12.6 C
New York
Friday, April 26, 2024

Pro Kontra Ambang Batas Parlemen 5 Persen

Jakarta, MISTAR.ID

Ambang batas parlemen (parliamentary threshold) kini mulai diributkan sejumlah partai politik. Pro dan kontra pun tidak dapat dielakan. Sejumlah partai besar termasuk PDI Perjuangan dan Golkar sepertinya ngotot agar ambang batas parlemen dinaikan menjadi 5 persen dari yang sebelumnya 4 persen. Namun Partai Demokrat dan Partai Keadilan Sejahtera (PKS) berbeda sikap dalam merespons usulan ini.

Demokrat tidak setuju dengan usulan tersebut. Sementara itu, PKS mengajak pihak-pihak yang mengusulkan ambang batas parlemen menjadi 5 persen untuk membahas revisi Undang-undang (UU) Nomor 7 Tahun 2017.

Deputi Bappilu DPP Partai Demokrat Kamhar Lakumani menyatakan bahwa ambang batas parlemen sebesar 4 persen belum perlu dinaikkan.

“Partai Demokrat berpandangan bahwa parliamentary threshold 4 persen yang ada saat ini masih relevan untuk digunakan,” kata Kamhar, Selasa (2/11/21).

Baca juga:Pimpinan MPR Terbelah Tiga, Perdebatan Rencana Amendemen UUD 1945 Kian Meruncing

Ia menyatakan, hal yang mendesak untuk ditinjau kembali adalah presidential threshold atau ambang batas pencalonan presiden. Menurutnya, syarat mengusung capres-cawapres yang ideal ialah memiliki kursi DPR 4 persen, bukan 20 persen.

“Idealnya [presidential threshold] sama dengan besaran parliamentary threshold, agar seluruh partai politik yang telah mendapatkan mandat rakyat sebagai perwakilannya di parlemen memiliki hak untuk mengusung pasangan calon presiden dan wakil presiden,” katanya.

Sementara itu, Ketua DPP PKS, Mardani Ali Sera mengatakan usulan PDIP dan Golkar untuk meningkatkan ambang batas parlemen menjadi 5 persen perlu dilakukan lewat revisi UU Pemilu.

PKS, menurutnya, mengusulkan ambang batas parlemen ditetapkan sebesar 5 persen dan ambang batas pencalonan presiden ditetapkan sebesar 10 persen.

“PKS memperjuangkan agar ada revisi UU Pemilu. Parliamentary thershold 5 persen plus presidential thershold 10 persen. Jadi ayo kita revisi UU Pemilu,” kata anggota Komisi II DPR RI itu.

Sementara itu, Wakil Ketua Komisi II DPR RI dari Fraksi partai NasDem, Saan Mustopa, mengatakan bahwa revisi UU Pemilu sudah disepakati untuk tidak direvisi. Ia pun menolak mengomentari lebih lanjut soal usulan PDIP dan Golkar tersebut.

“Kita sudah sepakat untuk tidak melakukan revisi UU Pemilu. Kalau setelah Pemilu 2024 nanti kita lihat kemungkinannya,” tuturnya.

Sementara itu, Wakil Ketua Komisi II DPR dari Fraksi Partai Kebangkitan Bangsa (PKB), Luqman Hakim meyakini usulan PDIP dan Golkar soal peningkatan ambang batas parlemen memiliki dasar filosofi dan rasionalisasi yang kuat.

Namun, dia menolak menyampaikan pandangan soal ambang batas parlemen yang ideal untuk ditetapkan. Luqman mengatakan baru akan menyampaikan usulan PKB soal ambang batas parlemen apabila hal tersebut dibahas di DPR secara resmi.

Baca juga:Jelang Musda Partai Demokrat Sumut, Dua Kandidat Satukan Visi Besarkan Partai

“Saya akan sampaikan pandangan PKB mengenai parliamentary threshold, kelak jika terdapat momentum pembahasan di DPR,” tuturnya.

Sebelumnya, Sekretaris Jenderal PDIP Hasto Kristiyanto kembali mengusulkan peningkatan ambang batas parlemen menjadi 5 persen.

Hasto beralasan sistem presidensial membutuhkan sokongan sistem multipartai sederhana. Menurutnya, peningkatan ambang batas parlemen perlu dilakukan secara terus-menerus.

Hasto mengatakan sistem multipartai sederhana akan mendukung efektivitas pemerintahan. Dengan demikian, konsolidasi bisa tercapai secara menyeluruh.

Pendapat serupa juga disampaikan Wakil Ketua Umum Partai Golkar Ahmad Doli Kurnia. Doli sepakat jika ambang batas parlemen dinaikkan menjadi 5 persen.

“Idealnya partai politik di Indonesia ini pada akhirnya sekitar 6, 7, atau 8. Jadi, kita tidak melarang siapapun untuk punya hak mendirikan partai politik karena itu dijamin oleh UUD 45, tetapi ada juga proses seleksi yang cukup ketat” ujar Doli.

Dilain pihak Peneliti Riset Politik Badan Riset dan Inovasi Nasional (BRIN) Wasisto Jati menilai usulan PDIP dan Partai Golkar untuk meningkatkan ambang batas parlemen (parliamentary threshold) sebagai usulan yang bersifat oligarkis.
Wasisto menjelaskan, hal ini lantaran usulan tersebut dimunculkan oleh dua partai politik besar sekaligus bagian dari koalisi pemerintah.

“Usulan ini bersifat oligarkis, karena usulan ini berasal dari partai fraksi sekaligus pula bagian dari koalisi pemerintah,” kata Wasisto saat dihubungi, Selasa (2/11/21).

Menurut Wasis, dengan naiknya ambang batas parlemen, maka secara otomatis akan mempersempit peluang hadirnya partai-partai baru maupun partai oposisi untuk membentuk pemerintahan.

Selain itu, naiknya ambang batas parlemen juga berpotensi menghasilkan kartel politik yang secara dominan berperan sebagai pemain politik utama dalam setiap pemilu.

Ia menambahkan, pada akhirnya naiknya ambang batas parlemen ini akan menimbulkan semacam kejenuhan publik. Sebab, kata dia, pemilih tidak memiliki pilihan kandidat maupun parpol alternatif selain partai-partai lama.

Menurut Wasis, jika usulan ini disepakati, ia memprediksi hanya akan ada lima partai yang bertahan di parlemen, yakni PDIP, Golkar, Gerindra, PKB, dan PKS. Sementara, dua partai lain seperti PAN dan PPP diprediksi bakal tersingkir.

Baca juga:Hari ini, Jokowi Menerima Draf Omnibus Law

Di sisi lain, ia menilai jika antara NasDem dan Demokrat bisa saja salah satunya tereleminasi. Hal ini disebabkan beberapa hal.

“Terkhusus bagi Nasdem dan Demokrat sendiri bisa salah satu di antara keduanya tereliminasi, mengingat Nasdem bisa eksis karena selalu jadi partai pemerintah sejak 2014, namun belum teruji sebagai partai oposisi dan Demokrat sendiri tergantung kondisi internal yang kini tengah mengalami pergolakan,” ujar dia.

Namun demikian, ia meyakini jika usulan tersebut akan mendapat banyak penolakan dari partai lain. Terutama partai-partai baru peserta pemilu. (cnn/hm06)

 

Related Articles

Latest Articles