10.7 C
New York
Wednesday, April 24, 2024

Djoko Tjandra Dan Polemik Red Notice

Jakarta, MISTAR.ID

Red notice Joko Soegiarto Tjandra alias Djoko Tjandra menjadi polemik panjang. Tahun 2014 red noticenya sempat dihapus. Namun sekretaris NCB Interpol Indonesia periode 2013-2015 Irjen (Purn) Setyo Wasisto menegaskan, tak pernah ada penghapusan red notice.

Setyo Wasisto mengaku Djoko Tjandra yang sempat buron selama 11 tahun itu masih aktif hingga tahun 2015. Ia bahkan masih aktif berkomunikasi dengan Interpol pusat soal red notice pada Agustus 2015. Berdasarkan file-file yang masih ada tidak pernah ada pengajuan penghapusan red notice Joko Tjandra dari Indonesia.

Catatan pemberitaan, informasi yang disampaikan Setyo tersebut berbeda dari keterangan Polri, baru-baru ini. Kepala Divisi Humas Polri Irjen (Pol) Argo Yuwono menyebut, red notice bagi Djoko Tjandra terhapus otomatis dari basis data Interpol pada tahun 2014 merujuk pada aturan Interpol.

Baca juga : Pengacara Djoko Tjandra Jadi Tersangka

“Dari 2009 sampai 2014 itu sudah lima tahun, itu adalah delete by system sesuai article nomor 51 di Interpol’s Rules on The Processing of Data,” kata Argo di Gedung Bareskrim Polri, Jakarta Selatan, Jumat (17/7/2020) lalu. Setyo sendiri mengakui ada protokol itu. Namun dalam praktik selama ini, red notice tidak akan dicabut apabila buronan itu bulum tertangkap.

Baca juga: Gunakan Teknologi Pemindai Wajah, Polri Pastikan Djoko Tjandra Asli Telah Ditangkap

Wasisto melanjutkan, pada tahun 2013, pihak Djoko Tjandra memprotes terus menerus perihal status red notice kepada Interpol yang berpusat di Lyon, Prancis.

Bagi Polri, upaya itu sah-sah saja dilakukan. Setelah serangkaian protes, Interpol pusat mengirimkan pertanyaan resmi ke Polri soal apakah kasus yang menjerat Djoko Tjandra masuk ke dalam perkara korupsi atau penggelapan. Pasalnya, kasus penggelapan akan dikategorikan sebagai ranah perdata dalam hukum internasional sehingga mereka yang terjerat tidak dapat dikenakan red notice.

Kejaksaan Agung kemudian menggelar rapat internal untuk menjawab hal itu. Akhirnya, Kejaksaan Agung menyatakan bahwa perkara yang melibatkan Djoko Tjandra, yakni kasus pengalihan hak tagih atau cessie Bank Bali, masuk ke dalam kategori tindak pidana korupsi.

“Akhirnya dari Kejaksaan menyampaikan bahwa ini hanya dikenakan korupsi. Kan itu ada istilahnya addendum, yaitu ditambahkan bahwa red notice ini hanya karena kejahatan dia hanya korupsi. Itu pada Agustus 2015,” papar Setyo.

Setyo pun mempertanyakan pemberitaan di media perihal terhapusnya red notice untuk Joko Tjandra sejak tahun 2014. “Logikanya begini, kalau tahun 2014 sudah terhapus, kenapa pada 2020 istri Djoko Tjandra minta penghapusan red notice? Nah itu logikanya,” tutur dia.

Polemik red notice

Polemik red notice terkait Djoko Tjandra berawal dari surat yang dikirimkan Sekretaris NCB Interpol Brigjen (Pol) Nugroho Slamet Wibowo kepada Dirjen Imigrasi Kemenkumham di tahun 2020. Surat dengan surat nomor B/186/V/2020/NCB.Div.HI tanggal 5 Mei 2020 tersebut ditandatangani Nugroho atas nama Kepala Divisi Hubungan International Polri.

Dalam surat itu, Nugroho menyampaikan bahwa terhapusnya red notice Djoko Tjandra sejak 2014 disebabkan tidak ada permintaan perpanjangan dari pihak Kejaksaan Agung. Surat itu diketahui merujuk salah satu surat dari istri Djoko Tjandra bernama Anna Boentaran tanggal 16 April 2020 tentang permohonan pencabutan red notice Interpol atas nama Joko Soegiarto Tjandra.

Irjen (Pol) Argo berdalih, surat dari Sekretaris NCB Interpol kepada Dirjen Imigrasi hanya untuk memberitahukan informasi mengenai terhapusnya status red notice Djoko Tjandra.

“Kalau yang kemarin surat oleh Pak Sekretrasi NCB itu kan menyampaikan ke Imigrasi, ini loh red notice-nya sudah terhapus,” ujar Argo di Lapangan Tembak Senayan, Jakarta, Rabu (22/7/2020).

Argo sekaligus menekankan bahwa Polri tidak menghapus red notice untuk Djoko Tjandra. Sebab, menurut Polri, yang dapat menghapusnya adalah Interpol Pusat.

Kini, Nugroho serta atasannya, Kepala Divisi Hubungan International Polri Irjen (Pol) Napoleon Bonaparte telah dimutasi. Keduanya diduga melanggar kode etik karena tak menjalankan prosedur perihal administrasi. Napoleon dimutasi sebagai Analis Kebijakan Utama Itwasum Polri. Sementara, Nugroho dimutasi menjadi Analis Kebijakan Utama Bidang Jianbang Lemdiklat Polri. (kompas/hm06)

Related Articles

Latest Articles