6.6 C
New York
Tuesday, April 23, 2024

Gunung Es Terbesar Lelehkan 1 Triliun Ton Air ke Laut dalam 3 Tahun

Jakarta, MISTAR.ID

Gunung es terbesar di dunia yang pecah di Semenanjung Antartika pada Juli 2017 lalu terus mencair hingga membuang 150 miliar ton air dalam tiga bulan atau 1 triliun ton air dalam tiga tahun terakhir.

Sebuah studi menganalisis air lelehan gunung es yang dinamakan A68A itu telah mencapai 150 ton hanya dalam waktu tiga bulan. Jumlah air itu diperkirakan mampu mengisi lebih dari 60 juta kolam renang ukuran olimpiade.

Anne Braakmann-Folgmann, periset di the Centre for Polar Observation and Modelling, menghitung berapa banyak area dan ketebalan gunung es yang hanyut ke utara melalui Laut Weddell Antartika dan ke perairan Laut Scotia yang relatif hangat. Ia menggunakan 5 satelit untuk mengobservasi jumlah lelehan gunung es tersebut.

Baca juga:Mengerikan, Gunung Es Seluas Kota London Bergerak dari Antartika

Anne awalnya memperkirakan gunung es itu akan bertabrakan langsung dengan pulau Georgia Selatan, namun A68a malah meleleh dan melepas lebih dari 152 miliar ton atau 138 miliar metrik ton air tawar hanya dalam tiga bulan.

Ia menuturkan selama tiga bulan antara November 2020 hingga Januari 2021, gunung A68a mencair dengan tingkat yang mencetak rekor hingga kehilangan lebih dari 150 miliar ton (136 metrik ton) es.

“Ini adalah air lelehan dalam jumlah besar, dan hal berikutnya yang ingin kami pelajari adalah apakah itu berdampak positif atau negatif pada ekosistem di sekitar Georgia Selatan,” ucap Folgmann, dikutip dari The News Motion,Minggu (23/1).

“Karena A68a mengambil rute yang sama melintasi Lintasan Drake, kami berharap untuk mempelajari lebih lanjut tentang gunung es yang mengambil lintasan serupa dan bagaimana mereka memengaruhi lautan kutub,” imbuhnya.

Ketika A68a pecah dari lapisan es Larsen-C di Antartika utara pada Juli 2017, gunung es itu berukuran sekitar 6.000 kilometer persegi atau lima kali ukuran Kota New York.

A68a menempati peringkat sebagai gunung es terbesar keenam yang pernah diamati di Bumi dan gunung es tunggal terbesar yang mengapung di lautan selama 3,5 tahun.

Setelah pecah dari induknya, A68a melaju melewati Laut Weddell yang dingin selama sekitar dua tahun, hampir tidak meleleh dan hanya kehilangan sedikit volume, kata para peneliti. Kemudian, gunung es bergerak ke utara dengan perairan yang bersuhu lebih hangat.

Baru lah ketika A68a meluncur ke Laut Scotia, gunung es mulai meleleh. Di sana, tingkat pencairan gunung es meningkat hampir delapan kali lipat, karena air yang relatif hangat menyapu dasar dan tepi gunung es.

Baca juga:Ilmuwan di China Buat Kaca Sekeras Berlian

Para ilmuwan khawatir gunung es yang masih besar itu akan menabrak pulau Georgia Selatan, wilayah Inggris yang menjadi rumah bagi populasi penguin dan anjing laut besar.

Hewan yang tidak beruntung bisa saja terlindas sampai mati dalam tabrakan tersebut, sementara hewan lain yang tak terhitung jumlahnya bisa kehilangan akses ke Georgia Selatan, daerah mereka mencari makanan.

Untungnya, A68a tidak pernah mendarat di dekat pulau itu meski berjarak sangat dekat. Menurut penelitian tim, gunung es bertabrakan sebentar dengan dasar laut dekat Georgia Selatan, namun A68a telah menipis yang membuatnya lolos dari tabrakan tersebut.

Pada akhir Desember 2020, dilaporkan gunung es itu mulai pecah berkeping-keping.

Sedangkan pada April 2021, gunung es A68a telah benar-benar mencair. Secara total, gunung es itu melelehkan sekitar 1 triliun ton atau 900 juta metrik ton es hanya dalam waktu tiga tahun.

Baca juga:Ilmuwan AS Pelajari Kemungkinan Penularan Covid dari Hewan ke Manusia

Kendati A68a telah bersatu bersama laut, dampak di pulau Georgia Selatan dan kehidupan laut di sekitarnya mungkin belum berakhir, Mengutip Live Science.

Saat A68a membuang air tawar ke laut air asin di sekitar pulau, A68a juga membuang nutrisi yang dapat meningkatkan produksi biologis hingga memungkinkan mengubah jenis plankton yang tumbuh subur di sana. Dorongan ini dapat berdampak luas pada rantai makanan lokal, kata para peneliti.

Belum bisa dipastikan jika fenomena ini akan berdampak positif atau negatif dalam jangka panjang. (cnn/hm06)

Related Articles

Latest Articles