10.2 C
New York
Sunday, May 5, 2024

Wabah Covid-19 Di Pabrik Sarung Tangan Malaysia, 1 Pekerja Tewas

Kuala Lumpur, MISTAR.ID

Wabah Covid-19 yang melanda perusahaan sarung tangan Top Glove Corp Malaysia mengakibatkan seorang pekerja meninggal dunia pada Sabtu (12/12/20). Korban merupakan kasus kematian pertama sejak wabah di asrama dan pabriknya pada bulan Oktober.

Melansir media, perusahaan sarung tangan terbesar di dunia itu mengatakan melalui e-mail bahwa pekerja berusia 29 tahun dari Nepal. Korban telah bekerja di fasilitas manufakturnya di Klang, 40 km sebelah barat ibu kota Kuala Lumpur selama lebih dari dua tahun.

Sebelumnya, lebih dari 5.000 pekerja atau hampir seperempat dari tenaga kerja perusahaan dinyatakan positif setelah wabah Covid-19 merebak dalam kawasan industri pabrik dan asrama di luar ibu kota Kuala Lumpur tersebut.

Baca juga: Pabrik Di Malaysia Tutup, 1.500 Karyawan Terinfeksi Covid-19

“Akomodasi terlalu penuh sesak,” kata seorang pekerja asal Bangladesh dengan nama Sheikh Kibria. Dia menggambarkan dengan ngeri kondisi asrama tempat dia ditampung oleh Top Glove Crop Malaysia. Kibria menjabarkan bagaimana asrama tempatnya tinggal begitu kotor dan penuh sesak saat wabah Covid-19 merebak dan menginfeksi ribuan lainnya.

“Ruangan itu sendiri sangat minim. Sangat tidak mungkin untuk menjaga kebersihan ketika begitu banyak orang tinggal dalam satu kamar. Ini seperti barak tentara hanya kurang terawat.” Kibria, 24, sempat mendapatkan perawatan di rumah sakit karena diduga mengidap virus corona.

Meski, dia kemudian dinyatakan negatif dan dipindahkan ke hotel. Ketika situasi meningkat bulan lalu, Top Glove mulai memindahkan pekerja yang terinfeksi ke rumah sakit dan kontak dekat mereka ke pusat karantina. Jumlah pekerja di asrama mulai berkurang. Tetapi para kritikus mengatakan tindakan itu terlalu terlambat.

“Perusahaan telah membahas pengurangan orang di kamar sebelum infeksi dimulai tetapi itu tidak pernah terjadi,” kata seorang pekerja lini produksi Nepal, Karan Shrestha, kepada media. “Ruangan tetap ramai dan pada akhirnya kasus virus corona mulai meningkat.” Menurutnya, perusahaan tidak membuat pekerja aman.

Baca juga: Lonjakan Covid-19 Malaysia Capai Rekor Tertinggi

Mereka tamak dan lebih memperhatikan pendapatan dan keuntungan mereka. Media menggunakan nama samaran untuk melindungi identitas para pekerja, karena mereka takut berbicara. Ketika kasus meningkat, pemerintah memerintahkan 28 pabrik sarung tangan utama untuk ditutup, dari 41 pabrik yang beroperasi di “Negeri Jiran”. Pihak berwenang merencanakan tindakan hukum terhadap perusahaan atas akomodasi pekerja yang buruk, yang dapat mengakibatkan denda yang berat.

Perusahaan yang memiliki 21.000 staf dan dapat memproduksi 90 miliar sarung tangan setahun ini menegaskan sedang melakukan perbaikan. Mereka telah menghabiskan 20 juta ringgit (5 juta dollar AS) atau setara Rp70 miliar untuk membeli akomodasi pekerja baru dalam dua bulan terakhir. Ada juga rencana untuk membangun “mega-hostel” yang dilengkapi dengan fasilitas modern yang dapat menampung hingga 7.300 orang.

“Kami sadar masih banyak yang harus dilakukan untuk meningkatkan standar kesejahteraan karyawan kami dan berjanji untuk segera memperbaiki kekurangan,” kata irektur pelaksana Lee Kim Meow. Namun, kritik muncul minggu ini setelah perusahaan mengumumkan lonjakan laba bersih kuartalan 20 kali lipat menjadi 590 juta dollar AS (Rp8,3 triliun). Hal itu menjadi sorotan bagi aktivis pekerja migran bergaji rendah. Perusahaan dikritik karena terus mendahulukan keuntungan perusahaan daripada keselamatan jiwa.

Baca juga: Di Malaysia, Vaksin Covid-19 Tak Perlu Halal

“Perusahaan, investor, dan pembelinya memprioritaskan pengiriman lebih banyak sarung tangan, lebih cepat dan dengan profitabilitas yang lebih tinggi daripada kesejahteraan tenaga kerja yang sebagian besar pekerja migran,” kata Andy Hall, spesialis tenaga kerja migran yang fokus di Asia.

Malaysia, negara Asia Tenggara yang relatif makmur dengan 32 juta jiwa, telah lama menarik para imigran dari negara yang lebih miskin untuk bekerja di industrinya mulai dari manufaktur hingga pertanian. Top Glove mengatakan sebagian besar pekerja yang dites positif telah dibebaskan dari rumah sakit, dan beberapa pabrik sekarang dibuka kembali.

Tetapi beberapa pekerja tetap takut pada prospek kembali ke jalur produksi, meskipun perusahaan berusaha untuk menerapkan jarak sosial dan menyediakan alat pelindung. “Jika kami bekerja di pabrik, saya akan sangat takut,” kata Salman dari Bangladesh, berbicara dari asramanya. “Bahkan dengan keamanan ekstra, sangat sulit untuk mencegah wabah.” (kompas/hm09)

Related Articles

Latest Articles