23.4 C
New York
Monday, April 29, 2024

Pemerintah Tandingan Bentuk Sayap Militer Lawan Junta Myanmar

Naypyidaw, MISTAR.ID

Perang saudara di Myanmar sudah di depan mata. Menyusul pengumuman pemerintah tandingan Myanmar (NUG) untuk membentuk pasukan pertahanan sebagai kekuatan rakyat untuk melindungi warga antikudeta dari serangan dan tindak kekerasan oleh junta militer.

Dalam pernyataan pada Rabu (5/5/21), pasukan pertahanan ini merupakan bentuk baru dari Tentara Federal Gabungan yang dibentuk beberapa tahun lalu untuk mengakhiri perang saudara di Myanmar. Pasukan tersebut terdiri dari gabungan sejumlah milisi etnis. Sebelumnya, mereka juga kerap menangani serangan dan kekerasan militer dari Dewan Administrasi Negara (SAC).

Sejak saat itu, sejumlah milisi etnis menyatakan dukungan terhadap NUG untuk melawan junta militer. Mereka bertekad akan mendorong militer untuk mengakhiri kekerasan, memulihkan demokrasi, dan membangun “persatuan demokratis federal.”

Baca juga: Pangkalan Militer Myanmar Direbut Pemberontak

Salah satu milisi etnis pendukung NUG, Persatuan Nasional Karen (KNU), menyatakan bahwa pasukannya telah membunuh 194 tentara Myanmar, sejak akhir Maret. Myanmar sendiri beberapa kali dikuasai junta sejak 1962 hingga 2011. Kehidupan di bawah junta militer sangat penuh kekerasan sehingga warga terus berusaha mewujudkan demokrasi dan reformasi ekonomi besar-besaran.

Pada 2015, partai sipil pimpinan Aung San Suu Kyi, Liga Nasional untuk Demokrasi (NLD), akhirnya menang pemilu. Namun, junta militer kembali mengudeta pemerintahan sipil pada 1 Februari lalu dengan dalih kecurangan pemilu.

Kudeta itu memicu aksi protes hampir setiap hari. Banyak orang marah dan tak mau lagi dipimpin militer. Begitu masif perlawanan, pasukan keamanan menindak sipil dengan kekerasan.

Hingga kini, menurut catatan Asosiasi Lembaga Bantuan untuk Tahanan Politik (AAPP) sebanyak 769 orang tewas, sementara 3.696 yang menolak kudeta ditahan junta militer sejak kudeta. Sipil tak memiliki senjata sehingga mereka dianggap bukan lawan proporsional bagi militer yang memiliki salah satu pasukan dan alutsista paling tangguh di kawasan.

Sebagai upaya mengimbangi kekuatan junta militer, sebagian orang bergabung dengan milisi etnis untuk berlatih angkat senjata di hutan. Sebagian aktivis yang pernah dipenjara juta turut serta dalam latihan-latihan itu. Setelah NUG mengumumkan pembentukan pasukan pertahanan ini, sejumlah aktivis sipil langsung ingin bergabung.

Baca juga: Junta Militer Brutal, 250 Ribu Warga Myanmar Mengungsi

200 LSM Dunia Minta Pasokan Senjata Ke Myanmar Diembargo

Amnesty International dan lebih dari 200 organisasi non-pemerintah (LSM) lainnya telah menyerukan embargo senjata global terhadap Myanmar. Hal ini dilakukan mereka mengingat tindakan keras yang terus berlanjut oleh militer terhadap pengunjuk rasa setelah kudeta Myanmar pada Februari 2021.

“Sudah waktunya bagi Dewan Keamanan PBB untuk menggunakan kekuatannya untuk memberlakukan embargo senjata global yang komprehensif untuk mencoba dan mengakhiri pembunuhan besar-besaran oleh militer,” kata Lawrence Moss, Advokat senior PBB untuk Amnesty International.

Kecaman belaka oleh komunitas internasional sejauh ini tidak berpengaruh, katanya, demikian dikutip dari laman media, Kamis (6/5/21). Kelompok-kelompok tersebut meminta Inggris Raya, konseptor teks Myanmar yang ditunjuk Dewan Keamanan, untuk “segera membuka negosiasi di Dewan Keamanan tentang rancangan resolusi yang mengesahkan embargo senjata”.

Baca juga: Milisi Etnis Myanmar Serang Kantor Polisi, 10 Tewas

“Tidak ada pemerintah yang boleh menjual satu peluru pun ke junta dalam keadaan seperti ini,” tambah kelompok itu. “Menerapkan embargo senjata global ke Myanmar adalah langkah minimum yang diperlukan Dewan Keamanan untuk menanggapi kekerasan militer yang meningkat.”

Myanmar berada dalam kekacauan sejak militer menggulingkan pemimpin sipil Aung San Suu Kyi pada 1 Februari. Aksi ini lantas memicu pemberontakan massal dari protes harian dan boikot nasional dari pegawai negeri.

Sejauh ini, hampir 770 orang telah tewas dalam tindakan keras mematikan, menurut kelompok pemantau lokal dan lebih dari 4.500 orang telah dipenjara. Namun, junta militer melaporkan jumlah kematian yang jauh lebih rendah dan tak setuju dengan data kelompok pemantau. (kompas/liputan6/hm09)

Related Articles

Latest Articles