7.6 C
New York
Thursday, April 25, 2024

Notaris Bukan Superior di Mata Hukum

Oleh: Dr. Henry Sinaga, SH, Sp.N, M.Kn

Persatuan Jaksa Indonesia dan beberapa orang jaksa (Para Pemohon) mengajukan surat gugatan judicial review permohonan pengujian Pasal 66 ayat (1) Undang-Undang Republik Indonesia Nomor 2 Tahun 2014, tentang Perubahan Atas Undang-Undang Nomor 30 Tahun 2004 tentang Jabatan Notaris (UUJN), kepada Ketua Mahkamah Konstitusi Republik Indonesia, dengan Registrasi Nomor:16/PUU-XVIII/2020, tertanggal 13 Februari 2020.

Pasal 66 ayat (1) UUJN yang dimohonkan untuk diuji berbunyi sebagai berikut: “Untuk kepentingan proses peradilan, penyidik, penuntut umum, atau hakim dengan persetujuan Majelis Kehormatan Notaris berwenang:

a. mengambil fotokopi Minuta Akta dan/atau surat-surat yang dilekatkan pada Minuta Akta atau Protokol Notaris dalam penyimpanan Notaris dan

b. memanggil Notaris untuk hadir dalam pemeriksaan yang berkaitan dengan Akta atau Protokol Notaris yang berada dalam penyimpanan Notaris.”

Para pemohon mengajukan permohonan pengujian materil Pasal 66 ayat (1) UUJN sepanjang frasa/kalimat “dengan persetujuan Majelis Kehormatan Notaris” terhadap Undang-Undang Dasar Negara Republik Indonesia Tahun 1945 (UUDNRI Tahun 1945).

Dalam surat gugatannya Para Pemohon, antara lain menyatakan bahwa frasa/kalimat “dengan persetujuan Majelis Kehormatan Notaris” pada Pasal 66 ayat (1) UUJN tersebut menjadikan Notaris sebagai suatu subjek khusus yang kedudukannya seolah-olah “superior” dalam hukum.

Padahal, setiap orang termasuk Notaris, selaku warga negara dalam proses penegakan hukum harus diberlakukan sama di hadapan hukum (equality before the law) dan pemerintahan (equal protection) sebagaimana diatur dan dijamin oleh Pasal 27 ayat (1) UUDNRI Tahun 1945, yang menyatakan “Segala warga negara bersamaan kedudukannya di dalam hukum dan pemerintahan dan wajib menjunjung hukum dan pemerintahan itu dengan tidak ada kecualinya.”

Sehubungan dengan itu menurut Para Pemohon, penerapan/pemberlakuan frasa/kalimat “dengan persetujuan Majelis Kehormatan Notaris” pada Pasal 66 ayat (1) UUJN sudah tidak tepat lagi, sehingga harus dinyatakan bertentangan dengan UUDNRI Tahun 1945 dan dinyatakan tidak mempunyai kekuatan hukum mengikat lagi.

Secara normatif, frasa/kalimat “dengan persetujuan Majelis Kehormatan Notaris” pada Pasal 66 ayat (1) UUJN, sesungguhnya lahir karena Notaris dalam menjalankan jabatan atau pekerjaannya diwajibkan menyimpan rahasia.

Menurut Pasal 1 angka (1) UUJN, Notaris adalah pejabat umum yang berwenang untuk membuat akta autentik dan memiliki kewenangan lainnya sebagaimana dimaksud dalam UUJN atau berdasarkan undang-undang lainnya.

Selanjutnya dalam Pasal 16 ayat (1) huruf (f) UUJN, ditentukan bahwa dalam menjalankan jabatannya, Notaris wajib merahasiakan segala sesuatu mengenai akta yang dibuatnya dan segala keterangan yang diperoleh guna pembuatan akta sesuai dengan sumpah/janji jabatan, kecuali undang-undang menentukan lain.

Salah satu sumpah/janji jabatan Notaris, menurut Pasal 4 ayat (2) UUJN berbunyi sebagai berikut: “bahwa saya akan merahasiakan isi akta dan keterangan yang diperoleh dalam pelaksanaan jabatan saya.”

Kemudian menurut Pasal 54 UUJN, ditentukan bahwa Notaris hanya dapat memberikan, memperlihatkan atau memberitahukan isi akta, grosse akta, salinan akta, atau kutipan akta, kepada orang yang berkepentingan langsung pada akta, ahli waris, atau orang yang memperoleh hak, kecuali ditentukan lain oleh peraturan perundang-undangan.

Berdasarkan ketentuan-ketentuan UUJN tersebut di atas terlihat jelas bahwa Notaris adalah suatu jabatan atau pekerjaan yang diwajibkan menyimpan rahasia.

Sebagai pejabat yang diwajibkan untuk menyimpan rahasia, Notaris diancam hukuman penjara jika dengan sengaja membuka rahasia, sebagaimana diatur dalam Pasal 322 ayat (1) Kitab Undang-Undang Hukum Pidana (KUHP) yang berbunyi: “barang siapa dengan sengaja membuka sesuatu rahasia, yang menurut jabatannya atau pekerjaannya, baik yang sekarang maupun yang dahulu, ia diwajibkan menyimpannya, dihukum penjara selama-lamanya sembilan bulan.” Notaris dapat dimaknai termasuk salah satu jabatan atau pekerjaan yang dimaksud dalam Pasal ini.

Selain diancam hukuman penjara, Notaris juga dapat dikenai sanksi diberhentikan dari jabatannya, jika melakukan pelanggaran terhadap kewajibannya untuk menyimpan rahasia, ketentuan ini diatur dalam Pasal 16 ayat (11) UUJN.

Karena terancam dihukum penjara dan diberhentikan dari jabatannya, maka Notaris dapat meminta dibebaskan untuk memberikan kesaksian, sebagaimana diatur dalam Pasal 170 ayat (1) Kitab Undang-Undang Hukum Acara Pidana ( KUHAP ), yang berbunyi: “bahwa mereka yang karena pekerjaan, harkat martabat atau jabatannya diwajibkan menyimpan rahasia, dapat minta dibebaskan dari kewajiban untuk memberi keterangan sebagai saksi, yaitu tentang hal yang dipercayakan kepada mereka.”

Kemudian menurut Penjelasan Pasal 170 ayat (1) KUHAP disebutkan pekerjaan atau jabatan yang menentukan adanya kewajiban untuk menyimpan rahasia ditentukan oleh peraturan perundang-undangan. Notaris dapat dimaknai adalah salah satu pekerjaan atau jabatan yang dimaksud dalam Pasal ini dan UUJN dapat dimaknai adalah salah satu peraturan perundang-undangan yang dimaksud dalam Pasal ini.

Ketentuan yang sama dengan Pasal 170 ayat (1) KUHAP, juga diatur dalam Pasal 1909 ayat (2) angka (3e) Kitab Undang-Undang Hukum Perdata (KUHPdt) yang berbunyi “namun dapatlah meminta dibebaskan dari kewajibannya memberikan kesaksian segala siapa yang karena kedudukannya, pekerjaannya, atau jabatannya menurut undang-undang, diwajibkan merahasiakan sesuatu, namun hanyalah semata-mata mengenai hal-hal yang pengetahuannya dipercayakan kepadanya sebagai demikian.”

Notaris dapat dimaknai adalah salah satu kedudukan atau pekerjaan atau jabatan yang dimaksud dalam Pasal ini, dan salah satu undang-undang yang dimaksud dalam Pasal ini dapat dimaknai ialah UUJN.

Selanjutnya menurut Pasal 43 KUHAP ditentukan bahwa: “penyitaan surat atau tulisan lain dari mereka yang berkewajiban menurut undang-undang untuk merahasiakannya, sepanjang tidak menyangkut rahasia negara, hanya dapat dilakukan atas persetujuan mereka atau atas izin khusus ketua pengadilan negeri setempat,kecuali undang-undang menentukan lain.”

Mereka yang berkewajiban menurut undang-undang untuk merahasiakannya menurut Pasal ini dapat dimaknai salah satunya adalah Notaris dan atas persetujuan mereka yang dimaksud dalam Pasal ini dapat dimaknai adalah persetujuan Majelis Kehormatan Notaris (untuk jabatan atau pekerjaan sebagai Notaris).

Sedangkan menurut undang-undang yang dimaksud dalam Pasal ini dapat dimaknai adalah UUJN (yang berlaku untuk jabatan atau pekerjaan sebagai Notaris).

Berdasarkan ketentuan-ketentuan yang ditetapkan dalam KUHP, KUHAP, KUHPdt dan UUJN tersebut di atas, sebaiknya frasa/kalimat “dengan persetujuan Majelis Kehormatan Notaris” pada Pasal 66 ayat (1) UUJN tersebut tidak dimaknai untuk menjadikan Notaris sebagai suatu subjek khusus yang kedudukannya seolah-olah “superior” dalam hukum, akan tetapi sebaiknya dimaknai sebagai “perlindungan” hukum bagi Notaris selaku pejabat yang diwajibkan untuk menyimpan rahasia.(*)

Penulis adalah Notaris/PPAT dan Dosen Program Studi Magister Kenotariatan USU–Medan

Related Articles

Latest Articles