8.3 C
New York
Friday, April 19, 2024

Mahasiswa Berubah, Perubahan Mahasiswa

Mahasiswa dan perguruan tinggi memainkan peran penting dalam kehidupan bernegara, dimulai dari saat kemerdekaan Indonesia sampai saat ini. Mahasiswa pada saat negeri ini banyak mengalami pergolakan dan gejolak untuk mempertahankan kemerdekaan, berperan penting dalam menjaga kedaulatan, serta menjadi alat untuk mengontrol keberadaan pemerintahan yang baru dibentuk. Tujuannya agar dapat mengisi kemerdekaan dengan hal-hal yang semestinya.

Di tengah-tengah situasi sulit, gejolak perang, dan krisis intelektualitas saat itu, mahasiswa mampu menjadi agent of change, dan menjadi angin segar dalam menyuarakan kebenaran dan keberpihakan kepada rakyat.

Mahasiswa pada saat itu begitu lugas dalam berbicara, menggugat pemerintahan yang terindikasi korup, berintegritas, dan memiliki kemampuan intelektual yang mumpuni untuk mengkritisi kondisi pemerintahan yang tidak ideal, terutama yang menyangkut kepentingan rakyat.

Mereka sangat tekun belajar dan melatih diri untuk menjadi sesuatu. Tidak berlebihan apabila kecendekiawanan dan kebangsaan disematkan pada identitas mahasiswa pada saat itu. Sehingga dengan segenap harapan, kepada mahasiswa dibebankan dan diharapkan mampu menjadi pemimpin-pemimpin bangsa di masa depan.

Mahasiswa diawal berdirinya republik ini adalah mahasiswa dengan semangat yang menggebu untuk mengisi kemerdekaan. Dengan cita-cita dan idealisme inilah anak-anak muda memasuki universitas-universitas atau lembaga-lembaga perguruan tinggi lainnya pada awal tahun-tahun enam puluhan.

Seorang pemuda, datang dengan penuh takjub pada gerbang perguruan tinggi. Ia berpikir untuk memasuki dunia baru, dunia untuk membuat field work bagi kemajuan nusa dan bangsa. Sehingga dengan niat dan tekad tersebut terbentuklah intelektual dan idealisme pemuda pada saat itu.

Di jaman tersebut, mudah menemukan mahasiswa-mahasiswa yang fasih berbahasa asing, terutama Bahasa Inggris. Bagi mereka, dengan menguasai beberapa bahasa asing, mereka akan menjadi tokoh dunia dan mampu membawa kepentingan nasional.

Mahasiswa-mahasiswa yang sedang kuliah pada saat itu giat untuk mengadakan kegiatan berdiskusi tentang buku-buku dan film-film yang bagus untuk membentuk konsep-konsep keilmuan yang sedang dipelajari atau sekedar menambah wawasan, lalu aktifitas berorganisasi sebagai wadah untuk belajar kepemimpinan, maupun membekali diri dengan berbagai retreat atau kamp kepemimpinan dan manajerial sebagai calon pemimpin.

Mahasiswa pun pada saat itu memiliki motto “Student today, leader tomorrow”, artinya saat sekarang adalah belajar, untuk kelak menjadi pemimpin pada masa depan.

Keadaan perguruan tinggi pada saat itu juga dapat dikatakan sebagai alat yang mampu membentuk independensi berpikir mahasiswa. Sehingga semangat mahasiswa yang menjadi creative minority pada saat itu, sedikit banyaknya dibentuk oleh kampus yang memiliki semangat untuk menciptakan lingkungan yang melahirkan gagasan-gagasan intelektual yang orisinal mengenai kebangsaan.

Di sisi lain kehadiran perguruan tinggi diharapkan melahirkan intelektual-intelektual muda yang independen dalam berpikir dan bertindak, serta mampu membangun sebuah bangsa yang berdaulat, adil, dan makmur.

Dengan begitu kampus sebagai wadah intelektual-intelektual muda merupakan benteng terakhir cendekia republik yang semestinya imun terhadap berbagai kooptasi politik dan kepentingan kelompok tertentu.
Artinya, kampus seharusnya mengambil posisi netral di tengah pertikaian maupun persaingan politik. Lalu melalui instrumen Tridharma Perguruan Tingginya, kampus diharapkan tidak pernah kehilangan relevansinya sebagai manufaktur ilmu pengetahuan yang selalu diandalkan oleh masyarakat maupun pemerintah demi mendukung pembangunan dan peradaban.

Namun seiring dengan berjalannya waktu kondisi ini tidaklah selalu ideal karena zaman selalu berubah. Negara ini tidak lagi menghadapi kolonialisme dalam bentuknya yang lampau. Mahasiswa pada saat ini cenderung kurang gereget dalam konteks perjuangan dalam mencapai idealisme kebangsaan bahkan mulai kehilangan pengaruh untuk mewarnai aktivisme perjuangan disemua lini kehidupan yang intinya tidak mau tahu tentang urusan mengenai masa depan negeri ini.

Mayoritas mahasiswa cenderung apatis dan tidak menyadari perannya sebagai calon intelektual yang perlu diisi dengan berbagai pengetahuan dan wawasan agar mampu menjadi pemimpin masa depan. Memang masih ada sosok-sosok aktivis yang ada di lingkungan kampus, tapi mereka hanya kaum minoritas diantara banyaknya jumlah mahasiswa dan perguruan tinggi pada saat ini.

Aktifitas maupun lingkungan mahasiswa pada saat inipun kurang dalam membentuk dan mempersiapkan mereka menjadi generasi masa depan bangsa. Sehingga kegiatan belajar dan perkuliahan hanya dianggap sebagai rutinitas tanpa kemauan untuk membentuk diri menjadi pemimpin masa depan.

Perhatikan saja bagaimana perilaku mahasiswa pada saat ini yang lebih berorientasi mendapatkan nilai-nilai mata kuliah yang tinggi tanpa peduli terhadap proses belajar maupun esensi pendidikan tinggi yang telah dilalui.

Ijazah dan gelar yang didapat semata-mata hanya menjadi tujuan yang dikejar bagaimanapun caranya, lalu setelah itu cita-cita untuk menjadi kaya dan tenar dalam waktu seketika lewat pekerjaan bagus yang bisa didapat menjadi gairah pemicu semangat generasi sekarang. Adapun motivasi memilih sebuah Perguruan Tinggi semata-mata hanya untuk to get a job, tidak ada motivasi lain. Bahkan pekerjaan yang difavoritkan adalah menjadi PNS (Pegawai Negeri Sipil) namun bukan atas dasar keinginan untuk berkarya atau pengabdian pada negeri tapi karena masalah terjaminnya “masa depan” apabila sudah diterima nantinya.

Keadaan perguruan tinggi pada saat inipun cenderung hanya berperan sebagai penghasil tenaga kerja daripada penghasil intelektual muda yang kreatif dan produktif. Selain itu, sudah terlalu lama sistem pendidikan di Indonesia dibelenggu dan dipengaruhi sistem pendidikan yang feodalistik yang diwarisi dari era orde baru. Artinya sistem pendidikan di Indonesia kurang menghargai kebebasan berpikir karena sekat-sekat perbedaan struktur sosial.

Hal ini dibuktikan dengan data dalam survei kualitas pendidikan yang dikeluarkan oleh PISA (Programme for International Student Assesment), Indonesia menempati peringkat ke-72 dari 77 negara.

Pengamat menilai kompetensi guru yang rendah dan sistem pendidikan yang terlalu kuno menjadi penyebabnya. Pola dan sistem pendidikan Indonesia yang diwarisi dari era orde baru yang melahirkan pendidikan yang menjajah bangsa sendiri dalam konteks menjajah pemikiran dan kebebasan anak.

Hal tersebut diciptakan karena yang pertama, pola pendidikan berusaha menyeragamkan cara berpikir yang dimulai dari membuat seragam bagi pelajar, kedua pembelajaran siswa diakhiri dengan Ujian Nasional yang memaksa anak terbiasa menghapal dan pendidikan semakin menjauhi kepekaan secara praktikal dan kepekaan yang selayaknya ditawarkan instansi pendidikan.

Alahasil, cita-cita pendidikan dari Ki Hadjar Dewantara tentang pendidikan yaitu, “Pendidikan semestinya tidak terpisah dari masyarakat” belum sepenuhnya tercapai.

Berbicara tentang cita-cita pendidikan, kini manusia sedang berhadap-hadapan dengan tantangan dan kondisi yang berbeda dengan era Ki Hadjar Dewantara maupun era pra kemerdekaan. Tantangan dunia pendidikan pada saat ini tidak terlepas dari pemahaman pemerintah terhadap era disrupsi yang saat ini terjadi.

Kehadiran teknologi digital yang begitu masif melalui revolusi industri 4.0 dengan tumbuhnya digital ekonomi, artificial intelligence, big data, internet of things, dan robotic melahirkan suatu gelombang inovasi disrupsi diberbagai bidang kehidupan.

Salah satunya adalah kemunculan berbagai bisnis rintisan digital (startup digital) melalui berbagai produknya dalam ekosistem Google Play Store maupun Apple App Store. Kemunculan berbagai startup inilah, termasuk startup digital dibidang pendidikan, menjadi peluang sekaligus tantangan di bidang pendidikan Indonesia.

Untuk mencapai tujuan itu, pemerintahan Presiden Jokowi mengangkat stafsus milenial dan Mendikbud Nadiem Makarim,karena dianggap sebagai figur yang mampu menjawab tantangan pendidikan Indonesia di masa depan.

Kembali kepersoalan pendidikan tinggi, yang menjadi masalah saat ini begitu kompleks sehingga tidak mungkin diuraikan satu per satu melalui tulisan pendek ini.

Oleh karena itu pada tanggal 24 Januari 2020, Mendikbud Nadiem Makarim meluncurkan program Merdeka Belajar: Kampus Merdeka untuk mendisrupsi dunia pendidikan di Indonesia termasuk dunia pendidikan tinggi.

Diharapkan dengan program Kemendikbud tersebut akan terbentuk generasi pelajar dan mahasiswa masa depan Indonesia yang dengan identitas intelektual, inovatif, berintegritas, berpikir holistik, berjiwa kewirausahaan, dan sekaligus menjaga kecintaannya terhadap tanah airnya Indonesia, dan harapannya, manusia-manusia Indonesia di masa depan tidak hanya inovatif dan produktif di bidangnya saja, namun akan melahirkan tipe-tipe manusia Indonesia yang berkarakter unggul, humanis, dan memiliki rasa cukup, agar mampu hidup selaras dengan alam Indonesia.

Sehingga kutipan sastrawan Pramoedya Ananta Toer, “Kalau sekolah tinggi hanya menghasilkan bangsat-bangsat saja, ya akan runtuhlah manusia ini” tidak akan pernah terjadi di bumi Indonesia. Semoga.

Penulis: Martin Yehezkiel Sianipar, SE (Staf Lembaga Penelitian dan Pengabdian Masyarakat (LPPM) STIE Sultan Agung Pematangsiantar)

Related Articles

Latest Articles