8.8 C
New York
Thursday, March 28, 2024

Sembuhkan Trauma Atas Peristiwa G30S, Putri Jenderal Achmad Yani Pindah ke Desa

MISTAR.ID- Saat ini, netizen Indonesia sedang ramai menyerukan tagar #boikotwikipedia. Hal ini terkait informasi soal PKI di Wikipedia yang bertajuk Pembantaian di Indonesia 1965-1966.

Pada dasarnya, isu PKI memang sensitif di masyarakat Indonesia. Sebab, beberapa orang masih trauma dengan kasus PKI. Salah satunya adalah Amelia Achmad Yani, salah satu putri Jenderal Achmad Yani.

Sebab Amelia Achmad Yani sempat tinggal lebih dari 20 tahun di sebuah desa kecil untuk menepi dari keramaian kota.

Dilansir oleh Kompas.com pada 10 Oktober 2017 silam, melalui wawancara khusus wartawan Widianti Kamil, Amelia Yani sedang berada di Sarajevo, dalam tugasnya sebagai Duta Besar Indonesia untuk Bosnia-Herzegovina.

Amelia Jenderal Achmad Yani adalah anak ketiga dari delapan putri dan putra almarhum Jenderal Jenderal Achmad Yani dan almarhumah Yayu Rulia Sutowiryo.

Baca Juga:Kisah Perawat Covid-19, Mulai Menyuap Pasien Hingga Curhat

Seperti diketahui bersama Jenderal Achmad Yani adalah seorang pahlawan revolusi yang gugur dalam peristiwa pada tanggal 30 September-1 Oktober 1965 oleh kelompok yang mengatasnamakan Gerakan 30 September/G30S di Jakarta.

Ingatan Amelia Yani terhadap peristiwa G30S selalu muncul sebagai peristiwa kelam saat memasuki bulan September. “Seperti sebuah potret yang berjalan,” kata Amelia Yani.

Dituturkan olehnya bahwa ia selalu mengadakan tahlilan di mana ia sedang berada. “Dan, saya sesuaikan, kalau di sini (di Wisma Indonesia), di Sarajevo (Bosnia-Herzegovina), saya sesuaikan tanggalnya dengan di Jakarta, jamnya juga bersamaan.”

“Kodam (di Jakarta) membuat tahlilan setelah magrib, di sini jam satu (13.00 waktu Sarajevo),” kata Amelia.

Ditanya perihal buku yang ditulis tentang ayahnya dan peristiwa G30S, Amelia menuturkan bahwa tujuannya adalah ingin agar generasi muda belajar dari peristiwa-peristiwa sebelumnya (terutama peristiwa G30S)

“Saya pikir tadinya, anak muda itu banyak yang terkait hal-hal yang negatif. Saya pikir seperti itu. Ternyata, banyak sekali pemuda Indonesia, mahasiswa, yang sangat cinta, untuk mengetahui sejarah bangsa sendiri.”

Baca Juga:Kisah Pemuda Aceh Isolasi Diri Di Hutan

“Begitu mereka menghubungi saya lewat Facebook, saya menulis tiap malam, untuk mereka, seperti apa pengorbanan itu. Saya salah satu anak Pak Yani, yang mungkin, apa ya, merasakan betul secara hati nurani saya.”

“Ketika ibu saya selalu bilang begini, Kenapa bapakmu dibunuh, salah apa dia? Setiap hari pembicaraannya itu terus, seperti tidak ada jawaban. Dan, kemudian, saya mencari jawaban itu dengan menulis.”

“Saya mulai mewawancarai Pak Nasution (AH Nasution), Pak Sarwo Edhie, Pak Soemitro. Semua saya wawancara. Saya tanya, seperti apa ayah saya sebetulnya, lalu kenapa harus dibunuh.”

“Di situ saya (juga) mulai membuka agenda bapak saya. Di situ ada beliau mengatakan, “Kenapa saya jadi prajurit?,” ungkap Amelia.

Menurutnya, menulis adalah bagian dari rasa cinta tanah air. “Karena saya patriot, karena saya cinta Tanah Air.”

Itu message, itu penting sekali. Pesan dari orangtua saya itu penting sekali untuk generasi muda. “Kenapa saya belajar? Untuk jadi apa? Kenapa saya jadi prajurit? Karena saya patriot. Tidak harus jadi prajurit, lho. Tapi, semangat itu ada,” kata Amelia

Baca Juga:Kisah Pasien Sembuh Covid-19 di Sumut: Intinya Jangan Panik!

Amelia juga menuturkan, ia sempat bercucuran air mata saat menulis buku tersebut. Rasa trauma yang ia alami membangun visualisasi seolah sang ayah datang kembali dan merasa dekat dengannya.

“Seolah-olah saya dibimbing untuk menulis. Kan nulisnya bukan siang hari, saya nulisnya malam hari, jam tiga pagi, jam satu malam, ketika sepi, tidak ada siapa-siapa. Saya seperti ada yang mendorong untuk menulis dan jawaban itu seperti ada di situ,” ujarnya

Dalam mengobati luka batinnya, Amelia Yani sempat pindah ke sebuah dusun di daerah Sleman, Daerah Istimewa Yogyakarta (DIY), pada tahun 1998.

Tinggal di desa selama lebih dari 20 tahun membuatnya dapat menyembuhkan dirinya dari rasa dendam, amarah, dan benci. “Tapi, kemudian, saya pindah ke desa, saya pindah ke sebuah dusun, dusun Bawuk namanya (Sleman, Daerah Istimewa Yogyakarta, 1988). Enggak ada listrik.”

“Tinggal di desa itulah yang menyembuhkan saya dari semua rasa dendam, rasa amarah, rasa benci, kecewa, iri hati, dengki. Di desa, itu hilang. Lebih dari 20 tahun saya di sana. Jadi hampir seperempat abad, saya ada di desa.”

Baca Juga:Kisah Dokter Maliana yang Sembuh dari Covid-19

“Ketika itu saya menyekolahkan (mulai SMA) Dimas (anak tunggal) ke Australia. Saya sendiri di desa. Bangun pagi, jam enam saya sudah di sawah.”

“Saya punya sawah, saya punya kolam ikan gurame, punya pohon buah-buahan, mangga, saya punya pepaya, pisang. Semua, semua saya punya, punya ayam, saya jualan telur ayam, tapi rugi terus, enggak pernah untung, enggak tahu kenapa. Itulah belajar. Saya banyak bergaul dengan petani.”

“Saya ke Bukit Menoreh. Kalau orang ingat (buku seri) Api di Bukit Menoreh, saya sudah sampai di ujungnya, di Puncak Suryoloyo itu. Waktu malam 1 Suro, mereka semua (warga) ke puncak gunung. Dan, saya sudah di sana, saya sudah ke mana-mana,” ungkap Amelia

Setelah 20 tahun berlalu atau tahun 2019, Amelia dan anaknya kemudian pindah kembali ke Jakarta. “Dan setelah tinggal di desa 20 tahun lebih sedikit, anak saya manggil.”

“Katanya, enggak cocok di situ. Jadi, saya meninggalkan dusun, balik lagi ke kota, Jakarta,” kata Amelia.(intisari.grid.id/hm01)

Related Articles

Latest Articles