10.3 C
New York
Thursday, April 18, 2024

Survei KPK: Mau Menang Pilkada, Calon Kepala Daerah Butuh Biaya Rp65 Miliar !

Jakarta, MISTAR.ID

Ketua Komisi Pemberantasan Korupsi (KPK) Komisaris Jenderal Polisi Firli Bahuri memaparkan hasil survei Litbang KPK perihal pendanaan pemilihan kepala daerah (pilkada) pada 2015, 2017, dan 2018.

Salah satu temuan menarik adalah gap antara biaya dan kemampuan calon yang begitu timpang. Selain itu, ada pula temuan soal dana yang dibutuhkan pasangan calon untuk memenangkan pilkada.

Demikian dipaparkan Firli dalam webinar nasional Pilkada Berintegritas 2020 yang disiarkan kanal Youtube KPK, Selasa (20/10/20).

Baca Juga:Sumut Ranking Teratas Laporan Pelanggaran Etik Pilkada

“Dari hasil penelitian kita, bahwa ada gap antara biaya pilkada dengan kemampuan harta calon. Bahkan dari LHKPN itu minus. Jadi total hartanya cuma Rp 18 miliar, tetapi dia harus masuk, bahkan ada satu calon itu tidak sampai Rp 18 miliar. Jadi jauh sekali dari biaya yang dibutuhkan saat pilkada,” kata Firli.

“Jadi wawancara in depth interview, ada yang ngomong Rp 5 miliar sampai Rp 10 miliar. Tapi ada juga yang ngomong, kalau mau ideal pak menang jadi pilkada itu bupati wali kota setidaknya punya uang ngantongin Rp 65 miliar. Padahal dia punya uang hanya Rp 18 miliar. Artinya minus. Mau nyalon aja sudah minus,” lanjutnya.

Besarnya ongkos pilkada membuat tidak jarang ditemukan fenomena calon kepala daerah ke rumah sakit jiwa atau didatangi para donatur yang meminjamkan uang.

Baca Juga:Ingat! ASN Harus “Bunuh Ekspresi” di Pilkada

“Saya kira ini akan menjadi beban setelah nanti terpilih sebagai kepala daerah. Ini PR kita bersama,” ujar Firli.

Lantas, dari mana uang para cakada itu? Menurut survei Litbang KPK, sumbernya berasal dari pihak ketiga. Perinciannya pada 2015 sebanyak 82,5% responden calon kepala daerah, 2017 sebesar 82,6%, dan 2018 sebanyak 70,3%.

“Nah timbul pertanyaan sekarang? Kok orang mau membantu, kita survei lagi, ternyata ada jawaban para calon kepala daerah iya dibantu karena ada tiga hal. Satu, cakada memiliki janji bahwa akan memenuhi permintaan dari pihak ketiga nanti kalau menang, di 2015 itu jawaban 75,80%, 2017 82,20%, 2018 83,80%,” kata Firli.

“Artinya cakada ini sudah menggadaikan kekuasaannya kepada pihak ketiga yang membiayai biaya pilkada. Kalau itu yang terjadi sudah tentu akan terjadi korupsi, dan akan berhadapan dengan masalah hukum,” lanjutnya.(cnbcindonesia.com/hm01)

Related Articles

Latest Articles