6.6 C
New York
Friday, March 29, 2024

HT Elektronik Tidak Berkekuatan Hukum

Oleh : Dr. Henry Sinaga, SH, Sp.N, M.Kn

Menteri Agraria dan Tata Ruang/Kepala Badan Pertanahan Nasional Republik Indonesia, pada 27 Mei 2019, menerbitkan Peraturan Menteri Agraria dan Tata Ruang/Kepala Badan Pertanahan Nasional Republik Indonesia Nomor 9 Tahun 2019, tentang Pelayanan Hak Tanggungan Terintegrasi Secara Elektronik (PMA/Ka.BPN 9/2019).

Hak Tanggungan (HT) menurut Undang-Undang Nomor 4 Tahun 1996 Tentang Hak Tanggungan Atas Tanah Beserta Benda-Benda yang Berkaitan Dengan Tanah (UUHT), adalah hak jaminan yang dibebankan pada hak atas tanah, sebagaimana dimaksud dalam Undang-Undang Nomor 5 Tahun 1960, tentang Peraturan Dasar Pokok-Pokok Agraria, berikut atau tidak berikut benda-benda lain yang merupakan satu kesatuan dengan tanah itu, untuk pelunasan utang tertentu, yang memberikan kedudukan yang diutamakan kepada kreditor tertentu terhadap kreditor-kreditor lain.

Menurut PMA/Ka.BPN 9/2019, pelayanan HT terintegrasi secara elektronik atau disebut juga Sistem HT Elektronik (Sistem HT-el), adalah serangkaian proses pelayanan HT dalam rangka pemeliharaan data pendaftaran tanah yang diselenggarakan melalui sistem elektronik yang terintegrasi.

Sistem elektronik menurut PMA/Ka.BPN 9/2019 adalah serangkaian perangkat dan prosedur elektronik yang berfungsi mempersiapkan, mengumpulkan, mengolah, menganalisis, menyimpan, menampilkan, mengumumkan, mengirimkan, dan/atau menyebarkan informasi elektronik.

Sementara itu dokumen elektronik menurut PMA/Ka.BPN 9/2019 adalah setiap informasi elektronik yang dibuat, diteruskan, dikirimkan, diterima, atau disimpan dalam bentuk analog, digital, elektromagnetik, optikal, atau sejenisnya, yang dapat dilihat, ditampilkan, dan/atau didengar melalui komputer atau sistem elektronik, termasuk tetapi tidak terbatas pada tulisan, suara, gambar, peta, rancangan, foto atau sejenisnya, huruf, tanda, angka, kode akses, simbol atau perforasi yang memiliki makna atau arti atau dapat dipahami oleh orang yang mampu memahaminya.

Selanjutnya menurut PMA/Ka.BPN 9/2019 jenis pelayanan HT elektronik ini meliputi pendaftaran HT, peralihan HT, perubahan nama kreditor dan penghapusan HT.

Dengan terbitnya PMA/Ka.BPN 9/2019 ini, maka proses pelayanan HT dalam rangka pemeliharaan data pendaftaran tanah yang selama ini diselenggarakan dengan sistem manual (non elektronik) dan dengan menggunakan dokumen fisik, dirubah atau beralih menjadi sistem elektronik dan dengan menggunakan dokumen elektronik.

Salah satu contoh peralihan atau perubahan dari sistem manual menjadi sistem elektronik dan peralihan atau perubahan dari dokumen fisik menjadi dokumen elektronik dalam proses pelayanan HT ini adalah proses pendaftaran HT yang dilakukan oleh Pejabat Pembuat Akta Tanah (PPAT).

Sebelum PMA/Ka.BPN 9/2019 ini terbit, PPAT selaku pejabat umum yang diberi kewenangan oleh UUHT untuk membuat Akta Pemberian HT (APHT) melakukan pendaftaran HT secara manual dengan cara menyampaikan APHT dan warkah (dokumen) lain yang diperlukan kepada Kantor Pertanahan secara fisik.

Warkah (dokumen) lain yang dimaksud meliputi surat-surat bukti yang berkaitan dengan obyek HT dan identitas pihak-pihak yang bersangkutan, termasuk di dalamnya sertipikat hak atas tanah dan/atau surat-surat keterangan mengenai objek HT.

Setelah PMA/Ka.BPN 9/2019 ini terbit, maka penyampaian APHT dan warkah (dokumen) lain oleh PPAT kepada Kantor Pertanahan tidak lagi dilakukan secara manual dengan menggunakan dokumen fisik, melainkan dalam bentuk dokumen elektronik dan dilakukan melalui sistem elektronik.

PMA/Ka.BPN 9/2019 ini kelihatannya tidak sinkron dan tidak harmonis dengan UUHT, padahal UUHT dijadikan sebagai dasar hukum pembentukan PMA/Ka.BPN 9/2019. Dikatakan tidak sinkron dan tidak harmonis karena UUHT sama sekali tidak mengenal sistem HT elektronik dan tidak mengenal penggunaan dokumen elektronik dalam pelayanan HT, yang dikenal dalam UUHT adalah sistem HT manual dan dengan menggunakan dokumen fisik.

Selain tidak sinkron dan tidak harmonis dengan UUHT, pembentukan PMA/Ka.BPN 9/2019 ini juga bertentangan dengan Undang-Undang Nomor 12 Tahun 2011 tentang Pembentukan Peraturan Perundang-undangan sebagaimana telah dirubah dengan Undang-Undang Nomor 15 Tahun 2019 tentang Perubahan Atas Undang-Undang Nomor 12 Tahun 2011 tentang Pembentukan Peraturan Perundang-undangan (UUP3).

Menurut UUP3, dalam membentuk peraturan perundang-undangan (termasuk peraturan menteri) harus dilakukan berdasarkan asas kesesuaian antara jenis, hirarki (tata urutan), dan materi muatan.

Yang dimaksud dengan hirarki (tata urutan) menurut UUP3 adalah penjenjangan setiap jenis peraturan perundang-undangan yang didasarkan pada asas bahwa peraturan perundang-undangan yang lebih rendah (peraturan menteri) tidak boleh bertentangan dengan peraturan perundang-undangan yang lebih tinggi (undang-undang) dan sejalan dengan itu berdasarkan ketentuan UUP3 kekuatan hukum peraturan perundang-undangan sesuai dengan hirarkinya.

Hirarki (tata urutan) peraturan perundang-undangan di Indonesia menurut UUP3, adalah sebagai berikut :

1.Undang-Undang Dasar Negara Republik Indonesia Tahun 1945
2.Ketetapan Majelis Permusyawaratan Rakyat
3.Undang-Undang/Peraturan Pemerintah Pengganti Undang-Undang
4.Peraturan Pemerintah
5.Peraturan Presiden dan
6.Peraturan Daerah Provinsi
7.Peraturan Daerah Kabupaten/Kota.

Meskipun peraturan menteri tidak tercantum dalam hirarki di atas, menurut UUP3 peraturan yang ditetapkan oleh menteri juga diakui keberadaannya dan mempunyai kekuatan hukum mengikat, sepanjang diperintahkan oleh peraturan perundang-undangan yang lebih tinggi.

Secara hirarki UUHT posisinya berada di atas atau lebih tinggi dari PMA/Ka.BPN 9/2019, oleh karena itu menurut UUP3, PMA/Ka.BPN 9/2019 tidak boleh bertentangan dengan UUHT, akan tetapi faktanya tidak demikian.

PMA/Ka.BPN 9/2019 ini kelihatannya bertentangan dengan UUP3, karena PMA/Ka.BPN 9/2019 mengatur materi muatan yang sama sekali tidak dikenal atau tidak diatur dalam UUHT.

Selain itu, UUHT juga sama sekali tidak ada memerintahkan pembentukan PMA/Ka.BPN 9/2019 tentang HT elektronik, oleh karena itu dari sudut pandang UUP3, HT elektronik yang diatur dalam PMA/Ka.BPN 9/2019 tidak diakui keberadaannya dan tidak mempunyai kekuatan hukum mengikat. (*)

Penulis adalah Notaris/PPAT dan Dosen Program Studi Magister Kenotariatan USU–Medan

Related Articles

Latest Articles