8.3 C
New York
Friday, April 19, 2024

Sanitasi Terbatas, Pengungsi Afghanistan Di Jakarta Takutkan Penyebaran Covid-19

Jakarta, MISTAR.ID

Harapan memiliki masa depan cerah adalah keinginan semua orang tapi jika situasi kondisi tidak mendukung hal itu menjadi mimpi belaka. Hal ini dialami seorang pengungsi Afghanistan, Zakir Hussain (25), seorang guru Bahasa Inggris. Selama 10 bulan terakhir, bersama keluarganya ia tinggal bersempit-sempitan dengan 250 pengungsi lainnya di sebuah gedung di Kalideres, Jakarta Barat.

Bangunan ini hanya dilengkapi dengan satu toilet, dan persediaan air hanya mengalir dari jam 6 pagi sampai jam 9 pagi dan 4 sore sampai jam 9 malam. Pasokan listrik juga jarang hidup.

Kondisi ini mengkhawatirkan Zakir, karena dia dan para pengungsi lainnya mengalami  masalah mencuci tangan secara teratur dan menjaga kebersihan pribadi di tengah pandemi Covid-19. Hal ini membuat Zakir putus asa.

Zakir Hussain (kanan) dan saudara lelakinya di tempat penampungan sementara di Jakarta pada Agustus 2019. (f:ist/mistar)

Zakir Hussain (kanan) dan saudara lelakinya di tempat penampungan sementara di Jakarta pada Agustus 2019. (f:ist/mistar)

Tempat penampungan sementara yang disediakan pemerintah Jakarta memiliki kapasitas menampung 1.100 pengungsi, yang berasal dari Afghanistan, Somalia dan Myanmar.  Mereka ditempatkan di bangunan kosong bekas militer pada bulan Juli tahun lalu, setelah sekelompok 150 pengungsi berkemah di luar kantor Badan Pengungsi PBB (UNHCR) di Jakarta.

Hal itu dilakukan sebagai protes penantian panjang untuk dipindahkan ke negara-negara maju lainnya seperti Australia, Selandia Baru, Kanada dan Amerika Serikat.

Awalnya pasokan makanan disuplai pemerintah, sampai akhirnya pemerintah menuntut  agar mereka meninggalkan tempat itu paling lambat 31 Agustus tahun lalu, dengan menerima uang satu juta rupiah (US $ 67) dari pemerintah Indonesia untuk setiap keluarga. Banyak yang menerima tawaran itu, tetapi beberapa di antaranya termasuk keluarga Zakir memilih tetap tinggal dengan alasan uang itu tidak akan bertahan lama memenuhi kebutuhan mereka.

Jakarta memiliki jumlah kasus tertinggi Covid-19 di Indonesia, hal ini memperburuk kondisi para pengungsi dalam menjalani hidup mereka. Sekarang ada lebih dari 5.000 orang yang terinfeksi yang dikonfirmasi di Jakarta.

Zakir mengatakan bahwa para pengungsi mengetahui situasi tersebut karena mereka memiliki akses internet di ponsel mereka. Pada akhir Maret, seorang pejabat pemerintah Jakarta juga mengunjungi mereka untuk mendistribusikan pembersih tangan sambil menginformasikan tentang penyakit Covid-19. Mereka berencana pada akhir Mei melakukan penyemprotan disinfektan.

“Kami tahu menjaga kebersihan pribadi sangat penting untuk mencegah infeksi Covid-19, tetapi melihat keadaan, hal ini lebih mudah dikatakan daripada dilakukan,” kata Zakir.

Kurangnya Sanitasi Dan Social Distancing

Meskipun Indonesia tidak menandatangani Konvensi Pengungsi 1951, ada sekitar 13.500  pengungsi di seluruh negeri. Agustus lalu, Zakir mengatakan, dia dan keluarganya tiba di Indonesia beberapa tahun lalu dari Pakistan karena takut dituntut.

Zakir Hussain dan keluarganya yang mencari perlindungan sementara di Indonesia. (f:ist/mistar)

Awalnya, mereka menyewa sebuah rumah di Bogor, di pinggiran kota Jakarta, sampai tidak ada sisa dari tabungan mereka. Sementara kehidupan di tempat penampungan dengan 35 keluarga lainnya jauh dari tempat tidur nyaman. Walaupun kamar mandi terpisah, baik pria maupun wanita harus berbagi satu toilet. Para pengungsi akhirnya mendirikan toilet darurat di komplesk itu, ke empat dindingnya terbuat dari terpal.

Lantas bagaimana kondisi para pengungsi? Zakir mengatakan semua depresi, terutama selama Ramadhan. “Sangat sulit pada saat Magrib (doa malam) atau saat fajar ketika kita ingin sholat. Lebih dari 200 orang ingin pergi ke toilet pada saat mengambil wudhu di mana umat Islam harus mencuci diri dengan air bersih sebelum berdoa,” katanya.

Ada sekitar 50 anak di antara para pengungsi di kalideres, Jakarta Barat

Dengan akses air dan toilet yang terbatas, mereka sering pergi ke supermarket terdekat untuk menggunakan kamar mandinya dan menyebabkan mereka gagal menjalankan imbauan pemerintah agar tetap di dalam rumah di tengah Pembatasan Sosial Berskala Besar (PSBB) .

“Mereka bilang tinggal di rumah serasa tidak tinggal di rumah. Hal ini membuat beberapa pengungsi stress karena terus-menerus berdekatan dan perlu mencari udara segar. Mereka tahu apa yang harus dilakukan untuk mencegah penyebaran Covid-19 tapi karena kondisi tidak mendukung, mereka tidak dapat melakukannya”, kata Zakir. Mereka juga pergi sholat di masjid terdekat pada malam hari untuk melakukan sholat magrib.

“Jika satu orang sakit di sini, yang lain akan terkena karena tidak ada social distancing,  kita tidak bisa menjaga jarak karena ada lebih dari 200 orang di sini. Jika kita sakit, itu juga berbahaya bagi penduduk setempat karena kita masih perlu keluar untuk menggunakan toilet (supermarket), walaupun kami sebenarnya lebih peduli tentang penanganan Covid-19″, katanya.

Mengurangi Aktivitas Karena Kekurangan Makanan

Untuk makanan, para pengungsi sangat bergantung pada kepedulian penduduk setempat yang tinggal di dekatnya. Sebagai pengungsi, mereka tidak diperbolehkan bekerja di Indonesia. Mereka kebanyakan menerima air minum dan roti, dan kadang-kadang mie instan yang kata Zakir, mereka hargai sebagai “makanan mewah”.

Karena persediaan terbatas, mereka hanya makan siang dan makan malam dan sering melewatkan sarapan. Mengingat makanan yang mereka konsumsi, Zakir yakin mereka tidak memiliki sistem kekebalan tubuh yang baik untuk melawan Covid-19. “Dan sekarang dari pagi sampai malam kita tidak bisa minum air karena puasa, jadi kita menjadi lemah. Sangat lemah,” katanya.

Meskipun tidak ada yang jatuh sakit, mereka khawatir, terutama karena ada anak-anak yang tinggal di tempat penampungan.

Keluarga Zakir Hussain berbuka puasa dalam keadaan gelap. (f:ist/mistar)

“Orang dewasa baik-baik saja, mereka bisa bertahan hidup. Tapi bagaimana dengan anak-anak? Mereka tidak punya susu, dan mereka bahkan tidak bisa pergi ke dokter  (untuk pemeriksaan kesehatan), itu menjadi sebuah persoalan yang sulit, ” katanya.

Dikatakannya, semua pengungsi adalah muslim tetapi Hussain mengatakan banyak yang  tidak dapat melakukan sholat Tarawih, yang lebih lama dari doa biasa, karena kurangnya  stamina.

Rencana Bantuan Untuk Pengungsi Resmi Ditunda Karena Covid-19

Taufan Bakri, yang memimpin divisi persatuan dan politik pemerintah kota, mengatakan bahwa ia mengetahui kondisi para pengungsi. Bersama dengan pihak berwenang  berkoordinasi dengan UNHCR dalam memberikan bantuan kepada para pengungsi, tetapi karena wabah Covid-19 terpaksa rencana mereka harus ditunda.

Kota ini juga memiliki prioritas, mengingat ada 1,2 juta orang miskin di Jakarta yang  harus diurus oleh pemerintah daerah, kata Bakri. “Sebenarnya kami sangat prihatin tetapi dengan kondisi saat ini, kami tidak bisa berbuat banyak,” katanya.

“Kota ini tidak dapat menyediakan akses air selama 24 jam karena itu akan di masukkan  ke dalam tagihan bulanan sebesar Rp11 juta . Pemerintah tidak memiliki anggaran untuk ini”, kata Bakri.

“Kami sebenarnya tidak memiliki kewajiban untuk merawat mereka karena mereka adalah pengungsi ilegal. Kami merasa kasihan kepada mereka tetapi tidak begitu banyak yang  bisa kami lakukan, tapi kami masih bisa memfasilitasi kebutuhan dasar minimum air dan listrik,” katanya.

Setelah pandemi berakhir, Bakri mengatakan mereka akan berdiskusi dengan pihak-pihak terkait tentang apa yang harus dilakukan untuk para pengungsi, mengingat kemungkinan tidak ada negara yang mau menerima mereka sekarang karena situasi global yang  tidak mendukung.

“Saya ingin solusi permanen untuk situasi sekarang,” kata Zakir. Meskipun tidak mungkin  Zakir berharap kondisi akan segera membaik dan ada harapan bagi para pengungsi.

Sumber : CNA

Pewarta : Jody Setyawan

Editor  : Jelita Damanik

Related Articles

Latest Articles