7.5 C
New York
Friday, April 19, 2024

Peradaban Pantai Barat Terancam Punah, Hutan dan Sungai di Madina Hancur

Medan, MISTAR.ID

Kerusakan lingkungan hutan dan sungai di Kabupaten Mandailing Natal (Madina) semakin parah akibat menjamurnya perusahaan illegal minning yang beroperasi di sepanjang Sungai Batang Natal, dan anak-anaknya.

Kondisi ini ditenggarai akan mengancam musnahnya peradaban pantai barat yang menjadi kearifan lokal selama ini. “Masalah ini sudah menjadi sorotan tokoh masyarakat putra daerah Madina baik yang berada di Madina, Medan maupun yang berdomisili di Jakarta. Kita minta Pemkab Madina segera menertibkan illegal minning demi menyelamatkan lingkungan dan peradaban pantai Barat,” kata Ahmad Mulyadi, tokoh Madina yang juga mantan anggota DPRD Sumut, Senin (7/9/20).

Menurutnya, diprediksi dalam waktu yang tak berapa lama lagi, kawasan pantai barat Kabupaten Madina akan tenggelam dan peradaban di sana bukan hanya akan hancur tapi musnah, jika Pemkab Madina membiarkan kerusakan lingkungan hutan dan sungai itu masih terus terjadi.

Selain penambangan emas, kebijakan alih fungsi hutan juga menjadi faktor terjadinya kerusakan lingkungan hidup di Kabupaten Madina.

Baca Juga:Dua Penambang di Australia Temukan Bongkahan Emas Senilai Rp3,7 Miliar

“Selain kerusakan lingkungan karena tambang emas oleh PT Capital Hutana Mining dan para cukong-cukong rakus lainnya di kedua anak Sungai Batang Natal tersebut, sudah banyak juga terjadi alih fungsi hutan ke perkebunan sawit oleh PT Sago Nauli, PT TBS dan PT PSU. Perusahaan perkebunan ini cukup banyak memberi andil penyebab banjir di pantai barat tersebut,” ujarnya.

Dalam penilaian Perhimpunan Masyarakat Pantai Barat (PMPB), Kecamatan Natal dan Kecamatan Muara Batang Gadis, hanya tinggal menunggu waktunya untuk tenggelam jika pemerintah baik daerah, propinsi maupun pusat tidak peduli terhadap aksi perusakan lingkungan ini.

“Para perusak ini tidak lain adalah para pengusaha yang hanya mencari keuntungan dengan mengorbankan keberadaan masyarakat,” kata Ahmad Mulyadi yang juga Ketua Umum PMPB.

Pendapat senada disampaikan Dosen dan Pemerhati Lingkungan Unimed Dr Rahmad Mulyana, Sekjen IKAPPENAS Joharsyah dan Ketua Pemuda Muhammadiyah Sumut Amrizal.

Menurut Dr Rahmad Mulyana, apabila aktivitas pengrusakan lingkungan ini terus dibiarkan, maka selain berpotensi menimbulkan longsor dan banjir yang sangat parah, juga dipastikan akan menghancurkan dan memusnahkan habitat makhluk hidup di sepanjang kawasan itu.

Baca Juga:DPRDSU: Warga Medan Keluhkan Kerusakan Jalan, Fasilitas Umum dan Banjir

“Lingkungan hidup itu bersifat kolektif dan majemuk, mencakup lingkungan alam yang meliputi lingkungan fisik, biologi, dan budaya. Dan ini akan hancur semua jika aktifitas merusak lingkungan itu dibiarkan,” katanya.

Menurutnya, Undang-Undang Lingkungan Hidup No. 4 Tahun 1982 yang disempurnakan dengan Undang-Undang Lingkungan Hidup No 23 Tahun 1997 pada Pasal 1 menyebut pengertian lingkungan hidup itu adalah kesatuan ruang dengan semua benda, daya, keadaan, dan makhluk hidup, termasuk manusia dan perilakunya, yang mempengaruhi perikehidupan dan kesejahteraan manusia serta makhluk hidup lain.

Berdasarkan hasil investigasi IKAPPENAS, kawasan lingkungan hidup di sepanjang sungai Batang Natal dan anak-anaknya sudah menunjukkan kerusakan lingkungan yang sangat parah.

Air sungai Batang Natal yang semula jernih, sekarang sudah berwarna coklat berlumpur sehingga tak laik digunakan lagi. Sebaran warna coklat oleh lumpur ini juga sudah memenuhi laut di sepanjang garis pantai Natal.

IKAPPENAS juga menemukan aktivitas penambangan emas ini dilakukan oleh PT Capital Hutana Mining menjadi salah satu faktor utama kerusakan lingkungan itu. Juga ditemukan sepanjang Daerah Aliran Sungai (DAS) Batang Natal terdapat illegal mining yang dilakukan para pemodal besar lainnya dengan merusak bantaran sungai menggunakan excavator.

Baca Juga:Diguyur Hujan Deras, Tanggul Sungai dan Tembok Rumah Warga Ambruk di Simalungun

Dalam melakukan kegiatannya, mereka juga melibatkan oknum-oknum dari masyarakat setempat untuk menyamarkan kegiatan mereka sekaligus terlihat seolah-olah didukung oleh masyarakat.

Berdasarkan catatan Sekretaris Jenderal IKAPPENAS Medan Joharsyah, banjir bandang yang terjadi tahun 2018 lalu ternyata berasal dari Sungai Maino yaitu anak sungai Batang Natal yang bermuara ke Sungai Batang Natal di Simpang Gambir Kecamatan Linggabayu.

Maka tak mengherankan, jika banjir bandang di Desa Muara Soma baru terjadi pukul sekitar 18.00 WIB, sementara di Desa Rantau Sore, desa yang justru lebih ke hulu Sungai Batang Natal baru terjadi pukul 21.00 WIB.

“Analisanya, jika sumber banjirnya adalah dari Sungai Batang Natal maka yang seharusnya terkena banjir duluan adalah Desa Rantau Sore bukan Desa Linggabayu. Ini mengindikasikan bahwa banjir tersebut memang diakibatkan perambahan hutan yang terjadi di Kecamatan Linggabayu,” kata Joharsyah.

Sementara itu, Ketua Pemuda Muhammadiyah Sumut, Amrizal mengatakan, banjir bandang sudah berkali-kali terjadi di Madina tanpa mampu dicegah oleh Pemkab Madina. Tercatat di tahun 2018 banjir bandang telah memakan korban jiwa.

Baca Juga:Akibat Banjir, Sudan Umumkan Status Darurat Selama Tiga Bulan

Selanjutnya tahun 2019 korban makin bertambah merendam 13 kecamatan, 77 rumah hanyut dan 17 korban tewas akibat terseret banjir.

“Ironisnya dari tahun ke tahun banjir bandang dan longsor selalu terjadi dan semakin parah. Ini pasti karena kerusakan lingkungan itu. Dan ini adalah bukti ketidakmampuan Bupati Mandailing Natal Dahlan Hasan Nasution dalam mengelola daerahnya. Tahun 2020 ini jika Pemkab Madina tidak siap menangkal ancaman banjir yang biasanya terjadi di saat musim penghujan di bulan Oktober, November, dan Desember kemungkinan jatuh korban akan jadi kenyataan lagi,” katanya.

Di tempat terpisah, tokoh masyarakat Natal, Ramli Lubis yang kebetulan baru berkunjung ke Mandailing Natal untuk berziarah ke makam orangtuanya, mengakui adanya kerusakan lingkungan di tanah kelahirannya itu.

Mantan Wakil Wali Kota Medan yang sekarang berdomisili di Jakarta ini menceritakan kesedihannya ketika pulang ke kampung halamannya baru-baru ini. “Kota Natal sekarang seolah mundur ke zaman 30 tahun yang lalu. Keadaan masyarakatnya sungguh sangat memilukan ditambah lagi dampak dari pandemi Covid-19 ini menghancurkan mata pencaharian masyarakat. Keadaan listrik yang sering padam secara tiba-tiba sudah berlangsung lama sehingga alat-alat elektronik warga banyak yang rusak. Akibatnya ekonomi masyarakat semakin sulit. Kami bermohon kepada Pemerintah Pusat, tolonglah perhatikan Pantai Barat Madina ini,” tuturnya. (edrin/rel/hm10)

 

Related Articles

Latest Articles