10.4 C
New York
Saturday, April 20, 2024

Mengkaji Ulang Hari Jadi Kota Pematangsiantar: Sang Naualuh, Pendiri atau Pejuang Kerajaan Siantar?  

Oleh: Jalatua H. Hasugian

Tanggal 24 April 2021, masyarakat Kota Pematangsiantar merayakan Hari Jadi yang Ke-150 tahun atau 1,5 abad. Penetapan ini berdasarkan Peraturan Daerah Nomor 13 Tahun 1988 yang diundangkan pada tanggal 24 April 1989. Momentum ini didasarkan pada tanggal lahir Raja Sang Naualuh 24 April 1871.

Ketika itu Wali Kota Pematangsiantar dijabat Djabanten Damanik (1984-1989) dan Ketua DPRD Laurimba Saragih (1987-1992). Laurima sebelumnya juga pernah menjabat Wali Kota Pematangsiantar (1968-1974).

Lewat Perda ini penetapan Hari Jadi Kota Pematangsiantar dianggap telah representatif. Sebab sebelumnya telah melalui loka karya pada 1 Nopember 1988 dengan kajian historis maupun akademis dengan melibatkan berbagai pihak. Penetapan itulah yang hingga sekarang masih dijadikan dasar peringatan Hari Jadi Kota Pematangsiantar.

Baca Juga: Istana Raja Siantar di Pematang Akan Dijadikan Kawasan Cagar Budaya

Namun, Majalah Sauhur pada edisi 21 (September-Oktober 2011)  pernah menerbitkan tulisan dengan membuat judul utama pada cover: “Jangan Lupakan Pendiri Kota Pematangsiantar” berikut dengan menyertakan foto Raja Sang Naualuh Damanik. Dalam  majalah yang diterbitkan Yayasan Simalungun Sauhur itu, disebutkan bahwa Sang Naualuh dilahirkan pada tahun 1870.

Pada halaman 23 dengan jelas disebutkan, “Wilayah Kerajaan Siantar mulai 24 April 1833 terdiri dari distrik Siantar, Sidamanik dan Bandar. Pasifikasi ini sekaligus sebagai landasan hukum secara de jure bahwa setiap tanggal 24 April ditetapkan sebagai Hari Jadi Kota Pematangsiantar”. Pasifikasi yang dimaksud penulisnya, Nurdin Saragih  adalah penertiban daerah Simalungun yang ditata menurut versi pemerintah Kolonial Belanda.

Berdasarkan informasi tersebut, berarti usia Kota Pematangsiantar sampai tahun 2021 telah memasuki 188 Tahun. Pertanyaan kritis yang menggugah (versi majalah Sauhur), bagaimana mungkin Sang Naualuh yang dilahirkan tahun 1870,  menjadi pendiri Kota Pematangsiantar, sementara penetapan hari jadi Kota Pematangsiantar disebutkan 24 April 1833?

Baca Juga: Lagi, Tuan Rondahaim Saragih Diusulkan Jadi Pahlawan Nasional

Sejarah merupakan proses interaksi serba terus antara masa sekarang dengan masa silam. Karena itulah, semua peristiwa masa lampau sejatinya adalah sejarah, yakni sejarah sebagai sebuah kenyataan yang memiliki makna kejadian dan perkembangan peristiwa tertentu. Dalam pengertian lebih lanjut (etimologis) berarti sejarah itu hidup, tumbuh dan berkembang terus menerus tiada henti sepanjang masa yang dikaji dengan menggunakan konsep dan metode tertentu (Richard J Evans dalam Helius Sjamsuddin; 2007).

Sejarah juga mengantarkan kita untuk memahami apa yang terjadi pada masa lampau untuk dijadikan pedoman pada masa kini dan yang akan datang. Karena proses sejarah memperlihatkan adanya perubahan, peralihan dan pergantian. Bahkan, menurut Asvi Warman Adam (sejarawan Indonesia), sejarah juga mengajarkan kepada kita apa yang tidak dapat kita lihat, untuk memperkenalkan kita kepada penglihatan yang kabur sejak kita lahir.

Oleh karena itulah, meski Pemko dan DPRD Kota Pematangsiantar masih menggunakan Perda Nomor 13 Tahun 1988 sebagai penetapan Hari Jadi Kota Pematangsiantar, hal itu tetap dapat diterima. Namun bukan berarti tanggal tersebut mutlak dipaku mati sehingga tak dapat diganggu gugat. Sebab jika kelak ditemukan fakta terbaru dan lebih meyakinkan, tentu Perda tersebut bisa saja direvisi sesuai keadaan.

Baca Juga: Perayaan HUT Kota Pematangsiantar Belum Jelas, Ini Kata Dinas Pariwisata

Apalagi selama ini masyarakat Pematangsiantar juga seolah sudah mendapatkan referensi resmi, bahwa pendiri Kerajaan Siantar adalah Raja Sang Naualuh Damanik. Itulah sebabnya, sangat beralasan jika monumen atau tugu Sang Naualuh sejak satu dekade terakhir gencar disuarakan agar segera dibangun. Tujuannya, dalam rangka memberikan penghargaan dan apresiasi yang tinggi kepada Raja Sang Naualuh selaku pendiri Kerajaan Siantar?.

Generasi Ke-14 Raja Siantar

Meski sampai saat ini tak ada yang menggugat penetapan 24 April sebagai Hari Jadi Kota Pematangsiantar, namun tak ada yang salah juga, jika kita berefleksi untuk mengkaji ulang momentum ini. Setidaknya untuk bahan percakapan awal, jika kelak ada wacana pengkajian ulang secara akademik berdasarkan fakta historis yang lebih valid.

Pada silsilah Raja-raja Siantar dalam buku Kerajaan Siantar: Dari Pulau Holang ke Kota Pematangsiantar yang diterbitkan Ihutan Bolon Hasadaan Damanik (2011) tulisan dua orang penggiat Sejarah Simalungun, Juandaha Raya Purba Dasuha dan Erond L. Damanik, disebutkan bahwa Raja Sang Naualuh merupakan generasi Ke 14 dari keturunan Raja-raja Siantar (hal.164).

Dengan informasi lewat silsilah ini, sejatinya kita malah mereduksi eksistensi atau keberadaan Kerajaan Siantar yang sudah ada selama 390 tahun (asumsi: 30 tahun/generasi) sebelum Raja Sang Naualuh memerintah?. Apakah sebelum Sang Naualuh menjadi raja, wilayah kekuasaannya bukan bernama Kerajaan Siantar? Pertanyaan lebih kritis lagi, jika disebutkan Sang Naualuh adalah pendiri Kerajaan Siantar, lantas 13 generasi pendahulu Sang Naualuh memerintah di kerajaan mana?

Ragam Versi Pendiri Kerajaan Siantar

Hasil penelitian Sejarah Perkembangan Pemerintahan Dalam Negeri Kabupaten Simalungun yang dilakukan Tim Peneliti Pemkab Simalungun menyebutkan, bahwa Kerajaan Siantar merupakan bagian dari Kerajaan Marropat, bersama tiga kerajaan lainnya bekas Kerajaan Nagur (Maknur Sinaga, 1991). Sedangkan penulis buku tentang Sang Naualuh Damanik, MD Purba juga mengakui bahwa asal-usul Raja Siantar terdapat dalam berbagai versi, sehingga butuh penelitian seksama untuk memastikannya. Karena ada yang menyebutkan pernah marga Sitanggang lalu digantikan oleh marga Damanik, tetapi dasar pergantiannya tidak jelas (MD.Purba, 1980).

Penulis lainnya, Jahutar Damanik, menyebutkan pendiri Kerajaan Siantar, yakni Raja Namartuah, merupakan anak tunggal Raja Nagur terakhir yang menjabat sebagai panglima perang. Mengembara ke Pulau Holang meninggalkan kerajaannya di Sipolha (Jahutar Damanik, 1974). Raja Namartuah yang juga digelari Datu Parmata Manunggal alias Datu Parmata Mamunjung (Datu Partigatiga Sihapunjung) yang dikisahkan berhasil merebut Kerajaan Jumorlang (ex Nagur) dalam sebuah perang tanding yang dimenangkannya. Wilayah yang dimenangkannya inilah yang kemudian dijadikan Kerajaan Siantar.

Sementara itu, Batara Sangti dalam buku Sejarah Batak menyebutkan, bahwa Kerajaan Siantar mulanya adalah kerajaan Raja Sitanggang (marga Sitanggang dari cabang pokok marga Sumba) meliputi sampai Tanah Jawa, yakni pecahan pertama dari kerajaan Silo yang meliputi seluruh Simalungun kuno. Tetapi karena kekalahan Raja Sitanggang melawan Partigatiga Sipunjung (marga Manurung yang berasimilasi kepada marga Damanik?) maka Raja Sitanggang mengungsi ke Tanah Jawa. Kemudian Raja Sitanggang dikalahkan lagi di Tanah Jawa oleh Raja Sinaga (cabang marga Lontung) yang datang dari Urat, Samosir (Batara Sangti, 1977).

Keberadaan Raja Sitanggang sebagai Raja Siantar ini juga disebutkan oleh TBA Purba Tambak, dalam buku Sejarah Simalungun. Hanya saja, ditegaskan bahwa Kerajaan Siantar yang menjadi kekuasaan Raja Sitanggang tidak termasuk wilayah Silampuyang. Karena di sana telah ada raja bermarga Saragih yang menjadi penguasa. Kisah tentang Partiga-tiga Sipunjung yang datang dari Siantar Matio menggantikan Raja Sitanggang yang akhirnya menjadi Raja di Siantar juga diceritakan dalam buku tersebut. (TBA.Purba Tambak, 1982).

Penulis lain yang juga merujuk pada kisah pengembara yang datang dari Siantar Matio tentang asal mula Kerajaan Siantar adalah Richard Sinaga. Dalam bukunya yang disadur dari tulisan WM Hutagalung tentang Silsilah Marga-marga Batak, Sinaga menulis bahwa Porboniaga Sopunjung kawin dengan boru Saragih, putri raja Silampuyang. Alkisah, Porboniaga Sopunjung kemudian menang berjudi dengan Raja Sitanggang di Pematang.

Karena kalah, Raja Sitanggang terpaksa menyerahkan seluruh kekuasaan berikut harta miliknya kepada Porboniaga Sopunjung dan dia sendiri mengungsi ke Tanah Jawa (Richard Sinaga, 2000).  Sinaga juga menyebutkan dalam bukunya, bahwa merujuk pada uraian cerita  dan kisah tentang Parboniaga Sopunjung, yang anaknya Aji Urung kelak menjadi Raja Siantar pertama adalah marga Manurung dari Uluan yang kemudian berbaur dengan marga Damanik yang telah lebih dahulu banyak di sana.

Penelitian terbaru (2009) yang dilakukan oleh Djoko Marihandono dan Harto Juwono, juga mendasarkan asal mula Kerajaan Siantar pada cerita rakyat tentang Partigatiga Sipunjung marga Damanik yang kawin dengan putri Raja Silampuyang dan berhasil mengalahkan Raja Sitanggang. Anaknya, Aji Urung kemudian menjadi Raja Siantar pertama Kerajaan Siantar dan tetap mengawini boru Saragih dari Silampuyang sebagai permaisuri (puang bolon). Tulisan Djoko Marihandono dan Harto Juwono tersebut merujuk pada buku laporan J.Tideman ketika menjabat Asisten Residen di Simalungun yang diterbitkan pada tahun 1922.

Dari banyaknya penulis/peneliti yang mencoba mengungkapkan asal-usul Kerajaan Siantar, satu sama lain terlihat banyak kemiripan, meskipun ada beberapa yang berbeda. Rujukan pada cerita rakyat tentang adanya pengembara bernama Partigatiga Sipunjung Damanik (Manurung?) yang datang dari Siantar Matio, kemudian mengalahkan Raja Sitanggang tampaknya masih menjadi referensi utama.

Pertanyaan yang perlu mendapat perhatian, bagaimana kisah marga Sitanggang bisa lebih dulu ada dan menjadi penguasa di wilayah cikal-bakal Kerajaan Siantar? Kemudian, Siantar Matio yang dimaksud dalam legenda (cerita rakyat) sebagai asal muasal Partiga-tiga Sipunjung tersebut berada di mana? Karena ada yang menyebutkan di sekitar Lumbanjulu (Toba Samosir), Samosir dan Sipolha. Pertanyaan ini tentunya penting untuk diteliti kembali, sehingga cerita rakyat yang telah bertahan ratusan tahun tersebut juga mendekati fakta sejarah yang bisa dipertanggungjawabkan secara akademik/ilmiah.

Dari sudut pandang etnografi, Djoko Marihandono dan Harto Juwono, menyebutkan bahwa penduduk Siantar yang menjadi kekuasaan Kerajaan Siantar pernah dihuni oleh penduduk bermarga Sinaga dari Lontung dan bermarga Sitanggang, yang pusat kerajaannya berada di Pamatang. Sedangkan kampung-kampung (huta) yang tersebar di sekitar Pamatang dihuni oleh marga Saragih, yakni Nagabosi, Dolok Malela dan Silampuyang. Pendapat mereka merujuk pada laporan J. Tideman (1922) dan juga tulisan P.A.L.E. van Dijk (1894).

Sedangkan hasil Seminar Kebudayaan Simalungun Se-Indonesia, 24-29 Pebruari 1964 di Pematangsiantar menyebutkan bahwa, marga Damanik yang menjadi Raja Siantar, ialah Damanik Barita (Damanik Seberang) menurut sebutan orang Samosir, sebab ia berasal dari Siantar Matio di Samosir. Mula-mula ia ke Silampuyang dan kawin dengan anak perempuan Tuan Silampuyang. Hasil seminar yang nara sumbernya adalah tokoh-tokoh adat Simalungun tersebut juga menegaskan bahwa hanya Damanik peninggalan Raja Nagur yang tidak berasal dari Samosir.

Karena itulah, meski di tengah masyarakat Kota Pematangsiantar dan Kabupaten Simalungun berkembang pendapat bahwa pendiri Kerajaan Siattar (Siantar) adalah Raja Sang Naualuh Damanik, asumsi ini masih perlu dikaji ulang. Apalagi sejarah merupakan wacana yang selalu dinamis, seiring dengan perkembangan peradaban umat manusia. Sehingga ke depan, setiap generasi bisa mendapatkan informasi yang semakin komprehensif tentang eksistensi Kota Pematangsiantar, yang merupakan salah satu kota terpenting era kolonial Belanda di Sumatera.

Belajar dari Kota Medan

Soal perubahan hari jadi sebuah kota, kita bisa belajar dari Kota Medan. Awalnya, hari jadi Kota Medan ditetapkan pada tanggal 1 April 1909, yang diperingati sejak tahun 1970. Tetapi penetapan ini mendapat bantahan dari sejumlah ahli sejarah. Tindaklanjutnya, Wali Kota Medan ketika itu dijabat Drs. Sjoerkani, membentuk Panitia Penyusun Sejarah Kota Medan, dengan ketuanya Prof. Mahadi SH, Sekretaris Syahruddin Siwan MA dan Anggotanya H. Mohammad Said, Dada Meuraxa, Letkol. Nas Sebayang, Nasir Tim Sutannaga, M.Solly Lubis SH, Drs.Payung Bangun MA dan R. Muslim Akbar.

DPRD Kota Medan mendukung kegiatan kepanitiaan ini, sehingga mereka pun membentuk Pansus yang diketuai M.A. Harahap. Setelah melalui perdebatan panjang dalam berbagai persidangan, akhirnya ditetapkan bahwa perkampungan yang didirikan Guru Patimpus (nenek moyang Datuk Hamparan Perak) tanggal 1 Juli 1590, diusulkan kepada Wali Kota Medan untuk dijadikan sebagai Hari Jadi Kota Medan.

Berdasarkan hasil perumusan Pansus DPRD Medan, pada bulan Maret 1975  secara resmi DPRD Medan menetapkan tanggal 1 Juli 1590 sebagai Hari Jadi Kota Medan dan mencabut Hari Ulang Tahun Kota Medan yang diperingati tanggal 1 April setiap tahunnya pada waktu-waktu sebelumnya.

Bercermin dari kasus sini, penetapan Hari Jadi Kota Pematangsiantar kelak juga bisa dilakukan demikian. Sehingga, monumen Raja Sang Naualuh yang tak kunjung berdiri meski sudah dua kali peletakan batu pertama, yang akan menjadi kebanggaan rakyat Kota Pematangsiantar, kelak tidak sampai salah judul, pendiri atau pejuang?

Tambahan lagi, momentum penetapan Hari Jadi Kota Pematangsiantar jangan pula malah mengurangi fakta historis keberadaan Kerajaan Siantar sebagai cikal-bakal Kota Pematangsiantar, yang sebenarnya sudah berusia lebih dari 1,5 abad!. Bahwasanya Raja Sang Naualuh adalah pelopor pembangunan dan pejuang bagi rakyat Pematangsiantar di masa lalu, tentu tak ada yang meragukannya, meski Sang Naualuh bukan termasuk pendiri Kerajaan Siantar apalagi Kota Pematangsiantar! Selamat merayakan Hari Jadi Kota Pematangsiantar!.(Penulis, Dosen Universitas Simalungun/hm02)

 

Related Articles

Latest Articles