5.7 C
New York
Thursday, April 25, 2024

KontraS : Konflik Agraria di Sumut Kian Bertambah

Medan, MISTAR.ID

Komisi untuk Orang Hilang dan Korban Tindak Kekerasan (KontraS) Sumatera Utara (Sumut) menyoroti konflik agraria yang terus menjadi ancaman bagi petani dalam mengelola sumber daya ekonominya.

KontraS Sumut menilai, hingga kini penyelesaian konflik agraria masih sebatas wacana, di sisi lain jumlah kasus agraria semakin bertambah.

“Persoalan konflik agraria di Sumut semakin sulit terurai karena komitmen pemerintah dalam menyelesaikan konflik hanya sebatas prosedural saja, tidak melihat perspektif yang berkeadilan bagi masyarakat terdampak,” ujar Koordinator KontraS Sumut Rahmat Muhamad, Selasa (27/9/22).

Rahmat menilai, konflik agraria di Sumut sangat komplek, dari hasil monitoring sepanjang tahun 2022. KontraS mencatat, 34 titik konflik agraria terjadi di Sumatera Utara. Jumlah tersebut sama dengan catatan Kontras tahun sebelumnya.

“Secara keseluruhan, dalam 4 tahun terakhir kita mencatat ada 122 kasus konflik agraria di Sumatera Utara,” katanya.

Rahmat menyebutkan, konflik agraria di Sumut umumnya terjadi dalam masalah tumpang tindih di lahan HGU yang disebabkan beberapa faktor. Pertama, HGU sempat ditelantarkan belasan tahun, sehingga dikelola oleh masyarakat. Kedua, HGU terbit saat tanah telah dikuasai masyarakat pascareformasi.

Baca juga:Sidang Kasus Keterangan Palsu, Saksi Akui Tanah Sudah Dibeli Tapi Sertifikat Atas Nama Terdakwa

Ketiga, HGU berada di atas tanah yang memiliki ikatan sejarah dengan masyarakat, hasil pengusiran paksa saat rezim orde baru dan keempat HGU yang dikeluarkan ketika beririsan lahan dengan masyarakat.

Persoalan lain yang menjadi catatan KontraS yakni menyangkut konflik di wilayah eks HGU PTPN II seputar 5873,06 HA yang tersebar di Deli Serdang, Langkat dan Binjai. Baik itu izin konsesi di kawasan hutan yang beririsan dengan masyarakat adat, penyerobotan lahan mafia tanah dan Proyek Strategi Nasional (PSN), hingga pengelolaan tambang juga turut menyumbang angka konflik yang ada saat ini.

“Tingginya angka konflik bukan hanya mengakibatkan terampasnya ruang hidup dan mata pencaharian masyarakat, namun kerap mengakibatkan korban luka hingga kriminalisasi terhadap masyarakat yang mempertahankan hak atas tanahnya,” katanya.

21 Orang Dikriminalisasi

Rangkaian aksi elemen masyarakat saat memperjuangkan hak tanah mereka, dalam catatan KontraS Sumut setahun terakhir. (f: ist/mistar)

Berdasarkan catatan KontraS dalam satu tahun terkahir, kata Rahmat, ada 21 orang dikriminalisasi dan 12 orang terluka akibat dari upaya masyarakat dalam mempertahankan hak atas tanahnya.

Sebut saja 3 orang pengurus Kelompok Tani Torang Jaya Mandiri (KTTJM) Padang Lawas, saat konflik dengan PT Sumatera Sylva Lestari dan PT Sumatera Riang Lestari.

Lalu masyarakat adat Mbal-mbal Petarum, Kecamatan Mardinding, Kabupaten Tanah Karo yang terancam dikriminalisasi karena tidak mematuhi surat edaran pengusiran paksa pada kelompok mereka.

“Tingginya angka kriminalisasi dalam kasus konflik agraria merubah paradigma. Jika sebelumnya aparat keamanan yang biasa berperan dalam pengamanan lahan ketika eksekusi dilakukan, saat ini pra eksekusi pun aparat berperan dalam melakukan kriminalisasi untuk menakut-nakuti masyarakat,” ucapnya.

Menurut Rahmat, Kepolisian masih dijadikan tameng oleh perusahaan. Masyarakat umumnya dikriminalisasi atas dugaan yang tak masuk akal, seperti kasus perambahan hutan, penyerobotan lahan, pengrusakan, hingga pemukulan terhadap petugas perusahaan.

“Aparat keamanan seharusnya bertindak netral dalam persoalan konflik agraria, bukan justeru berperan sebagai tameng perusahaan, dan menakut-nakuti masyarakat dengan dalil-dalil pesanan,” pungkasnya.

Selain itu, KontraS juga menilai penyelesaian konflik agraria minim hasil, kasus konflik semakin menggunung setiap tahunnya, sedangkan disisi lain upaya penyelesaian konflik justeru tidak maksimal.

Menurut KontraS, sudah hampir habis masa periode Gubernur Sumatera Utara tetapi tidak ada tanda-tanda masalah konflik agraria akan terselesaikan. Padahal, sejak 10 September 2018 usai rapat paripurna perdana, Edy Rahmayadi menyampaikan komitmennya untuk menyelesaikan konflik agraria dalam jangka waktu setahun.

Baca juga:Edy Rahmayadi Harapkan Konflik Agraria di Sumut Diselesaikan Secara Adil dan Berketetapan Hukum

“Namun, setelah 4 tahun menjabat persoalan konflik agraria justru semakin mengkhawatirkan. Janji Edy menuntaskan konflik dalam waktu satu tahun hanyalah bualan belaka,” ucapnya.

Menurut Rahmat, penyelesaian konflik tidak bisa dilakukan hanya dengan melihat dari kacamata penguasa. Penyelesaian konflik membutuhkan formulasi yang jelas, tidak bisa dilakukan hanya dengan melihat hilir persoalan. Bahwa pengusaha memiliki HGU dan masyarakat dipaksa untuk angkat kaki. Lalu kemudian diberikan konsep kompensasi, ganti rugi atau tali asih.

“Mekanisme penyelesaian konflik juga harus bersifat partisipatif, melibatkan korban terdampak, melihat dari kacamata semua pihak, perspektif korban harus di perhatikan dalam penyelesaian ini bukan hanya dari sudut administrasi semata,” pungkasnya. (ial/hm06)

 

 

 

Related Articles

Latest Articles