7.9 C
New York
Friday, April 19, 2024

Omnibus Law tidak Dikenal dalam Konstitusi

Oleh: Dr. Henry Sinaga, SH, Sp.N, M.Kn

Presiden Jokowi pada 20 Oktober 2019 saat memberikan pidato dalam pelantikan Presiden dan Wakil Presiden Republik Indonesia untuk masa jabatan 2019–2024 di Gedung Dewan Perwakilan Rakyat/Majelis Permusyawaratan Rakyat Republik Indonesia (DPR/MPR RI) menyampaikan gagasan untuk mengeluarkan Omnibus Law.

Menurut Presiden Jokowi, melalui Omnibus Law, akan dilakukan penyederhanaan kendala regulasi (peraturan perundang-undangan) yang saat ini berbelit dan panjang.

Sejumlah peraturan perundang-undangan yang dinilai menghambat investasi akan dipangkas dan sehubungan dengan itu Presiden Jokowi merencanakan mengajak Dewan Perwakilan Rakyat Republik Indonesia (DPR RI) untuk membahas 2 (dua) undang-undang, yaitu: Pertama Undang-Undang Cipta Lapangan Kerja dan kedua Undang-Undang Pemberdayaan UMKM.

Masing-masing undang-undang tersebut akan menjadi Omnibus Law, yaitu satu undang-undang yang sekaligus merevisi beberapa undang-undang. Menurut literatur (kepustakaan) hukum, yang dimaksud dengan Omnibus Law adalah metode atau konsep pembentukan regulasi (undang-undang) yang menyatukan atau menggabungkan beberapa regulasi (undang-undang) yang substansi atau materinya berbeda ke dalam satu undang-undang, yang bersifat menyeluruh atau komprehensif, dan menjadi suatu peraturan yang berfungsi seperti undang-undang payung (umbrella act), atau dikenal juga dengan undang-undang pokok.

Undang-undang payung atau undang-undang pokok adalah suatu undang-undang yang menjadi dasar bagi pembentukan undang-undang pelaksana (peraturan organik), atau dengan kata lain pembentukan undang-undang pelaksana (peraturan organik) adalah karena perintah undang-undang payung atau undang-undang pokok.

Dengan demikian undang-undang payung atau undang-undang pokok akan melahirkan undang-undang sektoral sebagai pelaksanaan dari dan atau perintah undang-undang pokok atau undang-undang payung.

Secara historis, jauh sebelum Presiden Jokowi mencanangkan kebijakan Omnibus Law, di Indonesia pernah diterapkan kebijakan Omnibus Law tersebut lewat pembentukan undang-undang payung atau undang-undang pokok. Penerapan undang-undang payung atau undang-undang pokok ditemukan pada masa pemerintahan Orde Lama dan pada masa pemerintahan Orde Baru.

Pada masa pemerintahan Orde Lama contoh undang-undang payung atau undang-undang pokok ditemukan di dalam Undang-Undang Nomor 5 Tahun 1960 tentang Peraturan Dasar Pokok-Pokok Agraria atau dapat disebut juga dengan Undang-Undang Pokok Agraria (UUPA), yang sampai saat ini masih berlaku di Indonesia.

UUPA menyatukan atau menggabungkan beberapa regulasi yang substansi atau materinya berbeda (yaitu meliputi bumi, air dan ruang angkasa beserta kekayaan alam yang terkandung di dalamnya) dalam satu undang-undang.

Atas perintah UUPA, maka lahirlah undang-undang sektoral di bidang pengelolaan agraria atau pengelolaan sumber daya alam yaitu antara lain:

  • Undang-Undang Kehutanan
  • Undang-Undang Pertambangan Mineral Dan Batubara
  • Undang-Undang Minyak Dan Gas Bumi
  • Undang-Undang Sumber Daya Air, Undang-Undang Perikanan
  • Undang-Undang Penataan Ruang, dan Undang-Undang Lingkungan Hidup

Pada masa pemerintahan Orde Baru di Indonesia juga pernah diterapkan undang-undang payung atau undang-undang pokok, sebagai contoh Undang-Undang Nomor 14 Tahun 1970 tentang Ketentuan-Ketentuan Pokok Kekuasaan Kehakiman. Undang-Undang ini melahirkan:

  • Undang-Undang tentang Mahkamah Agung
  • Undang-Undang tentang Peradilan Tata Usaha Negara
  • Undang-Undang tentang Peradilan Agama
  • Undang-Undang tentang Peradilan Militer

    Secara konstitusional, Undang-Undang Dasar Negara Republik Indonesia Tahun 1945, sebenarnya tidak mengenal dan tidak mengatur Omnibus Law atau undang-undang pokok atau undang-undang payung (umbrella act) karena semua undang-undang di Negara Republik Indonesia mempunyai hirarki yang sama dan semua dibentuk oleh Presiden (eksekutif) dengan persetujuan Dewan Perwakilan Rakyat Republik Indonesia (legislatif). Oleh karena itu semua undang-undang kedudukannya sama, tidak lebih tinggi dari yang lain, dan tidak dapat saling memerintahkan satu dengan lainnya.

Undang-Undang Nomor 12 Tahun 2011 tentang Pembentukan Peraturan Perundang-undangan sebagaimana telah dirubah dengan Undang-Undang Nomor 15 Tahun 2019, juga tidak mengenal ketentuan Omnibus Law atau undang-undang payung (umbrella act) atau undang-undang yang bersifat undang-undang payung dalam hirarki peraturan perundang-undangan di Indonesia.

Kebijakan Omnibus Law oleh Presiden Jokowi memang baik, namun disadari atau tidak, pelaksanaannya tidak semudah yang dibayangkan, dibutuhkan waktu yang panjang dan persiapan yang matang dalam proses penyusunan dan pembahasannya, mengingat substansi atau materi pengaturannya harus lengkap, menyeluruh atau komprehensif, mulai dari aspek filosofi sampai kepada aspek teknis pelaksanaannya, harus rinci dan terukur.

Pemerintah Belanda membutuhkan waktu puluhan tahun untuk membentuk Burgerlijk Wetboek (Kitab Undang-Undang Hukum Perdata), yang diberlakukan juga di Indonesia pada masa penjajahan, yang relatif lengkap, menyeluruh atau komprehensif, mulai dari aspek filosofi sampai kepada aspek teknis pelaksanaannya.

Kebijakan Omnibus Law yang dilakukan secara tergesa-gesa dan tanpa persiapan yang matang, diperkirakan akan menimbulkan persoalan hukum dan akan menambah tumpukan gugatan judicial review di Mahkamah Konstitusi.

Salah satu pertimbangan dalam pembentukan undang-undang payung atau undang-undang pokok, adalah karena tidak memungkinkan dalam waktu yang singkat dan tanpa persiapan yang matang membentuk undang-undang yang lengkap, menyeluruh atau komprehensif mulai dari aspek filosofi sampai kepada aspek teknis pelaksanaannya, dan dapat menampung semua aspek dalam satu undang-undang.

Bukan bermaksud pesimis, namun jika Undang-Undang Cipta Lapangan Kerja dan Undang-Undang Pemberdayaan UMKM yang akan diajukan oleh Presiden Jokowi, materi pengaturannya tidak lengkap, tidak menyeluruh atau tidak komprehensif, mulai dari aspek filosofi sampai kepada aspek teknis pelaksanaannya, dan apalagi masih membutuhkan peraturan pelaksana atau peraturan organik (baik berupa undang-undang maupun peraturan di bawah undang-undang), maka hampir dipastikan akan lahir kembali undang-undang sektoral dan peraturan pelaksananya yang jumlahnya cukup banyak.

Jika demikian, kebijakan Omnibus Law menjadi tidak efektif dan akan berujung kepada gagal total. Padahal kebijakan Omnibus Law, menurut Presiden Jokowi bertujuan untuk memangkas jumlah undang-undang yang sangat banyak dan dinilai menghambat investasi.

Penulis adalah Notaris/PPAT dan Dosen Program Studi Magister Kenotariatan USU–Medan

Related Articles

Latest Articles