6.6 C
New York
Friday, March 29, 2024

Mengintip Paripurna DPRD Siantar, Walikota ‘Dituding’ Langgar UU hingga Sejumlah Pejabat Dipulangkan

Siantar | MISTAR.ID – Perjalanan rapat paripurna DPRD Kota Pematangsiantar, belakangan ini semakin mengundang banyak keingintahuan masyarakat, khususnya pemerhati pembangunan kota.

Hal ini menjadi menarik setelah fraksi-fraksi yang berada di gedung wakil rakyat tersebut blak-blakan memaparkan berbagai permasalahan yang terjadi di Kota Pematangsiantar.

Seperti halnya, Fraksi PDI Perjuangan dalam pandangan umumnya, Selasa (12/11/19), menyoroti sejumlah pejabat di lingkungan Pemerintah Kota (Pemko) yang masih berstatus Pelaksana Harian (Plh) dan Pelaksana Tugas (Plt).

Ketua Fraksi PDI Perjuangan, Suandi Apohman Sinaga, pada rapat paripurna itu, dengan sangat tajam menyoroti status Plh dan Plt yang diangkat Walikota Hefriansyah.

“Sesuai dengan Undang-undang dan peraturan pemerintah telah terjadi beberapa pelanggaran oleh walikota pematangsiantar,” ujar Suandi membacakan pemandangan umum Fraksi PDI Perjuangan.

UU dan PP yang dilanggar kata Suandi, adalah UU No. 5 tahun 2014 tentang Aparatur Sipil Negara (ASN), UU No. 30 tahun 2014 tentang Administrasi Pemerintahan, dan PP No. 11 tahun 2017 tentang Manajemen Pegawai Negeri Sipil (PNS).

“Undang-undang dan peraturan pemerintah tersebut mengatur tentang Plh dan Plt beserta batasan kewenangannya serta masa waktunya,” jelas Suandi yang kemudian menyebutkan, bahwa pejabat Plt itu ada di pejabat struktural dan sejumlah Kepala Sekolah SD, serta Plh Sekda Kota Pematangsiantar.

“Dalam peraturan dan perundang-undangan tersebut, tugas dan wewenang Plh dan Plt, ditegaskan melalui surat edaran badan kepegawaian negara nomor 2/SE/VII/2019 tentang kewenangan pelaksana harian/pelaksana tugas dalam aspek kepegawaian,” ungkapnya.

Di surat edaran tersebut, lanjut Suandi, badan dan/atau pejabat pemerintah yang memperoleh wewenang melalui mandat tidak berwenang mengambil keputusan dan/atau tindakan yang bersifat strategis yang berdampak pada perubahan status hukum pada aspek organisasi kepegawaian dan alokasi anggaran.

“Siapa yang bertanggungjawab atas pelanggaran peraturan dan perundang-undangan tersebut? Dengan demikian, produk yang dikeluarkan oleh pejabat Plt dan Plh yang telah melanggar peraturan dan perundang-undangan tersebut menjadi ilegal,” tukasnya.

Dalam rangka pembahasan RAPBD Kota Pematangsiantar tahun 2020, kata Suandi, tim anggaran yang dipimpin Walikota melalui Tim Anggaran Pemerintah Daerah (TAPD) yang dipimpin oleh Sekretaris Daerah Pemerintah Kota Pematangsiantar yang defenitif, bukan oleh yang berstatus Plh.

“Kriteria status Plh tidak mempunyai kewenangan terhadap keuangan berdasarkan peraturan dan perundang-undangan yang berlaku, dapat mengakibatkan pembahasan APBD 2020 akan menjadi cacat hukum. Dengan uraian tersebut, maka yang terjadi di Kota pematangsiantar tentang penempatan pejabat struktural Plt dan Plh Sekda disimpulkan amburadul,” tegas Suandi.

Adanya beberapa pejabat struktural di Kota Pematangsiantar rangkap jabatan, menurut fraksi PDI Perjuangan, hal itu merupakan indikasi perbuatan KKN.

“Yang terjadi di Kota Pematangsiantar ada pejabat publik menduduki dua jabatan, tetapi masih diberikan jabatan ketua dewan pengawas di salah satu BUMD di Kota Pematangsiantar,” cetus Suandi.

Tersangka Korupsi Duduki Jabatan Strategis

Pada bagian lain pemandangan umum fraksinya yang dibacakan Suandi, PDI Perjuangan juga menyoroti pejabat di lingkungan Pemko Pematangsiantar yang sudah berstatus tersangka kasus korupsi tetapi masih menduduki jabatan strategis. Hal ini cukup membingungkan bagi PDI Perjuangan.

“Mengapa hal ini bisa terjadi, kami sangat bingung terjadi pembiaran kepada oknum tersebut. Ada juga pejabat pada satu OPD yang sudah berbulan-bulan tidak masuk kantor tetapi juga belum ada tindakan dari Pemko Pematangsiantar. Mengapa hal itu bisa terjadi. Mohon penjelasan saudara walikota pematangsiantar,” tukas Suandi.

Pada paripurna berikutnya, Kamis (14/11/19), komisi II DPRD mempertanyakan dasar hukum penetapan SMP Negeri 1 menjadi sekolah unggulan, sehingga layak mendapatkan anggaran yang ditampung di APBD. Dan di R-APBD tahun 2020, direncanakan anggaran sebesar Rp200 juta untuk sekolah unggulan tersebut.

Hal itu dipertanyakan anggota Komisi II, Suandi Apohman Sinaga. dalam rapat pembahasan R-APBD Kota Pematangsiantar bersama mitra kerjanya Dinas Pendidikan.

“Pembuatan peraturan walikota (Perwa) tentang sekolah unggulan, tentunya itu atas usulan daripada Dinas Pendidikan, tak mungkin ujuk-ujuk langsung walikota membuat peraturan. Kami dewan belum mengetahui ini, mohon penjelasan, usulan yang bagaimana sehingga muncul peraturan walikota yang menetapkan SMP Negeri 1 itu jadi sekolah unggulan,” cecarnya.

Pertanyaan Suandi itu ditambahi Ferry SP Sinamo rekan sefraksinya di PDI Perjuangan.

“Tadi ibu bilang ada 8 standard yang dipenuhi untuk menjadi sekolah unggulan. Ke 8 standard ini tidak terpenuhi. Lantas apa dasarnya ini menjadi sekolah unggulan yang diPerwakan walikota. Apa dasar hukumnya, secara defacto dan dejure, itu belum layak menjadi sekolah unggulan. Mana Perwa-nya itu, kita pertanyakan itu,” tukasnya.

Selanjutnya, karena adanya kejanggalan, Ferry SP Sinamo menyarankan agar anggaran-anggaran yang akan dialokasikan untuk sekolah unggulan dapat dikoreksi melalui pembahasan R-APBD tahun 2020 tersebut.

“Kalau boleh begitu, kenapa gak semua sekolah kita buat unggulan, seluruh SD, seluruh SMP kita buat saja sekolah unggulan. Menurut saya, kalau sudah dirangkum, di sini saya akan masuk ke dalam angka-angka yang ada (di R-APBD tahun 2020) ini, supaya bisa kita koreksi angka-angka ini. Jadi mohon dijelaskan, kalau belum dipenuhi standard ini, itu belum bisa jadi sekolah unggulan. Mohon penjelasan dari Kadis,” ujarnya.

Mendengar pernyataan kedua anggota DPRD tersebut, Kepala Dinas Pendidikan Kota Pematangsiantar, Edy Noah Saragih didampingi Sekretaris Dinas Pendidikan, Rosmayana Marpaung, dan jajarannya berupaya memberikan penjelasan.

“8 standard nasional pendidikan, ada standard kompetensi kelulusan, isi, standard penilaian, standard tenaga pendidikan, standard sarana dan prasarana, dan ada standard pengelolaan, dan yang terakhir standard pembiayaan. Dari 8 ini, dibanding sekolah yang lain, SMP 1 sudah lebih layak, terutama dari standard kompetensi kelulusan tertinggi di Kota Pematangsiantar. Memang belum terpenuhi secara keseluruhan, tapi sekolah ini yang bisa memenuhi standard nasional,” paparnya.

Namun pemaparan Edy Noah langsung dipatahkan Ferry SP Sinamo, yang langsung menginterupsi melalui Ketua Komisi II, Rini A Silalahi selaku pimpinan rapat.

Menurut Ferry SP Sinamo, penerbitan Perwa tentang penetapan SMP Negeri 1 menjadi sekolah unggulan adalah suatu hal yang dapat mempermalukan Walikota sebagai Kepala Daerah di Kota Pematangsiantar.

“Kita paham itu, tapi belum passing grade, belum terpenuhi 8 standard itu. Okelah kalau kita katakan itu sekolah yang paling bagus itu boleh. Tapi kalau mau mengeluarkan Perwa, makanya saya bingung di kota pematangsiantar ini, ada keluar SK tapi tidak berlaku. Mohon maaf, saya agak menyimpang sedikit, keluar SK penggantian pejabat di disdukcapil tapi tidak berlaku. Malu kita, ini walikota loh,” cecarnya.

Pada kesempatan rapat yang dihadiri anggota DPRD di Komisi I yakni Netty Sianturi, Alex Wijaya Panjaitan, Metro Bodyart Hutagaol dan Hendra PH Pardede itu, Suhanto Pakpahan yang juga anggota Komisi I menyarankan agar barometernya persyaratan sekolah unggulan disesuaikan dengan minat dan bakat murid (psikologis dan intelektual masing-masing siswa) supaya dapat meningkatkan SDM sesuai dengan minat dan kemampuan pribadi masing-masing siswa.

Zainal Siahaan Disuruh Pulang

Demikian juga ketika rapat di Komisi I, Jumat (15/11/19), anggota komisi itu kompak menyuruh pulang para pejabat di Sekretariat Daerah (Setda) Kota Pematangsiantar.

Para pejabat Pemko Pematangsiantar yang disuruh pulang itu, diminta Komisi 1 untuk melengkapi kekurangan data yang ada di dokumen Rencana Kerja dan Anggara (RKA)-nya.

Pemulangan itu disebabkan RKA yang dibawa para pejabat di Setda hanya memuat program dan anggaran belanja langsung, dan tidak merincinya.

Hal itu dibenarkan anggota Komisi I, Tongam Pangaribuan, saat ditanya mengenai penundaan rapat pembahasan R-APBD tahun 2020 bersama Setda.

“Tadi seluruh komisi I melalui pimpinan, memutuskan untuk sementara dipending (ditunda) dulu rapat pembahasan bersama setda dengan alasan, mereka tidak memberikan data yang tidak lengkap, mereka hanya membuat belanja langsung tanpa merincinya, dan tidak membuat belanja tidak langsung,” ujarnya.

Para pejabat Setda yang disuruh pulang itu, mulai dari Asisten seperti Zainal Siahaan dan Pardamean Silaen beserta para Kepala Bagian, mereka diminta untuk melengkapi dokumen RKA masing-masing, termasuk di bagian-bagiannya. Mereka dipulangkan, setelah Ketua Komisi I Andika Prayogi Sinaga selaku pimpinan menskors rapat.

“Kami mau meminta secara detail, program dan anggaran mereka di tahun 2020. RKA mereka tidak lengkap, belanja langsungnya yang tidak ada. Mereka mengakui kesalahannya, dan mereka menyanggupi untuk melengkapinya,” tutur Politisi NasDem yang menyesalkan ketidakhadiran Plh Sekda saat itu.

Tidak lengkapnya dokumen RKA yang dibawa para pejabat Setda, menimbulkan tanda tanya tersendiri bagi Baren Alijoyo Purba, mantan Asisten III Pemko Pematangsiantar yang kini menduduki posisi sekretaris Komisi I DPRD. Menurutnya, komisi I yang didominasi anggota DPRD baru, sedang diuji

“Di tahun-tahun sebelumnya, dokumen anggaran belanja langsung dan belanja tidak langsung itu lengkap diberikan, per bagian-bagian. Apakah mereka mau menguji kami yang masih baru di sini?,” cecar Baren yang duduk menjadi anggota DPRD Kota Pematangsiantar dari PDI Perjuangan.

Bukan hanya Setda, Komisi I juga menyuruh Kepala Badan Kesatuan Bangsa dan Politik (Kesbangpol) Sofie M Saragih beserta jajarannya untuk pulang. Mereka dipulangkan agar dapat memperbaiki RKA-nya yang berbeda dengan R-APBD tahun 2020 yang akan dibahas bersama Komisi I DPRD Pematangsiantar.

Ketika dikonfirmasi mengenai ketidaksinkronan itu, Kepala Badan Kesbangpol, Sofie mengatakan bahwa bahwa pihak BPKAD yang salah input data. “Jumlah pegawai kan mempengaruhi, yang diajukan kemarin 35, ternyata ada pengurangan jadi 33 orang. Otomatis itukan mempengaruhi, gaji dua orang dalam satu tahun itukan pengaruh. Hanya salah menghitung total jumlahnya saja,” bebernya.

Walikota Tidak Menanggapi

Kemudian, apa respon Walikota Pematangsiantar menanggapi itu semua? Ternyata Walikota Pematangsiantar, Hefriansyah tidak menanggapi adanya Undang-Undang (UU) dan Peraturan Pemerintah (PP) terkait pejabat Plh dan Plt yang dilanggarnya, sebagaimana dituangkan dalam pandangan umum fraksi PDI Perjuangan.

Dalam nota jawaban Walikota yang ditandatangani dan dibacakan Wakil Walikota Togar Sitorus dalam rapat paripurna DPRD, yang dijelaskan adalah mengenai pengisian kekosongan jabatan pimpinan tinggi pratama (eselon II) harus melalui proses seleksi terbuka.

“Sehubungan dengan keterbatasan anggaran pada tahun 2019, maka dari 11 jabatan yang lowong hanya 8 jabatan yang diseleksi terbuka,” demikian disampaikan Togar membacakan nota jawaban walikota atas pandangan umum fraksi PDI Perjuangan terhadap pengantar nota keuangan Walikota yang ditandatanganinya. Rabu (13/11/19)

“Namun dari 8 jabatan yang diseleksi terbuka tersebut, 2 jabatan tidak memenuhi persyaratan, sementara 1 jabatan lagi (Sekretaris Dewan) belum mendapat hasil konsultasi dari pimpinan DPRD, sehingga sampai saat ini, jabatan eselon II yang kosong, masih diisi Plt. Untuk jabatan eselon II yang masih lowong direncanakan akan diseleksi terbuka pada awal tahun 2020,” beber Togar.

Dari 31 jabatan eselon II, dirinci Togar, ada sebanyak 23 yang defenitif, 7 Plt dan 1 belum ada pejabatnya. 7 Jabatan yang masih diisi Plt belum dapat diseleksi terbuka karena faktor keterbatasan anggaran yang tersedia di tahun 2019. Direncanakan akan dilakukan seleksi terbuka pada tahun 2020.

“Penghunjukan Plt dan Plh dilakukan sebagai bentuk upaya untuk memperlancar pelaksanaan tugas-tugas di OPD terkait, sampai adanya pejabat defenitif,” ujar Togar yang kemudian menyebutkan bahwa terkait jabatan Sekretaris Daerah (Sekda) defenitif yang dibebastugaskan saat ini, masih dalam proses, dan selanjutnya akan meminta rekomendasi gubernur untuk pengangkatan penjabat Sekda.

Dalam nota jawabannya, tidak sedikitpun disinggung mengenai pelanggaran UU nomor 5 tahun 2014 tentang Aparatur Sipil Negara (ASN), UU nomor 30 tahun 2014 tentang Administrasi Pemerintahan, dan PP nomor 11 tahun 2017 tentang Manajemen Pegawai Negeri Sipil (PNS), yang mengatur tentang Plh dan PLT beserta batasan kewenangannya serta masa waktunya.

Menanggapi hal itu, Ketua Fraksi PDI Perjuangan, Suandi Apohman Sinaga ketika dimintai tanggapan terkait nota jawaban walikota atas pandangan umum fraksinya, mengaku tidak puas, dan dinilai hanya formalitas.

“Pandangan fraksi kita itu akan ditindaklanjuti di pembahasan selanjutnya. Dan mungkin itu juga akan kita tindaklanjuti dalam pandangan akhir fraksi,” tukasnya.(hm02)

Penulis : Ferry/Maris
Editor : Herman Maris

Related Articles

Latest Articles