6.5 C
New York
Wednesday, March 27, 2024

Media Diharapkan Tidak Mengeksploitasi Identitas Korban Kekerasan Seksual

Medan, MISTAR.ID

Kepala Deputi Bidang Partisipasi Masyarakat KemenPPPA Indra Gunawan, mengapresiasi kegiatan webinar “Kode Etik Penulisan Berita Kekerasan Seksual Pada Perempuan Dan Anak” yang digelar secara online, Sabtu (27/8/22).

Dalam webinar tersebut menghadirkan dua narasumber yakni, Uni Lubis selaku Ketua Umum FJPI/Pemred IDN Times, dan Luviana selaku Pendiri Konde.co/AJI.

Keduanya membahas mengenai penulisan kasus kekerasan seksual yang terjadi pada perempuan dan anak. Di mana, media tidak diminta untuk mengeksploitasi dan mengeksplorasi identitas dari korban, namun terpenting harus menguak dari modus pelaku.

Baca Juga:HUT  IWO, Jurnalis Harus Bersinergi Ciptakan Keamanan

“Terkait akan pemberitaan yang betul di perspektif pada korban, hal ini saya rasa sejalan dengan apa yang saat ini kita gencarkan ke media, ke perguruan tinggi, ke semua pihak untuk kita lebih memasifkan sosialisasi UU yang baru disahkan. Tentunya berbagai pihak perlu mensosialisaskannya,” kata Indra.

Menurutnya, sudah banyak kode etik yang telah disampaikan dalam webinar tersebut, semoga bisa diwujudkan bersama dan bisa menjadi pedoman para wartawan untuk ke depannya bisa lebih berspektif pada korban kekerasan seksual.

Sebelumnya, Uni Lubis selaku Ketua Umum FJPI/Pemred IDN Times mengatakan, tingginya kasus kekerasan seksual yang terjadi pada perempuan dan anak hingga saat ini seperti gunung es yang terungkap ke publik. Namun, kebanyakan juga tidak terungkap karena berbagai hal.

Baca Juga:Pelatihan Jurnalistik di Kampus LP3I, Manfaatkan Smarphone di Era Digital

“Pemerkosa dan kejahatan seksual pada dasarnya adalah aksi kekerasan atas korban, tak peduli korbannya luka atau tidak secara fisik. Maka, gunakan “laporan pemerkosaan” ketimbang “dugaan pemerkosaan”. Kata “dugaan” tidak netral dan mengisyaratkan keraguan media atas kejahatan yang dilaporkan. Soal diksi ini wartawan rajin-rajinlah membuka KBBI dan hindari kata-kata yang tidak tepat seperti: menggagahi, menggauli, menyetubuhi, suka sama suka dan seterusnya,” terang Uni.

Uni juga menyarankan untuk menggunakan istilah “pemerkosaan yang dilakukan kenalan korban” ketimbang “pemerkosaan oleh teman kencan”. Hal ini biasanya digunakan saat korban ternyata kenal dekat dengan pelaku.

Baca Juga:Bagus Syahputra Pimpin Forlispar, Jurnalis Berperan Mengawal Pariwisata Danau Toba

Sementara itu, Founder Konde.co/AJI Luviana menyebutkan, AJI bersama Komnas Perempuan dan Dewan Pers sudah membuat rancangan untuk buku panduan penulisan pemberitaan korban kekerasan seksual pada perempuan dan anak.

“Tapi sampai sekarang belum dibahas lagi. Maka, teman-teman FJPI dan KemenPPPA bersama AJI bisa mendorong agar ini bisa menjadi panduan pemberitaan. Mengapa seperti itu? Karena ini resep konde tahun 2020 tentang RUU PKS saat itu. Hampir semua media menuliskan sahkan RUU PKS tetapi media itu tidak konsisten ketika menuliskan “digagahi, dicabuli” seperti temuan mbak Uni tadi. Jadi, media ini inkonsistensi walau menuliskan sahkan RUU PKS tadi,” bebernya.

Baca Juga:Festival Literasi Balige Kabupaten Toba, Jurnalis Latihan Reportase

Diharapkan, setelah kegiatan ini, bisa mendorong buku panduan atau penulisan kekerasan seksual terhadap anak.

Seperti Dewan Pers mempunyai pedoman untuk penulisan bunuh diri. Sehingga dengan adanya buku panduan tersebut wartawan akan bisa lebih baik lagi dalam penulisan dan lainnya.(anita/hm10)

Related Articles

Latest Articles