9.2 C
New York
Saturday, April 20, 2024

Waduh, Urusan Perasaan pun Diatur RUU Ketahanan Keluarga

Jakarta | MISTAR.ID

Rancangan Undang-undang (RUU) Ketahanan Keluarga mengatur kewajiban dan hak suami-istri dalam kehidupan perkawinan. Bahkan RUU itu mengatur secara khusus tentang perasaan.

Draf RUU Ketahanan Keluarga yang tersebar di tengah publik memicu pro kontra di tengah masyarakat sejak pekan lalu. Aturan ini dinilai terlalu mengatur soal moral dan kehidupan pribadi warga negara.

RUU ini telah masuk dalam Prolegnas Prioritas DPR. Regulasi ini diajukan oleh lima politisi, yaitu Netty Prasetiyani dan Ledia Hanifa dari Fraksi PKS, Endang Maria Astuti dari Fraksi Partai Golkar, Sodik Mudjahid dari Fraksi Partai Gerindra, serta Ali Taher dari Fraksi PAN.

Ketua DPR Puan Maharani menilai Rancangan Undang-undang Ketahanan Keluarga memungkinkan ranah privasi terlalu diintervensi oleh negara.

“Sepintas saya membaca drafnya merasa bahwa ranah privat rumah tangga terlalu dimasuki, terlalu diintervensi,” ujarnya di dalam acara Rapat Pleno MUI yang digelar di kantor pusat MUI, Jakarta, Rabu (19/2/20).

Ia mengatakan RUU Ketahanan Keluarga harus melibatkan aspirasi masyarakat. Masukan dari masyarakat perlu dipertimbangkan baik dari sisi agama maupun budaya.

Puan juga akan meminta Komisi terkait yang menyusun draf RUU tersebut untuk melakukan sosialisasi dan membicarakannya kembali agar tidak ada mispersepsi di masyarakat dan menimbulkan kegaduhan.

Aktivis Perempuan, Tunggal Pawestri mengkritik RUU Ketahanan Keluarga karena sarat nuansa Orde Baru. Hal ini disampaikan Tunggal saat ditemui di Lembaga Bantuan Hukum (LBH) Jakarta, Jalan Diponegoro, Jakarta Pusat, Rabu (19/2/20).

Ia menyoroti pasal 25 ayat 2 dan 3 yang mengatur pembagian peran suami dan istri. Dalam aturan tersebut, peran suami bertugas sebagai kepala keluarga yang bertanggung jawab menjaga keutuhan dan kesejahteraan keluarga.

Dalam aturan itu, suami juga harus melakukan musyawarah dengan seluruh anggota keluarga dalam menangani permasalahan keluarga. Kemudian suami wajib melindungi keluarga dari diskriminasi, kekejaman, kejahatan, penganiayaan, eksploitasi, penyimpangan seksual, dan penelantaran.

Suami juga bertugas melindungi keluarga dari praktik perjudian, pornografi, pergaulan dan seks bebas, serta penyalahgunaan narkotika, alkohol, psikotropika, dan zat adiktif lainnya.

Sementara, dalam Pasal 25 ayat 3 dijelaskan peran istri, yakni; mengatur urusan rumah tangga sebaik-baiknya; menjaga keutuhan keluarga; serta memperlakukan suami dan Anak secara baik, serta memenuhi hak-hak suami dan anak sesuai norma agama, etika sosial, dan ketentuan peraturan perundang-undangan.

Tunggal menilai pasal tersebut tidak masuk akal karena kalimat dalam aturan tersebut malah meneguhkan kembali domestifikasi perempuan serta stereotip peran istri dan peran suami.

Ia menjelaskan, pada era Orde Baru di bawah kepemimpinan Soeharto, ‘ideologi’ ibuisme sempat kencang digaungkan. Saat itu, menurut dia, ideologi ibuisme itu menjadikan perempuan hanya bertanggung jawab terhadap rumah tangga.

“Tapi dulu banyak gelombang protes, kita coba merekonstruksi ulang bahwa ini tidak bisa dilanjutkan model pembagian peran antara laki dan perempuan di rumah tangga, karena itu udah outdated,” ujar dia.

Di sisi lain, menurut dia, RUU Ketahanan Rumah Tangga ini juga sudah terlalu masuk wilayah privat masyarakat. “Ini sesuatu yang tentu saja tidak bisa dibiarkan, apalagi ada ancaman sanksi, pidana karena ini (produk) UU, ini bisa membahayakan,” jelas Tunggal.

RUU Ketahanan Rumahtangga ini juga dinilai terlalu mencampuri urusan perasaan dan cinta, sesuatu yang sulit untuk diukur. Hal ini terdapat pada pasal Pasal 24 ayat (1) menyebut suami istri punya kewajiban untuk menegakkan rumah tangga dan membina harmonisasi keluarga. Kemudian pada ayat selanjutnya suami istri diwajibkan untuk saling mencintai.

Sementara, dalam Pasal 25 ayat 3 dijelaskan peran istri, yakni; mengatur urusan rumah tangga sebaik-baiknya; menjaga keutuhan keluarga; serta memperlakukan suami dan Anak secara baik, serta memenuhi hak-hak suami dan anak sesuai norma agama, etika sosial, dan ketentuan peraturan perundang-undangan

Tunggal menilai pasal tersebut tidak masuk akal karena kalimat dalam aturan tersebut malah meneguhkan kembali domestifikasi perempuan serta stereotip peran istri dan peran suami.

Di sisi lain, menurut dia, RUU Ketahanan Rumah Tangga ini juga sudah terlalu masuk wilayah privat masyarakat. “Ini sesuatu yang tentu saja tidak bisa dibiarkan, apalagi ada ancaman sanksi, pidana karena ini (produk) UU, ini bisa membahayakan,” jelas Tunggal.

Hal senada juga disampaiakn Direktur Pusat Studi Konstitusi (PusaKo) Universitas Andalas Padang. Feri Amsari, merasa Rancangan undang-undang Ketahanan Keluarga merupakan sebuah keanehan karena jika berlaku negara sampai masuk ke ruang privat publik.

“Ruang itu jadi aneh kalau negara masuk. Negara bisa masuk dalam ruang yang merugikan publik, kalau negara masuk ke ruang privat itu kesalahan fatal dan tentu melanggar HAM,” kata Feri Amsari disela audiensi dengan Kementerian Dalam Negeri, di Jakarta, Rabu.

“Anak patuh kepada orang tua kan etika, tak perlu diundangkan, karena sudah hidup dan tertanam di masyarakat, tiba-tiba ketika ternyata ada perbedaan, langsung jadi pidana sanksi yang lain. Padahal Perbedaan itu bisa diselesaikan dengan cara kekeluargaan,” kata dia.

Seharusnya, menurut dia pemerintah tidak perlu hadir bahkan mengatur secara teknis etika berinteraksi sosial bahkan masalah privat keluarga, sebaiknya fokus saja menyelesaikan persoalan yang lebih besar, berkaitan dengan hajat hidup orang banyak.

RUU Ketahanan Keluarga merupakan usulan dari anggota DPR pada periode 2014-2019 dan masuk dalam Prolegnas 2020.

Menurut, Wakil Ketua DPR RI Sufmi Dasco Ahmad, saat ini RUU itu baru akan disinkronisasikan dan semua pihak, harus bersama-sama mencermati dan fraksi-fraksi di DPR RI membuat Daftar Inventarisir Masalah (DIM).

Sumber: Antara

Editor: Rika

Related Articles

Latest Articles