7.6 C
New York
Thursday, April 25, 2024

Pilkada ‘Melawan Kotak Kosong’ Ini Tanggapan Milenial

Medan, MISTAR.ID

Dalam Pilkada, demokrasi adalah hak segenap warga negara untuk menyalurkan hak suaranya dalam memilih calon pemimpin yang diidolakannya. Namun belakangan, dunia perpolitikan kita, khususnya pada saat pesta demokrasi atau Pilkada, muncul istilah ‘melawan kotak kosong’.

Secara tidak langsung, hal ini sangat tidak sejalan dengan apa yang dicita-citakan dari yang namnya demokrasi itu. Bahkan Pengamat Pusat Sosial dan Politik Indonesia (Puspolindo) mencatat, ada 31 daerah berpotensi memiliki calon tunggal yang akan melawan kotak kosong dalam Pilkada 2020, termasuk Sumatera Utara (Sumut).

Mengomentari hal ini, Duta Gemari Baca Nasional yang terpilih pada tahun 2019 di Bogor yakni Putri Mutiara Nasution bahwa munculnya paslon tunggal bisa saja terjadi, kerena adanya berkas-berkas para calon lainnya tidak memenuhi syarat yang sudah ditetapkan dan juga tidak semua para pencalon memiliki dana yang besar untuk memenuhi mahar yang sudah ditetapkan maka dari itu adanya Paslon tunggal.

Baca juga: Calon Tunggal Lawan Kotak Kosong, Preseden Buruk Marak

Gadis kelahiran 7 September 2000 ini juga mengatakan Jika pilihan calon yang diidolakan masyarakat itu tidak ikut dalam pilkada maka mau tidak mau memilih calon yang lain walaupun itu tidak pilihan mereka.

Baca juga: Calon Tunggal Di Pilkada 2020, Money Politic Rendah

“Bisa juga mereka (masyarakat) tidak memilih siapapun, walaupun ini tidak mencerminkan demokrasi. Karena saat ini menurut saya partai politik belum memiliki sistem rekrutmen politik yang mapan dan demokratis,” jelasnya pada Harian Mistar, Selasa (25/8/20).

Putri juga menuturkan munculnya calon tunggal bisa jadi disebabkan partai politik tidak memiliki cukup dana untuk mengusulkan kader nya untuk mencalonkan karena dana mereka yang ada sudah dialokasikan untuk penanggulangan Covid-19.

Sementara itu, generasi milineal lainnya yakni Anggia Siregar, perempuan yang sehari-harinya sebagai penyiar ini mengatakan hal yang sama.

“Bisa saja karena ada paslon yg dianggap memiliki sumber daya atau kapasitas yg dianggap menonjol dan tak mungkin dikalahkan,” sebutnya.

Anggia berpendapat, bahwa memilih kotak kosong adalah demokrasi.

“Nah, memilih kotak suara kosong buat saya masih bisa dikatakan bentuk demokrasi. Karena kita diberi pilihan dari pilihan paslon yang hanya ada satu. Kita bisa memilih untuk menyatakan tidak setuju atas orang yan mencalon tersebut,” ungkapnya.

Pilkada melawan kotak kosong mungkin saja terjadi di sejumlah daerah, hal ini mengingat kost politik sangat tinggi sedangkan jabatan hanya 3 tahun dan kondisi pandemi Covid-19.

“Sangat mungkin. Karena tidak bisa dipungkiri faktor modal berupa uang sangat berperan besar untuk jalannya kampanye. Apalagi ditambah masa pandemi. Karena saat ini kasus Covid-19 juga semakin bertambah menyebabkan pengangguran dan sebagainya. Maka untuk membangkitkan gairah perekonomian menjadi Pekerjaan Rumah (PR) yang besar,” pungkas perempuan kelahiran 26 Mei 1984. (Anita)

 

Related Articles

Latest Articles