14.7 C
New York
Saturday, April 27, 2024

RUU Perpajakan Disahkan, Ada Tax Amnesty Jilid II di 2022

Jakarta, MISTAR.ID
Dewan Perwakilan Rakyat (DPR) RI hari ini akan mengesahkan Rancangan Undang-Undang Harmonisasi Peraturan Perpajakan (RUU HPP) menjadi UU. Pengesahan akan dilakukan di rapat paripurna DPR.
“Betul, nanti siang rapat paripurna mengesahkan RUU HPP,” kata Anggota Komisi XI DPR RI Fraksi PDI Perjuangan (PDIP), Hendrawan Supratikno, Kamis (7/10/21).

Dengan begitu sejumlah aturan pajak mengalami perubahan dan mulai diterapkan tahun depan. Dirangkum detikcom, Kamis (7/10/21), berikut sejumlah poinnya berdasarkan draf RUU HPP:

1. Tarif PPh 35% Bagi Pendapatan di Atas Rp5 M
Pemerintah menambah layer baru untuk tarif pajak penghasilan (PPh) orang pribadi. Salah satu ketentuan ini adalah pengenaan tarif PPh sebesar 35% bagi orang yang memiliki penghasilan di atas Rp5 miliar.

Tarif PPh itu naik 5% dibanding yang berlaku saat ini yakni sebesar 30% untuk penghasilan di atas Rp500 juta per tahun. Artinya, ini adalah aturan baru yang berlaku bagi orang kaya di dalam negeri.

Baca juga:Insentif PPh 50 Persen Bagi UMKM Bakal Dihapus

Selain itu, penghasilan kena pajak untuk lapisan pertama yang dikenakan tarif 5% diubah, dari tadinya hingga Rp50 juta per tahun menjadi Rp60 juta per tahun.

2. PPN Naik Jadi 11%
Tarif Pajak Pertambahan Nilai (PPN) akan naik menjadi 11% mulai 1 April 2022. Untuk diketahui, saat ini tarif PPN yang berlaku sebesar 10%.

Selanjutnya, tarif PPN akan kembali naik menjadi 12% mulai 1 Januari 2025. Tak hanya itu, pemerintah juga akan menerapkan PPN multi tarif, dari range 5-15%.

“Tarif Pajak Pertambahan Nilai sebagaimana dimaksud pada ayat (1) dapat diubah menjadi paling rendah 5% dan paling tinggi 15%,” tulis Pasal 7 ayat (3).

3. PPh Badan Tetap 22%
Pemerintah batal menurunkan tarif PPh Badan atau perusahaan dalam negeri dan bentuk usaha tetap (BUT) menjadi 20%. Dalam draf RUU HPP, tarif PPh Badan di tahun depan sama seperti tarif tahun ini yakni sebesar 22%.

“Wajib Pajak badan dalam negeri dan bentuk usaha tetap sebesar 22% yang mulai berlaku pada Tahun Pajak 2022,” tulis Pasal 17 ayat (1) draf RUU HPP tersebut.

4. Tax Amnesty
Pengampunan pajak (tax amnesty) jilid II yang bernama Pengungkapan Sukarela Wajib Pajak akan berlaku mulai 1 Januari 2022. Nantinya, wajib pajak bisa menyampaikan harta bersih yang belum atau kurang diungkapkan sejak 1 Januari 1985 sampai 31 Desember 2015 kepada Dirjen Pajak melalui Surat Pernyataan.

Dalam Pasal 6 draf RUU HPP tersebut, wajib pajak bisa menyampaikan surat pernyataan kepada otoritas pajak sejak 1 Januari 2022 hingga 30 Juni 2022.

“Wajib Pajak mengungkapkan harta bersih sebagaimana dimaksud dalam Pasal 5 ayat (1) melalui surat pemberitahuan pengungkapan harta dan disampaikan kepada Direktur Jenderal Pajak sejak tanggal 1 Januari 2022 sampai dengan tanggal 30 Juni 2022,” tulis Pasal 6 ayat (1) draf tersebut.

Baca juga:Luhut Panjaitan Masuk Laporan Skandal Pajak Pandora Papers

5. Pajak Karbon
Dalam draf RUU HPP, akan diterapkan pajak karbon yang tarifnya sebesar Rp30 per kilogram (kg) karbon dioksida ekuivalen (CO2e). Ini dikenakan atas emisi karbon yang memberikan dampak negatif bagi lingkungan hidup.

“Dalam hal tarif harga karbon di pasar karbon lebih rendah dari Rp 30 per kilogram karbon dioksida ekuivalen (CO2e) atau satuan yang setara, tarif pajak karbon ditetapkan sebesar paling rendah Rp 30 per kilogram dioksida ekuivalen (CO2e) atau satuan yang setara,” bunyi draf tersebut dalam Bab VI Pasal 13 ayat (9).

Pengenaan pajak karbon dilakukan dengan memperhatikan peta jalan pajak karbon dan/atau peta jalan pasar karbon. Peta jalan pajak karbon yang dimaksud yakni memuat strategi penurunan emisi karbon, sasaran sektor prioritas, keselarasan dengan pembangunan energi baru dan terbarukan, dan/atau keselarasan antar berbagai kebijakan lainnya. Sedangkan kebijakan peta jalan pajak karbon adalah yang ditetapkan oleh pemerintah dengan persetujuan DPR RI.

Subjek pajak karbon yaitu orang pribadi atau badan yang membeli barang yang mengandung karbon dan/atau melakukan aktivitas yang menghasilkan emisi karbon.

“Penerimaan pajak karbon dapat dialokasikan untuk pengendalian perubahan iklim,” bunyi Pasal 13 ayat (11). (detik/hm06)

Related Articles

Latest Articles