8.8 C
New York
Thursday, March 28, 2024

Mismanajemen Parpol, Oligarki dan Suara Kotak Kosong

Oleh: Martin Yehezkiel Sianipar

“Didiklah rakyat dengan organisasi dan didiklah penguasa dengan perlawanan”
-Pramoedya Ananta Toer-

Partai politik pada dasarnya adalah organisasi yang didalamnya memiliki unsur-unsur manajemen untuk mengelolanya dan aspek sumber daya manusia sebagai subjek yang saling bekerja sama mencapai tujuan organisasi tersebut.

Apabila suatu organisasi tidak dikelola dengan prinsi-prinsip manajemen yang benar, maka sumber daya manusia di dalamnya cenderung akan diisi oleh individu-individu yang memiliki tujuan dan kepentingan masing-masing.

Sejalan dengan hal tersebut, apabila partai politik gagal dikelola dengan prinsip manajemen dan nilai-nilai demokrasi, maka partai politik cenderung berjalan sebagai sebuah organisasi yang gagal secara kelembagaan dan kehilangan esensinya sebagai pilar demokrasi.

Hal ini digambarkan dengan fenomena pada partai-partai politik yang telah tumbuh tradisi bahwa dengan modal capital dan social yang kuat akan dengan mudah menduduki jabatan strategis pada organisasinya. Juga dengan buruknya sistem pendanaan partai politik yang menciptakan budaya korup dan jebakan pola oligarkis.

Mengoligarkinya partai politik di negara demokrasi seperti Indonesia cenderung menciptakan suatu ironi dan preseden buruk bagi demokrasi itu sendiri.

Esensi demokrasi hanya sekadar tampil menjadi slogan-slogan maupun jargon-jargon yang hanya indah untuk mengisi media iklan partai maupun politisi itu sendiri.

Kemudian iklan-iklan partai politik dan politisi tersebut kita saksikan sehari-hari di ruang-ruang publik sekitar kita menjelang terlaksananya pesta demokrasi. Hasil akhirnya demokrasi kita hanya terjadi pada tataran aksesori yang pernak-perniknya selalu kita saksikan menjelang terlaksananya kontestasi Pilkada.

Momentum reformasi ternyata tidak membawa kita sampai kepada revolusi demokrasi yang mampu mengembalikan posisi rakyat menjadi subjek dari demokrasi itu sendiri. Sehingga sejauh ini, kita kehilangan marwah demokrasi dan terjebak dalam arus demokrasi yang semu dan kehilangan esensinya.

Masyarakat yang seharusnya diutamakan dalam demokrasi dan dididik untuk cerdas secara politik akhirnya menjadi konstituen yang gagal paham tentang politik dan kondisi ini dimanfaatkan oleh partai politik dalam melanggengkan kekuasaannya.

Inilah yang menjadi ironi dan preseden buruk demokrasi itu sendiri, konstituen hanya dianggap sebagai objek politik lima tahunan.

Suasana mengoligarkinya partai politik saat ini salah satunya dikuatkan dengan fenomena semakin banyaknya calon tunggal di Pilkada 2020 saat ini dibandingkan tahun-tahun sebelumnya (Makin Banyak Kotak Kosong di Pilkada 2020, Partai Gagal Kaderisasi? – Tirto.ID, 2020).

Definisi oligarki itu sebenarnya adalah sebuah struktur pemerintahan dimana kekuasaan berpusat hanya pada sekelompok orang.

Sekelompok orang disini tentu dimaksud adalah sekelompok kecil elite dalam organisasi partai politik tersebut yang memiliki kekuatan modal capital maupun sosial. Kekuasaan pada sekelompok orang ini terjadi karena partai politik sebagai organisasi cenderung gagal menjadi lembaga yang seharusnya berperan mendidik masyarakat sebagai subjek utama dalam sebuah negara demokrasi.

Partai politik sejauh ini lebih suka bertindak pragmatis ketika dihadapkan dengan kaderisasi. Daripada repot-repot menciptakan dan menjalankan suatu sistem manajemen partai yang mampu melahirkan kader-kader yang ideal dan berkualitas, partai cenderung lebih suka memilih bergabung dengan koalisi pengusung calon tertentu dengan elektabilitas yang tinggi dan popular di tengah masyarakat lalu akan menang walau calon tersebut memiliki visi dan program yang kurang baik.

Keadaan mismanajemen partai politik inilah yang berakibat buruk kepada system demokrasi di Indonesia saat ini, salah satunya fenomena banyaknya calon tunggal di Pilkada tahun 2020 termasuk di Kota Pematangsiantar.

Dikatakan bahwa kondisi ini merupakan fenomena mismanajemen pada partai politik karena pada intinya partai politik gagal memiliki suatu konsep merit system yang berujung pada kegagalan partai politik sebagai organisasi yang seharusnya berperan menyelenggarakan pendidikan politik bagi kader-kader terbaiknya dari masyarakat.

Disisi lain, boleh dikatakan bahwa partai politik juga gagal dalam mendidik masyarakat agar melek dan cerdas berpolitik karena selama ini masyarakat hanya dianggap sebagai objek dari pesta demokrasi yang diperlukan ‘suaranya’ sebagai konstituen namun gagasannya kurang diperhatikan.

Bahkan terdapat kenyataan bahwa sejumlah partai politik memang memiliki tren ke arah oligarki dan elitisme yang disebabkan karena partai-partai sekarang cenderung hanya memberi kesempatan kepada sejumlah orang ‘khusus’ untuk memimpin partai tersebut, yaitu individu yang memiliki kekuatan modal kapital dan social yang berpotensi memunculkan politisi karbitan bermental pemburu kekuasaan (Tren Parpol Saat Ini Dinilai Menguat ke Oligarki dan Elitisme- Kompas.com, 2020).

Oligarki partai politik sejatinya adalah benalu dalam demokrasi. Partai politik dalam sistem demokrasi tidak langsung seperti di Indonesia merupakan elemen penting karena memiliki peran yang strategis yaitu diberi kepercayaan politik oleh rakyat melalui mekanisme keterwakilan di parlemen.

Keterwakilan rakyat di parlemen tentunya melalu suatu proses pemilihan umum, sehingga dapat dikatakan pemilihan umum atau Pemilu dalam demokrasi yang sehat dan ideal seharusnya merupakan kompetisi visi-misi, program, dan gagasan dari minimal dua kandidat. Ketika pilkada yang terjadi hanya menyediakan calon tunggal, maka esensi dari Pilkada itu sendiri cenderung dicederai karena masyarakat tidak punya pilihan lain.

Apalagi dalam negara demokratis multipartai seperti Indonesia, bertambah banyaknya fenomena calon tunggal merupakan suatu ironi demokrasi. Harapan masyarakat akan adanya perubahan yang dibawa oleh Pemilukada atau sering disebut sebagai pesta demokrasi terhambat karena sifat pragmatis partai politik yang tidak berani untuk mempersiapkan kader-kader idealnya.

Partai politik yang ada saat inipun bisa dikatakan gagal dalam melakukan kaderisasi partainya karena cenderung untuk memilih jalan instan dalam berdemokrasi. Memenangkan Pemilu semata dianggap jalan untuk melanggengkan kekuasaan dan dukung-mendukung dengan pasangan calon cenderung bertendensi transaksional.

Selain itu, dengan keadaan partai politik yang gagal dalam melakukan pendidikan politik pada masyarakat. Kita dihadapkan pada kondisi masyarakat yang tidak melek politik, sehingga yang terjadi adalah demokrasi yang berjalan secara prosedural dan lupa pada esensinya (Demokrasi, oligarki partai politik, dan apatisme masyarakat-Beritagar.ID, 2018).

Melalui momen pilkada, biasanya masyarakat memiliki sejumlah harapan akan terjadinya perubahan. Misalnya berbagai masalah yang ada disuatu kota bisa diselesaikan dan kota tersebut dikelola dengan sebaik dan sebenar-benarnya melalui pemimpin maupun wakil rakyat yang dianggap memiliki visi-misi, gagasan, dan program tertentu.

Kenyataannya selama ini, kita mengalami bahwa pemilu hanya dijalankan sebagai sebuah system demokrasi yang berjalan procedural dan menghabiskan anggaran Negara yang tidak sedikit jumlahnya. Tetapi dengan ongkos pemilu dan ongkos politik yang mahal perubahan yang terjadi tidak signifikan.

Selain itu dengan semakin maraknya fenomena politik mahar, politik uang, politik identitas, sampai kepada politik dinasti berpotensi memperbesar sikap apatisme masyarakat terhadap politik. Sikap apatisme masyarakat inilah yang berpotensi berkembang menjadi sikap perlawanan terhadap oligarki partai.

Dengan demikian kegagalan partai politik sebagai organisasi yang mendidik kader dan masyarakat dalam berdemokrasi harus dibayar mahal dengan munculnya gerakan-gerakan dalam masyarakat yang berusaha ‘mendidik’ penguasa (baca: oligarki parpol) lewat dukungan kepada ‘kotak kosong’ dalam Pilkada dengan calon tunggal seperti di Kota Pematangsiantar.

Namun yang terutama bagi saya bukan soal apakah masyarakat menjadi apatis atau tidak, memilih pasangan calon tunggal atau memilih kotak kosong bahkan golput, karena hal tersebut adalah pilihan bebas individu dalam ruang demokrasi.

Esensinya adalah bagaimana mengedukasi masyarakat agar memiliki sikap dengan pondasi proses berpikir atau bernalar dengan benar terhadap informasi dan fenomena yang terjadi saat ini. Masalahnya bukan sekadar apakah masyarakat acuh atau tidak, namun bagaimana sikap masyarakat terhadap fakta berdasarkan pengalaman yang telah terjadi.

Masyarakat harus dididik memiliki respon yang tepat untuk menyikapi berbagai hal termasuk dalam berdemokrasi yang benar. Bernalar dan berlogika dengan cara yang salah akan menjadi sumber masalah besar yang efeknya akan berpengaruh pada berbagai aspek kehidupan. Dengan bernalar yang benar maka masyarakat akan memiliki sikap dan respon yang jelas terhadap pilihannya.

Penulis: Martin Yehezkiel Sianipar, SE (Staf Lembaga Penelitian dan Pengabdian Masyarakat (LPPM) STIE Sultan Agung Pematangsiantar)

Related Articles

Latest Articles