14.7 C
New York
Saturday, April 27, 2024

KTT Sistem Pangan Dunia PBB: Pangan, Hak Dasar Seluruh Warga. Pemenuhannya Tanggung Jawab Negara

Medan, MISTAR.ID

Diselenggarakannya Pre-Summit (semacam mengawali konferensi), Konferensi Tingkat Tinggi (KTT) Sistem Pangan Dunia oleh PBB (United Nations Food System Summit – UNFSS) mulai hari ini, 26 hingga 28 Juli 2021 nanti, sedangkan acara puncak konferensi akan dilaksanakan pada September 2021 di New York, Amerika Serikat.

KTT ini dimaksudkan untuk menjadi wadah dalam mengentaskan permasalahan kelaparan dan gizi di berbagai negara, termasuk Indonesia. Berdasarkan Laporan SOFI 2021 (State of the Food Security and Nutrition in the World), lebih dari 811 juta penduduk dunia menghadapi kelaparan pada tahun 2020 atau meningkat 116 juta dari tahun 2019.

Masyarakat sipil Indonesia yang bernaung di bawah Komite Rakyat untuk Transformasi Sistem Pangan (KRTSP) memprihatinkan rencana KTT ini, karena penyelenggaraan KTT ini bekerja sama dengan World Economic Forum (WEF) yang merupakan representasi dari ribuan elit bisnis dari korporasi besar dan elit politik dari negara-negara industri besar.

Baca juga: Peringatan Hari Lingkungan Hidup Sedunia, Menghijaukan Kawasan Urban untuk Minimalisasi Anomali Iklim

“Tentu saja hal ini akan mempengaruhi kebijakan dan pengambilan keputusan di dalam KTT tersebut, sementara itu disaat yang bersamaan akan menyingkirkan peran masyarakat sipil, produsen pangan skala kecil, dan gerakan petani untuk mengembangkan sistem pangan yang berkeadilan.” Demikian disampaikan Gusti Shabia dari FIAN Indonesia yang sekaligus menjadi moderator pada konferensi pers secara daring yang diselenggarakan oleh KRTSP, Senin (26/7/21).

“Kami melakukan kritik terhadap KTT Sistem Pangan Dunia, karena KTT ini tidak menjawab persoalan struktural terhadap penegakan kedaulatan pangan di tingkat global. Justru pengaturan sistem pangan dunia yang berjalan kini sangat pro liberalisasi dan mendorong dominasi korporasi. Pintu masuknya melalui perjanjian perdagangan bebas yang membuat satu aturan sistem pangan dunia dapat dengan mudah didominasi oleh korporasi.” Ungkap Rahmat Maulana Sidik, Koordinator Advokasi Indonesia for Global Justice (IGJ).

Senada dengan pernyataan tersebut, Gusti Shabia menambahkan, “KTT Sistem Pangan Dunia akan menciptakan pengukuhan pengaturan pangan global yang semakin melanggengkan dominasi korporasi dan semakin menjauhkan bentuk forum yang berbasis hak. Ini tidak mendorong negara untuk menjadi pengemban kewajiban dan rakyat sebagai pemegang hak. Karena pangan adalah hak dasar manusia dan seluruh warga negara. Pemenuhannya harus menjadi tanggung jawab negara!”

Sementara di Sumatera Utara, program kawasan lumbung pangan yang disebut Food Estate (FE), dengan tujuan untuk meningkatkan ketahanan pangan serta kapasitas petani yang telah dimulai pada kabupaten Humbang Hasundutan melibatkan investasi dari 7 korporasi.

“Selain indikasi komersialisasi pangan petani lebih cenderung menjadi pekerja di atas lahan ulayatnya. Komoditas yang ditanam FE juga agak aneh, kentang, bawang merah dan bawang putih. Khusus kentang bukan menjadi makanan pokok atau kebutuhan utama masyarakat Sumut, jadi ini bukan untuk ketahanan pangan. Kami menduga, jika masa normal nanti, pandemi sudah berakhir, kentang bisa menjadi pendukung kebutuhan makanan wisatawan asing. Karna Danau Toba sedang dikembangkan untuk menjadi kawasan wisata super prioritas.” Kata Iswan Kaputra dari BITRA Indonesia.

Baca juga: Hadiri KTT ASEAN, Panglima Militer Myanmar Tiba di Indonesia

“Pangan adalah soal kebutuhan survival manusia, bukan soal profit, Jadi prinsip kerja korporasi pangan bertentangan dengan prinsip dasar pangan. Agro-koperasilah seharusnya, tentu dengan prinsip agro-ekologi dalam tata kelolanya. Belajar dari banyak kasus kelaparan, kurang gizi, ketimpangan dalam masalah pangan, segala bentuk upaya yang ingin memonopoli atau mendominasi, mengeksploitasi dan tindakan yang kapitalistik lainnya harus dihentikan, termasuk upaya baru segelintir orang yang mendorong adanya UNFSS.“ Demikian tekanan dari Anwar Sastro, Sekjen KPRI.

KRTSP terdiri dari 28 organisasi masyarakat sipil dan serikat yang konsern terhadap pangan untuk kebutuhan dasar hidup/komositas sosial, bukan pangan untuk komoditas komersil. Diantaranya; FIAN Indonesia, Indonesia for Global Justice (IGJ), Konfederasi Pergerakan Rakyat Indonesia (KPRI), Serikat Petani Indonesia (SPI), Indonesia Human Rights Committe for Social Justice (IHCS), Aliansi Petani Indonesia (API), Bina Desa, Solidaritas Perempuan, Asosiasi Ibu Menyusui Indonesia (AIMI), Yayasan Tananua Flores, Konfederasi Persatuan Buruh Indonesia (KPBI), Transnational Palm Oil Labour Solidarity (TPOLS), FSBKU-KSN, KOBETA, FIELD Indonesia, Serikat Nelayan Indonesia (SNI), Koalisi Rakyat untuk Keadilan Perikanan (KIARA), Kediri Bersama Rakyat (KIBAR), Perkumpulan Inisiatif, WALHI Kalteng, FSRP-KSN, FS-Pasopati-KSN, Samawa Islam Transformatif (SIT), Bina Keterampilan Pedesaan (BITRA) Indonesia-Medan, Agrarian Resources Center (ARC), Konsorsium Pembaruan Agraria (KPA), Ekologi Maritim Indonesia (Ekomarin), Komunitas Desa (Komdes)-Sulawesi Tenggara.

Staf Advokasi Kebijakan Solidaritas Perempuan, Putri Fahimatul menyatakan, KTT Sistem Pangan Global adalah bentuk nyata dari pembajakan oleh korporasi atas ruang publik, termasuk sistem Perserikatan Bangsa Bangsa (UN).

“Agenda korporasi yang mengejar keuntungan, berkebalikan dengan karakteristik pengelolaan pangan perempuan yang merawat dan memperhatikan keberlanjutan antar generasi. Covid-19 ini seharusnya mampu membuka mata kita bahwa sudah seharusnya kita sadar petani dan nelayanlah penyokong utama dalam sumber pangan kita.” ujar Putri

Pernyataan tersebut langsung disambut oleh Budi Laksana, Sekjend Serikat Nelayan Indonesia (SNI), “di Indonesia mayoritas nelayan kecil yang menggantungkan hidupnya kepada wilayah pesisir dan kelautan. Ekspansi modal dengan menjadikan laut sebagai kapital dan industrialisasi, serta intensifikasi banyak meminggirkan nelayan, ruang pesisir menjadi sentra pelabuhan, nelayan harus berhadapan dengan industri kapal yang dimiliki korporasi, UNFSS akan semakin mengukuhkannya dan meminggirkan para nelayan!”

Sebagai solusi sistem pangan yang saat ini ada, Afgan Fadlila dari Serikat Petani Indonesia (SPI) menjelaskan, “penguasaan lahan yang minim dan maraknya perampasan lahan dan kriminalisasi petani membuat keberlangsungan produksi pangan yang sehat dan bernutrisi sulit berjalan serta kesejahteraan petani pun terancam. Oleh karena itu, kedaulatan pangan merupakan solusi utama untuk mengatasi permasalahan pangan hari ini. Syarat-syarat kedaulatan pangan wajib dilaksanakan secara komprehensif, seperti reforma agraria, agro-ekologi dan penguatan kelembagaan ekonomi kolektif yang berkeadilan seperti koperasi.”

Karenanya, KRTSP menyerukan; Menyatakan keberatan terhadap KTT Sistem Pangan Dunia PBB/UNFSS karena jauh dari semangat multilaterisme, demokrasi, transparansi dan lebih banyak mengakomodir kepentingan bisnis; Mendesak Pemerintah untuk melangsungkan dialog terkait transformasi sistem pangan nasional dengan jejaring masyarakat sipil dan organisasi petani, nelayan, serikat buruh, perempuan, dan kelompok masyarakat adat yang lebih luas, dengan proses yang lebih demokratis dan transparan untuk mewujudkan sistem pangan yang berbasis kedaulatan pangan; Meletakkan kedaulatan pangan yang adil gender sebagai pilar utama dan jalankan reforma agraria sejati, agro-ekologi, kelembagaan ekonomi yang bersifat solidaritas dan kerakyatan.

KRTSP juga mendesak Pemerintah untuk menghentikan segala perampasan ruang hidup terhadap petani, nelayan, dan produsen pangan skala kecil lainnya dengan proyek-proyek infrastruktur, perkebunan, dan pertambangan baik di daratan, pesisir, atau pulau-pulau kecil serta memperbaiki kondisi kerja dan pendapatan yang layak bagi para pekerja dan buruh di sektor pangan dan Mengajak seluruh unsur masyarakat sipil untuk memperjuangkan gerakan kedaulatan rakyat di Indonesia. (release/hm06)

Related Articles

Latest Articles