9.1 C
New York
Saturday, April 20, 2024

In Memoriam Parlindungan Sibuea, Tokoh Gerakan Mahasiswa 1998 yang Terlupakan

MISTAR.ID – Aku tak terkejut mendengar kematianmu. Sebab beberapa hari sebelum kepergianmu kawan-kawan sudah memposting kondisimu (gambarmu)sedang terbaring di rumah sakit. Wajahmu pucat pasi kurus, tak sadarkan diri dalam kondisi kritis. Tanda-tanda kematian telah terlihat. Walau aku tak menyangka secepat ini. Engkau tiada, pada Kamis, 26 Maret 2020, pukul 02.00 di RS Elisabeth Medan. Aku benar-benar sedih berduka, Apalagi, aku tak mampu memberikan serupiahpun untuk membantu biaya pengobatanmu.

Parlindungan Sibuea, kami memanggilnya bung Lindung. Dia juniorku di Fakultas Teknik USU, Jurusan Teknik Elektro. Angkatan 89. Aku sendiri di jurusan Teknik Sipil Angkatan 86. Perkenalanku lebih dekat dengannya lewat GMKI Koms Fak Teknik USU. Aku tidak tahu apa dan siapa yang mempengaruhinya jadi aktivis. Ia tak sempat menyelesaikan kuliah, akibat larut dalam aktivisme dan kesulitan biaya.

Sosoknya pendiam, simpatik dan mudah senyum. Orangnya berani dan tidak kenal kompromi. Sejak tahun 1990, dia telah terlibat dalam berbagai bentuk gerakan mahasiswa dan gerakan rakyat. Ikut dalam gerakan menumbangkan Soeharto, yang di tahun 1996 sd 1998 Lindung telah aktif mengorganisir buruh di kawasan Jalan Binjai, Mabar dan Tanjung Morawa.

Aku hormat (salut) dengan keberaniannya mengambil risiko dan konsistensinya untuk tidak berkompromi dengan penguasa dan pengusaha, walaupun dalam situasi yang sangat sulit dan mendesak. Teguh dalam pendirian dan idealisme menjadi karakter utamanya. Di zaman represifnya rezim Soeharto, Lindung ikut berjuang dalam gerakan HKPB menolak campur tangan militer dalam urusan gereja. Penangkapan dan penyiksaan oleh BAKORTANASDA ketika itu tidak membuatnya surut.

Kemampuannya mengorganisir rakyat begitu luar biasa. Mampu membangkitkan keberanian buruh dalam melakukan pemogokan di pabrik-pabrik dalam situasi represif. Tak lama setelah kejatuhan Soeharto, Lindung mengorganisir pemogokan Supir Angkot terbesar di Indonesia setelah orde baru, yang tergabung dalam KESPER, bersama-sama dengan Aliansi Gerakan Reformasi Sumatera Utara (AGRESU).

Sekitar tahun 2005 di berangkat ke Jakarta, aku mendengar kabar dirinya menjadi seorang wartawan. Sepak terjangnya di Jakarta saya sendiri tidak banyak tahu. Sekembalinya dari Jakarta, sekitar tahun 2007 kawan Lindung balik ke Medan, kembali menggeluti dunia wartawan. Mungkin Jakarta tak cocok buatnya. Idealismenya sebagai seorang jurnalis tetap tidak berubah. Tak mau menerima sogokan, dalam menerbitkan atau menghentikan suatu berita.

Lindung sosok aktivis yang selalu bermimpi terbangunnya satu kekuatan rakyat, demokrasi sejati. Dia sering nyeletuk mengkritik tingkah laku para aktivis yang bekerja di NGO, jurnalis, dan sebagian kecil berhasil menjadi pengusaha, dan sebagian sukses menduduki parlemen, dan jabatan publik lainnya.

“Apa gunanya jadi aktvis yang berbicara/ berdiskusi tentang banyak hal mengenai idealisme, demokrasi, jika perilaku kita tidak berbeda dengan orang-orang yang kita kritik selama ini. Masa kita sama saja dengan mereka? Begitulah Lindung selalu berujar.

Lindung saat memberikan pelatihan pada aktivis PBHI.

Saya teringat seorang kawan yang juga telah berpulang, Harold H Sinaga pernah berujar. “Tidak ada orang miskin yang idealis” katanya suatu ketika, untuk menegaskan pentingnya uang dan gerakan ekonomi. Mungkin maksudnya tidak ada aktivis miskin yang idealis.

Tak banyak, tetapi ada yakni Lindung, yang konsisten bertahan dalam kekurangan. Kemiskinan tidak menjadi penghambat untuk mempertahankan idealisme. Lindng tak turut serta berebutan dari sisa remah-remah milik penguasa dan pengusaha.

Kawan Lindung, perenungan hidup bagi kita sering melawan arus. “Ketika perjuangan berhasil, yang berjuang berdarah-darah belum tentu menikmati atau mendapatkan kue hasil perjuangan. Sebaliknya, yang menikmati hasil perjuangan belum tentu orang yang berjuang, yang berjuang belum tentu dikenang, yang dikenang belum tentu berjuang. Hati yang ikhlas menjadikan jiwa kita lega. ” Begitulah kenyataanya.

“Bung Lindung, aku minta maaf sebagai kawanmu, sebagai abangmu yang sekian lama tidak mampu memberi bantuan kepadamu. Aku tidak sekuat dirimu. Saat ini, aku sedang berjuang merebut remah-remah dari penguasa dan pengusaha yang tak pasti. Aku malu, tak mampu sekuat dirimu. Doakan aku dari surga, agar menjadi kuat sekuat dirimu”.

Aku masih percaya akan tiba suatu masa di mana rakyat, buruh, petani dan kaum miskin di desa dan di kota kota bersatu merebut kedaulatan rakyat, mewujudkan satu tatanan baru yang berperikemanusiaan yang adil dan berkeadilan social bagi seluruh rakyat Indonesia.

Malam sebelum kepergianmu, aku masih sempat berdoa untuk kesembuhanmu. Hanya itu yang bisa ku lakukan.

Selamat jalan kawan Lindung, Selamat jalan menuju ke keabadian. Semoga kepergianmu menghidupkan kembali idealisme perjuangan yang engkau tinggalkan.

Jakarta, 26 Maret 2020

Sahat M Lumbanraja

Related Articles

Latest Articles