19.2 C
New York
Wednesday, May 15, 2024

Untuk Maju Pilkada, Mantan Napi Harus Menunggu 5 Tahun

Jakarta | MISTAR.ID – Majelis Hakim Mahkamah Konstitusi atau MK yang dipimpin oleh Anwar Usman mengabulkan gugatan terkait batas waktu mantan narapidana untuk maju dalam pemilihan kepala daerah.

Keputusan itu disampaikan Rabu (11/12/19) di Mahkamah Konstitusi. Lembaga ini memutuskan mantan narapidana harus memiliki jeda atau menunggu 5 tahun untuk dapat maju dalam pilkada.

Gugatan ini diajukan oleh Indonesian Corruption Watch (ICW) dan Perludem. “Alhamdulillah dikabulkan,” kata Direktur Eksekutif Perludem Titi Anggraini.

Meski jangka waktu yang dikabulkan lebih kecil dari permohonan yang diajukan, yakni 10 tahun, namun Titi mengaku tetap bersyukur. Dalam putusan itu, majelis hakim memastikan perubahan dilakukan terhadap Pasal 7 ayat (2) huruf g Undang-Undang Nomor 10 tahun 2016 tentang Perubahan Kedua Atas Undang-Undang Nomor 1 Tahun 2015 tentang Penetapan Peraturan Pemerintah Pengganti Undang-Undang Nomor 1 Tahun 2014, tentang Pemilihan Gubernur, Bupati, Dan Walikota.

Revisi pasal itu mendetailkan persyaratan yang harus dipenuhi oleh calon kepala daerah. Selain mantan narapidana harus memiliki jeda 5 tahun untuk dapat maju dalam pemilu, mantan napi yang akan maju juga bukan merupakan pelaku tindak pidana berulang.

Selain itu, mereka juga harus jujur dan terbuka menyatakan bahwa dirinya adalah mantan napi. “Tinggal KPU mengatur secara lebih detil,” kata Titi.
Uji materi diajukan ICW dan Perludem karena Peraturan Komisi Pemilihan Umum (PKPU) tak memuat larangan mantan narapidana atau napi korupsi maju di Pilkada.

KPK: Progresif

Komisioner Komisi Pemberantasan Korupsi Laode Muhammad Syarif menyambut baik putusan Mahkamah Konstitusi atau MK yang mengabulkan gugatan uji materi tentang batas waktu mantan narapidana untuk maju dalam pemilihan kepala daerah.

Laode menilai keputusan ini memberi banyak arti bagi penegasan sikap antikorupsi pada calon pemimpin daerah. “Terima kasih kepada MK, itu putusan progresif,” kata Laode saat ditemui di Hotel Pullman, Jakarta Pusat, Rabu (11/12/19).

Laode menuturkan, KPK sempat bekerja sama dengan Lembaga Ilmu Pengetahuan Indonesia (LIPI) dan partai politik untuk melakukan penelitian. Dari sana, Laode mengaku mendengar banyak keluh-kesah dari kader parpol muda yang kesulitan berkembang karena adanya kongkalikong di tubuh partai.
“Yang bagus-bagus, yang meniti karir dari bawah, sampai ke atas ini kita enggak pernah di-support. Malah karena ada uangnya, (parpol) men-support mantan napi,” kata Laode.

Atas dasar itu Laode meyakini putusan MK ini dapat memperbaiki kualitas partai politik di Indonesia. Bahkan kualitas pemilihan kepala daerah juga diyakini dapat membaik. “Saya pikir itu putusan Mahkamah Konstitusi yang bagus. Saya pikir juga itu akan lebih bagus untuk meningkatkan kualitas tata kelola partai politik,” kata Laode.

Taati Putusan MK

Pemerintah akan menaati putusan MK yang membolehkan eks koruptor maju pilkada setelah lima tahun keluar dari penjara. Menko Polhukam Mahfud Md menghormati putusan tersebut.

“Bagus. Itu wewenang MK dan kita harus menaati itu. Tapi itu baru pilkada, belum DPR, DPD,” ujar Mahfud di kompleks Istana Kepresidenan, Jakarta Pusat, Rabu (11/12/19).

MK menyatakan UU 10 Tahun 2016 Pasal 7 ayat 2 huruf bertentangan dengan UUD 1945 serta tidak mempunyai kekuatan hukum mengikat secara bersyarat. “Harus nunggu 5 tahun lagi. Saya berharap itu juga berlaku buat DPR, DPD dan semua pejabat yang dipilih rakyat,” kata Mahfud.

Jaga Demokrasi

Perkumpulan untuk Pemilu dan Demokrasi (Perludem) menilai putusan Mahkamah Konstitusi (MK) terkait syarat mantan terpidana korupsi mencalonkan diri menjadi kepala daerah sebagai sikap tegas MK dalam menjaga demokrasi yang konstitusional dan berintegritas.

“Putusan MK ini sekaligus menegaskan sikap MK terhadap perannya dalam menjaga demokrasi yang konstitusional dan berintegritas,” ujar Peneliti Perludem Fadli Ramadhanil dalam keterangan tertulis di Jakarta, Rabu (11/12/19).

Putusan MK tersebut, kata dia, juga menjadi kado istimewa dalam suasana peringatan hari antikorupsi internasional yang jatuh pada 9 Desember 2019 dan Hari Hak Asasi Manusia internasional pada 10 Desember 2019.

Dengan putusan ini, kata dia, diharapkan pelaksanan Pilkada Serentak pada 2020 di 270 daerah dapat menghadirkan calon yang bersih dan antikorupsi sehingga bisa berkonsentrasi membangun daerah secara maksimal dengan perspektif pelayanan publik dan tata kelola pemerintahan yang baik.

Selain itu, dia juga berharap adanya langkah lanjutan yang dilakukan Komisi Pemilihan Umum (KPU) pascaputusan MK, dalam melakukan pengaturan teknis pelaksanaan pilkada sehingga pemilih bisa maksimal mendapatkan informasi atas rekam jejak calon, khususnya berkaitan dengan masalah hukum yang pernah dihadapi calon.

Termasuk pula pengaturan teknis yang kongkrit untuk menghindarkan pemilih dari memilih figur-figur yang bermasalah hukum.

Fadli kemudian memberikan beberapa usulan, antara lain meminta KPU segera merevisi Peraturan KPU (PKPU) tentang pencalonan dalam Pilkada 2020, guna memberikan kepastian dalam teknis pencalonan, khususnya terhadap mantan terpidana.

Kemudian, meminta KPU membuat pengaturan yang memungkinkan partai politik melakukan penggantian atas calon yang terkena OTT KPK dengan alasan calon tersebut berhalangan tetap.

“Lalu pengaturan di PKPU Kampanye dapat berupa pengumuman dan pencantuman secara konsisten informasi soal rekam jejak hukum mantan napi Pencantuman ini dilakukan dalam setiap dokumen dari calon yang mantan napi, yang digunakan untuk kepentingan kampanye dan juga sosialisasi pilkada,” ujar Fadli.

Sumber: tempo/detik/antara
Editor: Luhut Simanjuntak

Related Articles

Latest Articles