11.2 C
New York
Monday, May 6, 2024

Ganjalan Demokrasi di Indonesia, UU ITE Perlu Direvisi Lagi

Jakarta, MISTAR.ID

Undang-undang Informasi dan Transaksi Elektronik (UU ITE) menjadi ganjalan terbesar bagi demokrasi di Indonesia saat ini, dan perlu di revisi lagi. Hal itu disampaikan Direktur Eksekutif Jaringan relawan kebebasan berekspresi di Asia Tenggara/Southeast Asia Freedom of Expression Network (SAFEnet) Damar Juniarto.

SAFEnet mencatat sejak disahkan pada 2008 hingga 2019, jumlah kasus pemidanaan terkait undang-undang ini mencapai 285 kasus. Angka ini meningkat pada 2020 selama Covid-19 mewabah di Indonesia, yaitu 110 tersangka.

Pasal pencemaran nama baik dan pasal ujaran kebencian dalam UU ITE paling banyak digunakan sebagai dasar pelaporan. Menurut Damar, kecil kemungkinan untuk bebas dari jerat undang-undang tersebut.

Data SAFEnet menyebutkan 38 persen pelapor UU ITE adalah pejabat publik, termasuk di dalamnya kepala daerah, kepala instansi, menteri dan aparat keamanan. Disusul pelapor awam 29 persen, kalangan profesi 27 persen dan kalangan pengusaha 5 persen.

Sementara terlapor mayoritas adalah warga awam, jurnalis/media, aktivis, dosen/guru, hingga artis, budayawan dan penulis. Pada 2016, UU ITE sempat direvisi. Terdapat tujuh poin materi yang diubah dalam beleid itu. Salah satu yang menjadi sorotan adalah Pasal 27 ayat 3 yang mengatur tentang penghinaan dan/atau pencemaran nama baik.

Baca juga: Komite DPD RI Tolak Sentralisasi di RUU Cipta Kerja

Unsur pidana pada pasal tersebut mengacu ketentuan pencemaran nama baik dan fitnah yang selama ini telah diatur dalam KUHP. Revisi juga menurunkan ancaman pidana penjara, awalnya paling lama enam tahun menjadi empat tahun. Begitu pula penurunan denda dari paling banyak Rp1 miliar menjadi Rp750 juta.

UU ITE juga sudah tujuh kali digugat ke Mahkamah Konstitusi. Pasal 27 ayat 3 adalah yang paling sering digugat oleh para pemohon. Namun gugatan terkait pasal itu selalu kandas.

Dalam salah satu kesimpulan penolakan itu, MK menilai norma Pasal 27 ayat 3 adalah konstitusional dan tidak bertentangan dengan nilai-nilai demokrasi, hak asasi manusia, dan prinsip-prinsip negara hukum. UU ITE yang telah direvisi pada kenyataannya masih jauh dari harapan. Undang-Undang ini, kata Damar, perlu direvisi lagi.

“Sekarang dalam konteks kemerdekaan, yang kita inginkan undang-undang yang lebih baik pengaturannya,” kata Damar.

Baca juga: UU 1/2004 Melanggar Konstitusi dan UUPA

Transaksi Elektronik ke Pencemaran Nama Baik

Mohammad Nuh yang menjabat Menteri Komunikasi dan Informasi saat UU ITE disahkan pada 2008, menilai kehadiran undang-undang ini memiliki tujuan baik. Dia menjelaskan pada awal dekade 2000-an, Indonesia mengalami bonus digital (digital dividend). Pemerintah kala itu berupaya memanfaatkannya dengan membuat rencana kerja.

“UU ITE itu bukan hanya urusan tersendiri, itu ada paket lain dalam konteks memanfaatkan digital dividend,” kata dia Rabu (5/8/20).

Penyusunan UU ITE merupakan gabungan RUU Tindak Pidana Teknologi Informasi dari Universitas Padjadjaran, dan RUU E-Commerce dari Universitas Indonesia. Pada 2003, keduanya digabung menjadi satu naskah RUU untuk dibahas di DPR.

Pada 2005 Departemen Kominfo berdiri. Panitia Kerja pun dibentuk dengan beranggotakan 50 orang. Kemudian, pembahasan RUU dilakukan dalam rentang waktu 2005-2007. Sebagai pengusul UU ITE, kata Nuh, pemerintah memiliki ide dasar membuat produk legislasi sebagai payung hukum transaksi berbasis elektronik yang memiliki dampak sosial ekonomi. Menurutnya, di era digital hal-hal seperti itu harus diatur.

Baca juga: Aung San Suu Kyi Kembali Bertarung Di Pemilu

Ia mengatakan pembahasan UU ITE tak memiliki kendala berarti hingga akhirnya disahkan di DPR. Prosesnya pun, diklaim Nuh juga menyertakan partisipasi publik. Namun pada perkembangannya, Nuh pun tak menyangka terjadi pergeseran penggunaan UU ITE.

“Kok, sekarang jadi larinya ke pidana pencemaran nama baik, ujaran kebencian. Padahal sejak awal, esensi utamanya bukan ke situ. Saya punya harapan agar dikembalikan ke esensi utamanya,” kata dia.

Hapus Dua Pasal

Direktur Eksekutif Amnesty International Indonesia Usman Hamid menilai pembuatan undang-undang seputar dunia siber seharusnya menekankan perlindungan dan keamanan informasi warga maupun konsumen transaksi ekonomi.

Karena itu, ia tidak melihat urgensi pasal pencemaran nama baik dan ujaran kebencian di dalam UU ITE. Menurutnya, kedua pasal itu dihapus saja.

“Harus dihapus. Saya pernah membaca 1.200 halaman risalah pembahasan RUU ITE, tidak ada pembahasan tentang pentingnya kedua pasal tersebut,” kata Usman.

Baca juga: Program Jaminan Kehilangan Pekerjaan di RUU Ciptaker

Ia menduga pasal itu sengaja diselipkan di akhir pembahasan. Pasal itu dianggap merepetisi aturan pencemaran nama baik dan penodaan agama yang sudah ada di KUHP. Meski ancaman hukuman berkurang setelah revisi, ia menilai hal itu tidak menyelesaikan masalah.

“Karena masih saja ada kriminalisasi dengan pasal-pasal itu. Jadi memang harus dihapus agar tercipta kehidupan masyarakat dengan nalar yang kritis,” terang dia.

Pakar hukum pidana Universitas Trisakti, Abdul Fickar Hadjar menilai UU ITE sering dijadikan alat untuk membungkam lawan politik. Selain untuk membungkam kebebasan berpendapat, terutama yang dianggap kritis.

“UU ini kan lahir ketika Presiden SBY 2008, jadi sulit ini disebut sebagai kepentingan politik penguasa pada waktu tertentu. UU ini bisa digunakan rezim siapa saja yang berkuasa untuk membungkam suara kritis,” ujarnya.

Baca juga: UU Perumkim Perlu Direvisi

Ia berpendapat perlu ada kemauan politik dari semua pihak untuk merevisi pasal-pasal karet di UU ITE.

“Untuk penegak hukum, yang paling penting penerapannya tidak diskriminatif,” kata dia.

Dorongan untuk merevisi kembali UU ITE sempat mencuat pada Juli 2019. Saat itu Mahkamah Agung menolak permohonan Peninjauan Kembali yang diajukan Baiq Nuril terkait kasus penyebaran konten asusila seperti diatur dalam UU ITE.

Namun, Wakil Ketua Komisi I DPR RI saat itu, Satya Yudha mengatakan revisi UU ITE terganjal masa bakti anggota Dewan periode 2014-2019. Menurutnya, masa kerja yang hanya beberapa bulan kala itu tidak cukup untuk merevisi UU ITE.(cnn/hm07)

Related Articles

Latest Articles