6.6 C
New York
Friday, March 29, 2024

Pers dan Refleksi Kemerdekaan

SEPERTI apa kehidupan pers di usia 76 tahun Indonesia Merdeka? Saat ini, kondisinya sedang tidak baik-baik saja. Sebagai orang pers, saya merasa banyak sekali hal yang harus diperbaiki. Itupun kalau ada kesadaran di kalangan pers itu sendiri.

Catatan Hendry Ch Bangun

Dalam diskusi yang diadakan Dewan Pers pada Minggu malam dengan pihak-pihak di luar pers, tercermin bagaimana kondisi pers sekarang semakin jauh dari pers yang ideal. Banyak harapan terhadap pers, jauh dari kenyataan.

Salah satu ungkapan dalam pertemuan itu menyebutkan, pers Indonesia sedang menggali kuburnya sendiri karena sikap dan perilakunya. Dalam hal ini cara pandang dan cara kerja dari media, khususnya terkait dengan pandemi Covid-19 yang melanda kita.

Baca Juga:Pemko Medan Raih Opini WTP dari BPK  

Seharusnya semangat yang dibangun adalah bagaimana pers menggalang masyarakat untuk bersama-sama semua komponen bangsa membantu pemberantasan Covid.
Media yang bagus dengan kedalaman wawasan, pengetahuan, dan ketrampilan berbahasa membuat persoalan rumit menjadi enak dibaca, ditonton, atau didengar.

Berita lalu menimbulkan semangat dan gairah, untuk bangkit dari keterpurukan. Tetapi banyak sekali media yang justru sibuk dengan ini-itu, hal remeh temeh, sehingga audien pun ikut permainan dan tidak melihat Covid ini sebagai hal serius. Mungkin seperti berita entertainmen. Padahal menyangkut masalah hidup mati.

Pers juga seperti tidak peduli apakah pandemi ini cepat selesai atau tidak. Padahal negeri ini sedang kesusahan. Kondisi ekonomi umumnya sulit, banyak usaha gulung tikar, berbagai kegiatan berkurang. Yang berimbas pada perusahaan pers-pendapatan anjlok, sulit beroperasi normal, terpaksa mengurangi atau memotong gaji, PHK sehingga seperti bisnis lain, pers sejatinya ingin agar ekonomi kembali pulih.

Semestinya ada strategi agar semua pemangku kepentingan bersama-sama bergerak ke arah pemulihan. Tapi kalau yang disampaikan semuanya mengarah ke bad news membesarkan berita buruk, dan bukan membuat berita yang memberi harapan, bagaimana pasar mau optimistis?

Baca Juga:Aktivis 98 Ingatkan Mahasiswa Jangan Mengacaukan Program Vaksinasi

Kalau berkaca ke peristiwa beberapa tahun lalu terlihat sekali beda antara pers Indonesia dengan pers di Thailand, misalnya. Saat Bom Bali terjadi, turis berkurang drastis bahkan nyaris tidak ada karena agen perjalanan, kedutaan besar asing, menganjurkan agar membatalkan perjalanan ke Indonesia karena media membuat gambaran kengerian.

Sementara ketika bencana sejenis menimpa Thailand, pers di negeri itu sempat euphoria memberitakan. Bad news is good news. Pariwisata hancur, wisatawan takut datang. Tetapi pers lalu sepakat bahwa pemberitaan buruk hanya akan menghalau turis, menciptakan pengangguran, menurunkan ekonomi, dan pada gilirannya membuat sengsara perusahaan pers.

Begitu pula dengan bencana. Seorang yang bertugas di BNPB menyampaikan ketika dia berada di Jepang, saat terjadi gempa di Sendai, di hari-hari yang menyedihkan itu, media televisi praktis tidak ada yang mengambil kesedihan, mengumbar penderitaan. Yang tampil di media adalah liputan yang menunjukkan semangat dan kerja keras, gotong royong, kesiagaan menghadapi gempa yang mungkin terjadi, bahu membahu rakyat dan petugas bencana.

Sementara di Indonesia, kebanyakan fokus menggambarkan penderitaan. Orang yang sedang kesusahan, yang sengsara, kesulitan ini itu, kehancuran bangunan, rumah ibadah, dengan narasi mendayu-dayu.

Baca Juga:Makanan Khas yang Disajikan saat Hari Kemerdekaan RI

Lalu di televisi, seperti biasa, terdengarlah lagu Ebie G Ade, Berita Kepada Kawan..” mungkin Tuhan mulai bosan//melihat tingkah kita//yang selalu salah dan bangga dengan dosa-dosa//…” sebagai pengiring. Orientasinya mencitakan kesedihan, bukan semangat untuk bangkit, berjiwa tegar menghadapi musibah, dst.

Dalam survei atas berita Covid di media siber di bulan Maret 2020 sampai 2021, diadakan Dewan Pers bersama London School of Public Relation, ditemukan bahwa hanya 20,2% berita yang memenuhi kaidah jurnalisme bencana dan bernada empati dari 1000 berita yang diteliti.

Sekitar 78,9% berita ditulis biasa, datar-datar saja. Tanpa keprihatinan sebagai anak bangsa, sebagai bagian dari masyarakat yang sedang menderita. Hanya 27,1 % berita yang memberikan harapan, dan hanya 29,3% berita yang menjadikan pandemi Covid-19 sebagai pembelajaran, yang akan menjadi introspeksi bagi kita sebagai bangsa.

Maka kalau ada yang mengatakan bahwa isi kepala banyak wartawan kita tidak memiliki kesadaran etis, ideologi dan wawasan kebangsaan, bisa jadi ada benarnya.

Baca Juga:Upacara Detik-detik Prokolamsi Kemerdekaan Digelar dengan Prokes Ketat

Gejala ini menakutkan karena ketika nanti teknologi sudah maju, mereka akan mudah digantikan robot-robot penulis, yang sudah diajari menulis, mendeskripsikan, memasukkan angka-angka. Robot-robot itu kini sudah berhasil menulis berita pertandingan olahraga, bahkan lebih telaten dan komplet karena semua angka sudah tertanam di “otaknya”. Begitu pula berita bursa, yang sisi pentingnya adalah naik turun nilai saham, pergerakan keluar masuk modal, yang fokus pada angka.

***

Teori mengatakan media, wartawan, adalah agen perubahan dengan karya jurnalistik yang memberikan wawasan, informasi yang inspiratif, semangat untuk maju, contoh keberhasilan, dan harapan bahwa sisi lain dari kesulitan adalah peluang.

Untuk sampai di sana memang harus ada kesadaran pada diri wartawan dan pengelola media bahwa beritanya berdampak bagi audiensnya secara cepat atau perlahan. Dia harus punya ideologi bahwa dia bekerja untuk kepentingan masyarakatnya, bangsanya, bukan untuk dirinya sendiri, apalagi bosnya di kantor.

Oleh karena itu kalau masyarakatnya sedang kesulitan maka dia harus ikut merasakan, lalu ikut mencari solusi. Minimal dengan menenangkan hatinya, dan kalau bisa mencarikan jalan keluar bersama-sama lewat berita yang memberi harapan, contoh orang atau pihak yang mampu lepas dari penderitaan dengan cara-cara tertentu. Keberhasilan pegawai kena PHK yang sukses menjadi wiraswasta mandiri, adalah contoh berita positif, yang membuat mantan karyawan menempuh upaya sejenis.

Baca Juga:Senyum Merekah Para Pejuang Kemerdekaan di HUT RI

Media memberikan pilihan-pilihan, alternatif, dari kebuntuan di masyarakatnya. Ketika Orde Baru berkuasa dan saluran aspirasi macet, banyak media di Indonesia yang memuat berita tentang praktik demokrasi di negara lain. Selain memberi harapan pada masyarakat yang tidak berdaya, berita itu sekaligus menyindir kekuasaan agar memberi kelonggaran pada warganya.

Pertanyaannya sekarang, apakah wartawan kita memiliki kompetensi untuk membuat berita yang “solutif”, berita yang berempati terhadap penderitaan masyarakatnya, berita yang membuat pembacanya lega dan optimistis?

Apakah wartawan masih membaca buku-buku di kepustakaan atau membaca hati masyarakat dengan sering terjun ke lapangan dan mendengar apa yang mereka keluhkan dan harapkan?

Hanya wartawan dari media tertentu yang masih melakukannya. Wartawan pada umumnya makin malas membaca dan turun ke lapangan. Undang-Undang Pers, Kode Etik Jurnalistik dan turunannya saja mungkin hanya sekali dibaca yakni sewaktu ikut uji kompetensi. Apalagi buku-buku pengetahuan untuk mendukung tugas jurnalistiknya. Paling juga googling, atau bertanya, yang berakibat pemahaman tentang suatu hal hanya di permukaan saja.

Baca Juga:Sebagai Perintis Kemerdekaan, Veteran Wajib Dihormati dan Dihargai

Ke lapangan menjadi sesuatu yang langka, kecuali kalau ke kantor humas dianggap lapangan. Press release dari humas pun kini sudah dikirimkan via emal, atau WA, jadi wartawan tinggal menyalinnya kadang masih dengan judul yang sama lalu menurunkan berita itu dengan mencantumkan namanya.

Padahal sebelum menuliskan beritanya, seorang wartawan mestinya bertanya pada diri sendiri dulu, untuk apa berita ini saya tulis. Jawabnya tentu, untuk publik. Maka berita itu haruslah sebesar-besarnya diupayakan bermanfaat bagi publik.

Publik mana? Tentu saja publik yang ada di sekeliling kita, dari lingkungan sampai ke seluruh masyarakat itu sendiri. Semangat menulis untuk publik ini akan memberikan darah segar, tapi juga empati, ketika wartawan menuliskan kata demi kata, kalimat demi kalimat. Karena dia tahu karya jurnalistiknya itu akan memberikan kesenangan, kegembiraan, inspirasi, bagi sasaran yang ditujunya.

Wartawan tidak menulis untuk memuaskan dirinya sendiri. Tidak memuaskan orang per orang, untuk si narasumber atau kelompok tertentu. Atau entitas bisnis tertentu yang telah memberikan keuntungan, manfaat bagi wartawan atau pers itu. Atau yang mengirimkan rilis demi rilis dan di akhir bulan memberikan bayaran tertentu.

Baca Juga:Belanda Akan Bayar Ganti Rugi kepada Anak Korban Perang Kemerdekaan Indonesia

***

Kita patut bangga karena UU Pers telah menghilangkan bredel, sensor, dan menghapus pasal yang bisa memenjarakan wartawan karena karya tulisnya. Kita menjadi negara yang medianya boleh menulis apa saja, dan sanksinya hanya berupa hak jawab dan atau dengan permintaan maaf karena telah melanggar kode etik. Kemerdekaan pers hasil reformasi tahun 1998 itu patut disyukuri bukan hanya oleh pers tetapi masyarakat pada umumnya karena mereka lalu ikut menikmatinya karena pers bisa memuat apapun aspirasi mereka.

Tidak usah jauh-jauh bertanya, apa yang sudah pers berikan bagi bangsa ini. Cukup kita bertanya apakah yang sudah saya lakukan untuk memperbaiki diri sendiri. Memperbaiki khazanah pers yang kini sering disebut kebablasan dan dibajak penumpang gelap? Pers yang asyik dengan dirinya sendiri dan seperti tidak peduli dengan sekelilingnya?

Perusahaan pers harus mendefinisi ulang dirinya karena semakin besarnya peran media sosial dalam mensuplai informasi ke masyarakat. Semakin berubahnya pengertian media mainstream karena saat ini yang menjadi patokan, tidak lagi sekadar brand dan nama besar media, tetapi adalah topik-topik aktual yang dipetik dari mesin pencari? Terutama agar media massa tidak terjebak dalam urusan isi perut sehingga menjatuhkan dirinya dalam cengkeraman klikbait dan ikut-ikutan bermain di tataran judul.

Baca Juga:HUT ke 75 Kemerdekaan RI di Siantar, Dulu Melawan Penjajah Sekarang Melawan Covid-19

Yang juga harus dilakukan bersama adalah terus menerus meningkatkan kualiatas dan kapasitas wartawan agar semakin kompeten sehingga semakin berkurang keluhan atau pengaduan dari masyarakat, walau pada kenyataannya terus bertambah sebagaimana tergambar dari kasus yang dimediasi di Dewan Pers.

Kesadaran itu harus ada pada diri wartawan, apabila dia menyatakan sebagai wartawan profesional, selain pada perusahaan medianya. Yang diwujudkan dengan karya-karya jurnalistik yang minimal sesuai standar dan taat pada kode etik jurnalistik, dan kalau bisa produk jurnalistik hebat dan memperoleh penghargaan nasional atau bahkan internasional.

Kalau melihat produk jurnalistik di media internasional, kadang kita malu juga melihat apa yang dihasilkan wartawan di media kita. Seperti tidak ada upaya membuat karya jurnalistik yang bagus, seadanya saja, sehingga tidak malu kalau disandingkan dengan karya wartawan negara lain, seperti kalau meliput topik yang sama. Sering tanpa perspektif, kering dan kosong, melulu berisi kutipan narasumber, data yang disediakan, dan tidak ada upaya serius untuk memperkaya atau memberikan sudut pandang berbeda. Seperti tidak punya jati diri, tidak beridentitas. Semua mirip-mirip, atau malah sama.

Padahal menjadi wartawan adalah pilihan pribadi. Mestinya menjadi maju dan profesional adalah sikap diri dan bukan kehendak perusahaan pers. Mau perusahaan bangkrut, saya harus maju dan terus maju. Karya tulis saya harus bagus dan semakin bagus. Saya tidak akan terganggu oleh berbagai “cengkonek” di sekeliling saya. Karena tulisan saya adalah jati diri saya, dan saya malu kalau sampai tulisan saya hanya begitu-begitu saja.

Tetapi masih adakah wartawan masa kini yang bersikap seperti itu? Wallahu a’lam bishawab. (mimbar rakyat/hm12)

Related Articles

Latest Articles