13.6 C
New York
Saturday, April 27, 2024

Rp8,5 Triliun Valas Dana Haji Bukan untuk Memperkuat Rupiah  

Jakarta, MISTAR.ID

Badan Pengelola Keuangan Haji (BPKH) mencatat posisi dana haji per Mei 2020 mencapai Rp135 triliun. Dari dana tersebut, Rp132 triliun merupakan setoran awal dan nilai manfaat, lalu Rp 3,4 triliun berupa dana abadi umat (DAU).

Kepala Badan Pelaksana BPKH Anggito Abimanyu mengatakan, untuk keberangkatan haji BPKH seharusnya menyiapkan Rp14,5 triliun kepada Kementerian Agama (Kemenag). Dari angka tersebut, Rp8,5 triliunnya berupa valuta asing atau valas.

Baca Juga: Jika Haji 2020 Batal, Bagaimana Uang Jamaah?

“Dalam keadaan normal BPKH tugasnya menyiapkan dana kepada Kemenag. Jadi BPIH disetujui DPR, lalu Keppres diterbitkan, maka tugas kami menyiapkan dana. Bentuknya valas dan rupiah. Lebih banyak valas dari pada rupiah, jumlahnya Rp14,5 triliun, sekitar Rp 8,5 triliun dalam bentuk valas, sisanya rupiah,” kata Anggito dalam diskusi virtual Badan Perlindungan Konsumen Nasional (BPKN), Jumat (5/6/20).

Meski begitu, Anggito kembali menegaskan dana tersebut yang berbentuk valas bukanlah digunakan untuk penguatan rupiah.

“Dalam mengelola valas itu tentu kami berkoordinasi dengan Bank Indonesia (BI) sebagai otoritas moneter. Maka kalau dikatakan sebagai penguatan rupiah, itu adalah bagian dari operasi kami sebenarnya untuk mengadakan valas. Tapi kami tidak bertugas untuk melakukan penguatan rupiah,” paparnya.

Baca Juga: Keputusan yang Sulit, Haji 2020 Dibatalkan

Anggito menjelaskan, ketika dana haji tahun 2020 tidak terpakai karena pembatalan keberangkatan, maka BPKH memiliki dua opsi untuk tetap menyimpan dalam bentuk valas, atau menjual ke rupiah.

“Maka pilihannya dana tersebut diakumulasikan dalam bentuk valas, atau dijual dan mendapatkan rupiah. Saat ini imbal hasil dari deposito dolar itu hanya 1%, kalau dengan rupiah itu 5-6%, kalau dibelikan sukuk 7-8%. Kalau diinvestasikan langsung bisa 9-10%. Jadi pilihan kami adalah mencari portofolio yang memberikan nilai optimal untuk jemaah haji,” terangnya.

Meski ada opsi-opsi tersebut, ia menegaskan BPKH tidak punya tujuan atau tugas untuk memperkuat nilai rupiah dengan menggunakan dana haji.

“Jadi kalimat yang mengatakan dipakai untuk penguatan rupiah itu miss leading,” tegas Anggito.

Baca Juga: Lobi Arab Saudi, Kemenag Cari Kepastian Pelaksanaan Haji 2020

Apabila dalam pengelolaan dana haji ini berimbas pada penguatan rupiah, menurutnya hal itu adalah kebijakan moneter di Indonesia, bukan BPKH. “Itu kebijakan moneter,” ujarnya.

Wakil Menteri Agama (Wamenag) Zainut Tauhid Saadi juga membantah isu dana haji digunakan untuk memperkuat rupiah. Menurut Zainut, tuduhan yang ditujukan kepada pemerintah tersebut adalah fitnah.

“Tuduhan uang haji akan digunakan oleh pemerintah untuk memperkuat rupiah adalah fitnah yang sangat keji, dan pendapat tersebut sama sekali tidak berdasar. Statement seperti itu hanya mungkin keluar dari orang yang sudah terbiasa dengan pikiran kotor dan suka mencari sensasi,” tegas Zainut dalam keterangan resminya, Jumat (5/6/20).

Zainut menegaskan, dana haji tahun 2020 yang tak terpakai akan dikelola oleh BPKH sesuai dengan aturan yang berlaku. Selain itu, dari hasil pengelolaan dana yang dilakukan BPKH, calon jemaah haji pun akan memperoleh nilai manfaatnya.

“Setoran pelunasan biaya perjalanan ibadah haji (BIPIH) yang dibayarkan akan disimpan dan dikelola secara terpisah oleh BPKH. Nilai manfaat dari setoran pelunasan itu akan diberikan oleh BPKH kepada jemaah haji yang bersangkutan paling lambat 30 hari sebelum pemberangkatan kloter pertama penyelenggaraan ibadah haji tahun 1442 H/2021 M,” terang Zainut.

Namun, Kemenag juga telah memberikan opsi kedua yakni jemaah haji bisa menarik setoran pelunasannya. “Setoran pelunasan Bipih dapat diminta kembali oleh jemaah haji,” tuturnya.

Zainut menegaskan, seluruh skema di atas telah disetujui juga oleh Komisi VIII DPR RI sebagai parlemen.

“Skema pengaturan Bipih tersebut, juga sudah disampaikan oleh Menteri Agama pada saat Rapat Kerja dengan Komisi VIII DPR RI pada 11 Mei 2020 secara virtual, dan Komisi VIII DPR RI dapat menerima usulan Kemenag tersebut, sehingga menjadi kesimpulan dalam rapat,” imbuhnya.

Zainut meminta agar masyarakat Indonesia menyampaikan kritik yang berdasar, bukan subjektif.

“Kami sangat menghormati kritik sepanjang kritik tersebut dilandasi niat yang baik, objektif, dan argumentatif. Bukan kritik yang subjektif, asumtif dan hanya untuk mencari sensasi semata,” pungkasnya.(detikcom/hm02)

 

Related Articles

Latest Articles