7.5 C
New York
Friday, April 19, 2024

Fidusia Jadi Sia-sia

Oleh: Dr Henry Sinaga, SH, Sp.N, M.Kn

Mahkamah Konstitusi Republik Indonesia (MK), pada hari Senin, 6 Januari 2020, mengeluarkan Putusan Nomor 18/PUU-XVII/2019, dalam perkara Pengujian Undang-Undang Nomor 42 Tahun 1999 tentang Jaminan Fidusia (UU Jaminan Fidusia) terhadap Undang-Undang Dasar Negara Republik Indonesia Tahun 1945.

Ketentuan UU Jaminan Fidusia yang diuji oleh MK adalah Pasal 15 ayat (2) yang berbunyi: “Sertifikat jaminan fidusia mempunyai kekuatan eksekutorial yang sama dengan putusan pengadilan yang telah memperoleh kekuatan hukum tetap”, dan Pasal 15 ayat (3) yang berbunyi : “Apabila debitur cidera janji penerima fidusia mempunyai hak untuk menjual benda yang menjadi objek jaminan fidusia atas kekuasaannya sendiri.”

Pengujian (judicial review) UU Jaminan Fidusia dilakukan oleh MK sehubungan dengan adanya permohonan pengujian terkait kedudukan sertifikat jaminan fidusia yang setara dengan putusan pengadilan yang berkekuatan hukum tetap, yang telah mengakibatkan tindakan sewenang-wenang dari penerima fidusia (kreditur) untuk melakukan eksekusi terhadap objek jaminan fidusia, bahkan dengan menghalalkan segala macam cara serta tanpa melalui prosedur hukum yang benar dengan cara menyewa jasa debt collector (penagih utang), untuk mengambil alih barang yang dikuasai oleh debitur.

Ada beberapa momentum tindakan paksa, tanpa menunjukkan bukti dan dokumen resmi, tanpa kewenangan, dengan menyerang diri pribadi, kehormatan, harkat dan martabat debitur.

Putusan MK ini, memberikan kabar buruk dan kabar baik secara bersamaan dan sekaligus, kepada para kreditur (perusahaan pembiayaan atau perusahaan leasing) dan kepada para debitur (pengguna atau penikmat jasa perusahaan pembiayaan atau perusahaan leasing) di Indonesia.

Kabar buruk diberikan kepada para kreditur, karena menurut Putusan MK ini, para kreditur tidak boleh lagi melakukan eksekusi sendiri (parate eksekusi) terhadap objek jaminan fidusia, melainkan harus mengajukan permohonan pelaksanaan eksekusi kepada pengadilan negeri, meskipun para kreditur sudah mengantongi Sertipikat Jaminan Fidusia yang di dalamnya tercantum irah-irah Demi Keadilan Berdasarkan Tuhan Yang Maha Esa dan melekat kekuatan eksekutorial yang sama dengan putusan pengadilan yang telah mempunyai kekuatan hukum tetap.

Menurut Putusan MK, sertifikat jaminan fidusia yang mempunyai kekuatan eksekutorial (dapat dieksekusi sendiri oleh kreditur) bertentangan dengan Undang-Undang Dasar Negara Republik Indonesia Tahun 1945, karena pelaksanaan eksekusi sendiri (parate eksekusi) oleh para kreditur berpotensi (bahkan secara aktual), telah menimbulkan adanya tindakan sewenang-wenang dan dilakukan dengan cara yang kurang manusiawi, baik berupa ancaman fisik maupun psikis yang sering dilakukan para kreditur (atau kuasanya/debt collector) terhadap para debitur.

Praktek ini acapkali mengabaikan hak-hak debitur, selain itu juga tidak adanya kesepakatan tentang cidera janji (wanprestasi) antara debitur dan kreditur.

Menurut Putusan MK, sertipikat jaminan fidusia hanya mempunyai kekuatan eksekutorial (dapat dieksekusi sendiri oleh kreditur), kalau memenuhi 2 (dua) syarat yaitu:

1.Debitur mengakui bahwa dirinya telah cidera janji (wanprestasi).
2. Debitur secara sukarela menyerahkan benda yang menjadi objek jaminan fidusia kepada kreditur, atau dengan kata lain jika debitur tidak mengakui telah cidera janji (wanprestasi) dan keberatan menyerahkan benda objek jaminan fidusia kepada kreditur, maka sertifikat jaminan fidusia tidak mempunyai kekuatan eksekutorial (tidak dapat dieksekusi sendiri oleh kreditur).

Kabar baik diberikan kepada para debitur, karena sejak Putusan MK ini, maka para debitur tidak akan mengalami lagi tindakan sewenang-wenang atau cara-cara yang kurang manusiawi, baik berupa ancaman fisik maupun psikis yang sering dilakukan para kreditur (atau kuasanya/debt collector) terhadap para debitur yang acapkali mengabaikan hak-hak debitur dalam pelaksanaan eksekusi sendiri (parate eksekusi) oleh para kreditur.

Selain itu para debitur juga akan bebas dari pelaksanaan eksekusi sendiri oleh kreditur jika debitur tidak mengakui telah melakukan cidera janji (wanprestasi) kepada kreditur.

Menurut UU Jaminan Fidusia, yang dimaksud dengan fidusia adalah pengalihan hak kepemilikan suatu benda atas dasar kepercayaan dengan ketentuan bahwa benda yang hak kepemilikannya dialihkan tersebut tetap dalam penguasaan pemilik benda.

Selanjutnya yang dimaksud dengan jaminan fidusia adalah hak jaminan atas benda bergerak yang tetap berada dalam penguasaan pemberi fidusia (debitur), sebagai agunan bagi pelunasan utang tertentu.
Kemudian menurut UU Jaminan Fidusia, akta jaminan fidusia harus dibuat dengan akta notaris dan pembuatan akta notaris tersebut dikenakan biaya. Lebih lanjut ditentukan bahwa jaminan fidusia wajib didaftarkan dan untuk itu dikenakan biaya pendaftaran.

Setelah didaftar maka terbitlah sertifikat jaminan fidusia yang mempunyai kekuatan eksekutorial yang sama dengan putusan pengadilan yang telah memperoleh kekuatan hukum tetap.

Disadari atau tidak, Putusan MK ini kelihatannya telah membuat jaminan fidusia menjadi sia-sia, UU Jaminan Fidusia sia-sia, akta notaris jaminan fidusia sia-sia, pendaftaran jaminan fidusia sia-sia, sertifikat jaminan fidusia sia-sia, dan seluruh biaya terkait jaminan fidusia sia-sia.

Selain sia-sia, Putusan MK ini juga diperkirakan akan berdampak terhadap lembaga jaminan yang lain. Sebagai contoh lembaga jaminan Hak Tanggungan sebagaimana diatur dalam Undang-Undang Nomor 4 Tahun 1996 Tentang Hak Tanggungan Atas Tanah Beserta Benda-Benda Yang Berkaitan Dengan Tanah (UU Hak Tanggungan).

Menurut UU Hak Tanggungan, yang dimaksud dengan hak tanggungan adalah hak jaminan yang dibebankan pada hak atas tanah berikut atau tidak berikut benda-benda lain yang merupakan satu kesatuan dengan tanah itu, untuk pelunasan utang tertentu.

Sama halnya dengan jaminan fidusia, akta jaminan hak tanggungan menurut UU Hak Tanggungan juga harus dibuat dengan akta Pejabat Pembuat Akta Tanah (PPAT) dan pembuatan akta PPAT tersebut juga dikenakan biaya.

Lebih lanjut ditentukan oleh UU Hak Tanggungan bahwa jaminan hak tanggungan wajib didaftarkan dan untuk itu dikenakan biaya pendaftaran. Setelah didaftar maka terbitlah sertifikat hak tanggungan yang memuat irah-irah dengan kata-kata, Demi Keadilan Berdasarkan Ketuhanan Yang Maha Esa, dan mempunyai kekuatan eksekutorial yang sama dengan putusan pengadilan yang telah memperoleh kekuatan hukum tetap.

Dengan berpedoman kepada Putusan MK, maka timbul pertanyaan yang menarik, jika hak tanggungan tidak memenuhi 2 (dua) syarat sebagaimana ditetapkan oleh Putusan MK yaitu:

Pertama adanya pengakuan debitur bahwa dirinya telah cidera janji (wanprestasi) dan kedua debitur secara sukarela menyerahkan benda yang menjadi objek hak tanggungan kepada kreditur, atau dengan kata lain jika debitur tidak mengakui telah cidera janji (wanprestasi) kepada kreditur dan debitur keberatan menyerahkan benda objek hak tanggungan kepada kreditur, apakah sertifikat hak tanggungan tidak mempunyai kekuatan eksekutorial (tidak dapat dieksekusi sendiri oleh kreditur)?

Akankah sertifikat hak tanggungan bernasib sama dengan sertifikat jaminan fidusia? Mari kita tunggu permohonan pengujian UU Hak Tanggungan ke MK.

Penulis adalah Notaris/PPAT dan Dosen Program Studi Magister Kenotariatan USU–Medan

Related Articles

Nasib Hak Tanggungan Beda dengan Fidusia

Latest Articles