8.9 C
New York
Thursday, April 18, 2024

Selama Pandemi, Kekerasan Terhadap Perempuan Meningkat

Medan, MISTAR.ID
Selama pandemi Covid-19 jumlah kasus kekerasan terhadap perempuan meningkat secara signifikan. Hal itu dikatakan Kordinator Devisi Advokasi Himpunan Serikat Perempuan Indonesia (HAPSARI) Sri Rahayu.

Rahayu menyebutkan, Komnas Perempuan sendiri mencatat, bahwa pelaporan kasus kekerasan seksual terhitung sejak Januari hingga Mei 2020 mencapai sebanyak 768 kasus.

“Sebanyak 542 kasus terjadi di ranah personal (kekerasan dalam rumah tangga) dan 24 persen di antaranya yaitu 170 kasus adalah kekerasan seksual. Pada pada ranah komunitas, jumlah kasus kekerasan terhadap perempuan mencapai 226 kasus dan sekitar 89 persen atau 203 kasus berkaitan dengan kekerasan seksual,” ungkapnya kepada wartawan, Jumat (28/8/20).

Baca juga: Dianggap Melecehkan Kaum Perempuan, Kawin Tangkap di Sumba Diminta Dihentikan

Sedangkan dari data HAPSARI dari Januari hingga Agustus 2020, terdapat 35 kasus kekerasan yang dilaporkan dari Wilayah Kabupaten Deliserdang dan Kabupaten Serdang Bedagai. Sebanyak 26 kasusnya, sebut dia, merupakan kekerasan dalam rumah tangga.

“Mulai dari kekerasan fisik, psikis, ekonomi hingga penelantaran dan enam diantaranya adalah kasus kekerasan seksual,” jelasnya.

Menurut Sri, pandemi Covid-19 juga telah memaksa beralihnya sistem layanan penanganan kasus dari layanan langsung (tatap muka) menjadi layanan dalam jaringan (daring). Tapi dia menyayangkan, layanan seperti ini tidak mudah diakses oleh korban kekerasan.

Baca juga: 855 Kasus KDRT Terjadi Sejak Awal Tahun Hingga Mei 2020

Sebab terang dia, rendahnya literasi teknologi, masalah jaringan internet yang tidak stabil dan anggaran yang terbatas untuk membeli kuota internet, mempersulit korban mendapatkan akses layanan daring untuk penanganan kekerasan yang dialaminya.

“Ditambah lagi dengan situasi lockdown (pembatasan ke luar rumah) pada zona-zona tertentu, menyebabkan korban tidak bisa menghindari pelaku kekerasan untuk meminta bantuan,” terangnya.

Selain itu, Sri juga mengungkapkan bahwa bentuk-bentuk kekerasan terhadap perempuan termasuk kekerasan terhadap anak di era daring juga semakin berkembang. Selain pemaksaan hubungan seksual dalam rumah tangga, kasus lain adalah kekerasan dalam pacaran.

“Modusnya, korban diminta pacarnya mengirimkan foto, video tanpa busana, dan telepon seks. Ketika kasus seperti ini dilaporkan, hukum positif yang ada saat ini belum memberikan solusi konkret kepada korban kasus kekerasan seksual,” tuturnya.

Oleh sebab itu, Sri menerangkan, HAPSARI yang juga Anggota Forum Pengada Layanan (FPL) Indonesia, ingin menegaskan kembali bahwa Indonesia membutuhkan aparat penegak hukum yang responsif terhadap korban kekerasan seksual, sehingga penuntut umum dan hakim paham apa yang harus dilalui korban. “Di samping itu, korban juga tidak dapat dituntut secara pidana atau perdata atas peristiwa kekerasan seksual yang ia laporkan,” kata dia.

Sri menambahkan, sanksi yang manusiawi juga harus diberikan kepada pelaku, berupa ketentuan rehabilitasi agar hal serupa tak terulang kembali. Ia berpendapat, rehabilitasi bukan sebagai opsi selain hukuman kurungan, tetapi kewajiban yang harus dijalani selama masa pidana, untuk mencegah keberulangan. (Saut/hm06)

 

Related Articles

Latest Articles