan akses keadilan bagi korban kekerasan seksual dan keluarganya. Dia menyatakan, ketidakjelasan status dan tidak transparannya proses di DPR sangat menyulitkan masyarakat dalam mengawal RUU tersebut.

“Padahal pembahasan RUU sejatinya inklusif dan partisipatif,” kata Veni. Lemahnya komitmen DPR Di sisi lain, situasi menggantung tersebut dinilai tidak terlalu berbeda dibandingkan pada periode 2019. Di mana, kata Veni, RUU PKS hanya dijadikan janji yang terus-menerus gagal.

Hal tersebut membuktikan lemahnya komitmen parlemen untuk memastikan RUU PKS dapat dibahas pada tahun ini. Misalnya, yang terjadi pada penutupan periode terakhir DPR 2014-2019, RUU PKS tidak bisa ditindaklanjuti.

“Ini membuktikan lemahnya komitmen parlemen sendiri untuk memastikan RUU ini dibahas,” tegas Veni. Jaringan masyarakat sipil pun mendesak DPR segera membahas dan mengesahkan RUU PKS. Veni berharap pembahasan RUU PKS dilakukan dengan memperhatikan masukan dari masyarakat sipil, agar substansinya berpihak pada korban kekerasan seksual.

Hal itu dapat dilakukan dengan membuka akses bagi masyarakat terhadap proses pembahasan. Oleh karenanya, Veni meminta agar pembahasan RUU PKS dilakukan secara terbuka dan transparan. “Sehingga aturannya memang berdasarkan suara masyarakat, juga berpihak kepada hak-hak dan keadilan korban,” kata Veni. (kompas/hm06)

Related Articles

Latest Articles