7.4 C
New York
Thursday, April 25, 2024

Merdeka dari Politik Primordial

Oleh: Yedija Manullang

Merdeka! Sebuah kata sakti yang memiliki makna yang sangat mendalam bagi bangsa
Indonesia, dimana dulu pada zaman pra kemerdekaan kata tersebut bukan hanya sebagai seruan yang membangkitkan api semangat, tetapi juga sebagai sebuah harapan dan cita-cita segenap tumpah darah Indonesia.

Zaman pasca kemerdekaan, reformasi hingga industri dan digitalisasi pada saat ini kata
merdeka semakin jarang terdengar, bahkan tidak jarang terdengar hanya sebagai slogan-slogan politik belaka.

Mengapa demikian ? Apakah dengan usia bangsa ini yang memasuki angka 67, cita-cita
kemerdekaan itu masih jauh dari yang diharapkan ?

Memang mau tidak mau, terima tidak terima harus kita akui masih banyak lini dan sektor yang masih jauh dari kata merdeka. Pendidikan, ekonomi, pertanian dan sektor-sektor lainya yang (kalau) boleh dibilang masih jauh dari cita-cita kemerdekaan itu sendiri.
Pun tidak luput dari politik dan demokrasi, yang sebenarnya sudah terus mengalami
perkembangan dan kemajuan. Namun masih saja ada praktik-praktik culas yang
menguntungkan kepentingan kelompok dan individu semata dengan mengatasnamakan suara rakyat.

Sial memang dan rasanya agak berat mengucapkannya, namun banyak fenomena yang terjadi sebagai pengingat dan catatan kritis bahwa disektor satu ini memang kita sepenuhnya belum merdeka, walaupun tahun 1998 menjadi puncak dan memasuki era baru dalam demokrasi Indonesia. Hal ini harus terus diperbaiki oleh semua elemen untuk menghasilkan pemimpinpemimpin sebagai representasi dari suara rakyat yang muaranya untuk kepentingan dan kesejahteraan rakyat pula.

Salah satu contoh nyata adalah budaya politik primordial, dimana dalam praktik dan
pengawasanya budaya ini masih sering luput dan selalu dinomor duakan dalam setiap
pengawasan pada penyelenggaraan pemilu/pilkada, dibanding politik transaksional padahal
politik primordial ini juga sangat berpotensi untuk menciderai demokrasi Indonesia.

Primordial merupakan salah satu konsekuensi akibat diferensiasi dan stratifikasi sosial, dimana Primodial menjadi sebuah sikap yang lahir dari sebuah pandangan yang, berpegang teguh pada hal-hal yang sejak semua melekat pada diri setiap individu seperti suku bangsa, ras dan agama.

Memang tidak bisa dipungkiri bahwa kehadiran paham primordialisme tidak lepas dari status maupun kehidupan sosial masyarakat Indonesia yang beragam suku, etnis, agama. Perlu dipertegas memang Primordialisme sesungguhnya bukan sesuatu hal yang buruk karena dapat membangkitkan semangat kedaerahan, peduli dengan orang yang satu suku ketika diperantauan, dan hal-hal positif lainnya. Celakanya paham ini sering kali digunakan sebagai senjata politik untuk mendorong masyarakat dalam memilih calon tertentu, hal ini kian diperparah dengan politik transaksional dengan memberikan sejumlah nominal uang kepadamasyarakat daripada memberikan gagasan dan motivasi dasar kenapa sang calon harus dipiliholeh masyarakat.

Tidak hanya itu saja, politik primordialisme juga sering kali digunakan untuk sebagai alat untuk tidak memilih calon tertentu. Sebut saja di Kabupaten Humbang Hasundutan (Humbahas) pada perhelatan pilkada tahun 2020 yang lalu, beberapa pengguna media sosial mengiring opini untuk tidak memilih calon tertentu karena tidak berasal atau lahir di kabupaten Humbahas daripada mengkritisi atau mengajak yang lain untuk tidak memilih karena visi misi yang masih dinilai kurang misalkan.

Soal apa lagi ? mungkin masih segar di ingatan kita bersama menyoal penyelenggaraan Pilkada DKI Jakarta tahun 2017 yang lampu, dimana sentimen primordial masih sangat kental dan menjadi isu maupun pemberitaan nasional, pasca ada seorang yang berasal dari etnis dan bukan berasal dari agama mayoritas, mencalonkan diri menjadi salah satu kontestan menjadi Gubernur. Sialnya lagi sentimen ini begitu masif dan ekstrem sampai-sampai menyangkut hingga akhir hayat sang pemilih jika berani memilih yang bukan satu agama dengannya. Lebih sialnya lagi ini di di Jakarta, wajah Indonesia yang sebenarnya atau boleh dibilang sebagai miniatur Indonesia, karena menjadi tempat peraduan dan pertemuan banyak orang dari seluruh wilayah di Indonesia, dari sabang sampai merauke.

Padahal dalam praktiknya, politik primordial sangat merugikan iklim demokrasi bangsa ini
serta mengoyak kehangatan sesama warga negara yang beragam dan majemuk yang akibat fatalnya dapat mengakibat diintergrasi bangsa.

Lalu bagaimana peran dan langkah yang harus diambil untuk setidaknya mengurangi praktipraktik primordial menuju demokrasi yang bersih dan kita impikan ? Mengingat belum adanya regulasi yang diatur secara khusus dalam undang-undang terkait sanksi dari politik primodial sendiri.

Pengawasan Partisipatif ?
Ya, pengawasan partisipatif menjadi langkah yang humanis, mengedepankan pencegahan, dan menyentuh akar rumput secara khusus para pemilih pemula dengan agenda penting untuk tidak asal memilih hanya karena ikatan kekeluargaan sebelum melihat profile, track record dan gagasan gagasan sang calon. Selain itu, tidak membutuhkan cost yang besar, karena ini dapat dimulai dari sesama anggota keluarga dan lingkungan sekitar. Hal ini semakin menambah nilai positif karena pengawasan partisipatif ini memberikan pendidikan politik kepada sesama secara tidak langsung, untuk tidak hanya sekedar menunaikan tugas konstitusinya di bilik Tempat pemungutan Suara (TPS) tetapi ikut juga mengawasi hasil dari pilihannya tersebut, sehingga semakin banyak orang sadar dan mengerti akan pentingnya politik dan tidak menjadi apolitis, secara khusus para pemuda yang saat ini sedang giat-giatnya mengadrugi IT dan produk produk dari IT itu sendiri.

Lalu apakah tulisan ini dimaksudkan untuk mendorong sidang pembaca untuk tidak memilih calon tertentu karena alasan kedekatan, satu suku, satu agama ? Tidak! Setiap orang berhak memilih sesuai dengan hati nuraninya masing-masing. Namun, bukankah lebih baik jika kita memilih orang yang kita lihat dari profile, track record, gagasan, visi dan motivasi dasar kenapa sang calon memberanikan diri untuk memilih jalan yang (katanya) sebagai wadah untuk melayani hajat hidup orang banyak.

Terlebih tahun ini, pasca pertambahan usia bangsa Indoensia yang ke 76 yang baru bulan agustus kemarin kita peringati, sudah seharusnya menjadi masa kontemplasi bagi rakyat untuk mengingat serta menilai kembali akan pilihannya pada perheletan pemilu dan pilkada
sebelumnya, sudahkah tuan dan puan yang duduk mewakili aspirasi dari masyarakat sudah
melakukan tupoksi dan menepati janji-janji dimasa kampanye pra pemilu/pilkada sebelumnya ? Pun terhadap para pejabat-pejabat yang terpilih, apakah sudah bisa mewakili atau menyuarakan apa yang menjadi keresahan, keperluan serta problem kolektif dari masyarakat ?

Kita juga tidak anti dengan politik dinasti dengan catatan yang diwariskan bukan hanya
kekuasaan yang mengejar untuk kepentingan pribadi dan kelompok, melainkan kekuasaan
yang dimanfaatkan sebagai etika da media untuk pelayanan terhadap hajat orang hidup banyak.

Terakhir mengutip pernyataan Profesor Emeritaus LIPI, Mocthar Pabottingi : “Politik
Primordial itu curang, apalagi jika dilakukan oleh mayoritas”. Pertanyaan terakhir sekaligus menutup tulisan ini, akankah kita merdeka dari politik primordial? Jawabannya mari kita realisasikan dalam perhelatan akbar tahun 2024 dalam penyelengaraan pemilu dan pilkada serentak seraya menunggu apakah akan ada regulasi terhadap sanksi primordial yang tidak sesuai dengan norma dalam sebuah aturan maupun produk UU secara Lex Specialis oleh pemerintah, Legislatif dan lembaga penyelenggara Pemilu.

Salam Awas!

(Penulis merupakan alumnus Sekolah Kader Pengawasan Partisipatif Bawaslu Sumut Tk.
Dasar di Simalungun 2021.)

Related Articles

Latest Articles