8.4 C
New York
Friday, March 29, 2024

Malpraktik Pilkada Yang Perlu Diwaspadai

MISTAR.ID

Sarah Birch, profesor ilmu politik di King’s College London, Inggris, menjelaskan malpraktik merupakan tindakan manipulasi untuk mengganggu proses dan hasil pemilihan sehingga kepentingan publik digantikan oleh kepentingan pribadi atau kelompok yang mendapatkan keuntungan dari tindakan tersebut.

“Saya bersama rekan-rekan saya telah melakukan penelitian tentang malapraktik yang terjadi pada pemilu 2014 dan 2019, dan menemukan tiga penyebab mengapa praktik kecurangan terus terjadi pada penyelenggaraan pemilu di Indonesia,” ujarnya.

Berikut malpraktek pilkada yang perlu diwaspadai

1. Relasi Patronase
Hubungan yang kuat di antara para penyelenggara pemilu, calon kepala daerah dan pemilih.
Patronase politik adalah penggunaan sumber daya untuk memberikan imbalan kepada individu yang telah memberikan dukungan elektoral.

Setiap caleg atau pasangan calon dalam pemilihan kepala daerah (pilkada) merasa perlu untuk mengeksploitasi relasi personal, patronase, ataupun kekerabatan demi kemenangan yang ingin diperoleh.

Relasi yang terbangun ini melibatkan hal-hal material dan non-material sebagai bahan transaksi di antara para aktor tersebut. Aspek material adalah biaya politik; sementara non-material berupa hubungan yang bersifat sosial dan kultural yang disebabkan karena kekerabatan ataupun hubungan kedekatan secara personal.

2. Penggelembungan Suara

Sistem pemilu di Indonedia mendorong calon menghalalkan segala cara untuk menang.

Calon yang merasa punya potensi kemenangan besar akan melakukan manipulasi suara dengan penggelembungan ataupun pengurangan suara.

3. Lemahnya sistem pendukung

Dalam pemilu kita yang dapat membuka celah terciptanya manipulasi suara. Manipulasi terjadi paling tidak pada dua hal, yakni :

a. data pemilih

Data pemilih dalam setiap pemilu kita selalu menjadi masalah serius karena data tidak pernah akurat.

b. rekapitulasi penghitungan suara berjenjang.

Sementara itu, rekapitulasi penghitungan berjenjang masih membuka peluang adanya kesalahan penghitungan dan berujung manipulasi hasil perolehan suara.

Masih ada celah, misalnya, untuk mengubah angka penghitungan suara di tingkat TPS hingga kecamatan.

Sistem penyelenggaraan pemilu kita sebenarnya telah berupaya agar proses pelaksanaan pemilu dapat bekerja transparan dan akuntabel. KPU dan Bawaslu (Badan Pengawas Pemilu) memiliki sistem pengendalian dan pengawasan kepada seluruh aparat di bawahnya.

Namun, malpraktik terjadi karena memang para calon yang merasa perlu untuk “mengotak-atik” proses demi keuntungan pribadi dan kelompoknya harus melibatkan para penyelenggara pemilu.

Studi kami memperkaya berbagai kajian terkait dengan malapraktik pemilu yang sedang berkembang di dunia seperti yang telah dilakukan oleh Sarah Birch.

Selain itu, sebuah kumpulan riset yang diterbitkan Bawaslu menyebut bahwa salah satu aspek penting dalam manipulasi adalah arus uang dalam pemilu, seperti yang dilakukan oleh caleg Perindo di Karawang ataupun kasus Golkar di Bintan.

Seorang calon kepala daerah mempersiapkan sejumlah uang untuk menyuap petugas dalam memanipulasi hasil pemilu, baik di level TPS hingga kabupaten/kota tempat proses rekapitulasi penghitungan suara masih dapat diganggu. Untuk melakukan tindakan manipulasi, para aktor ini membutuhkan biaya yang tidak sedikit.

Dalam penelitian lain saya bersama kolega di Universitas Indonesia sebelumnya tentang Dewan Kehormatan Penyelenggara Pemilu (DKPP), kami menemukan bahwa walau para penyelenggara pemilu di semua tingkatan telah dan selalu diingatkan dalam aspek integritas, kasus-kasus yang menyangkut kemandirian dan profesionalitas para penyelenggara pemilu tidak berkurang sama sekali.

Antara tahun 2018 dan 2019, ada 1.030 kasus pengaduan yang diterima oleh DKPP. Sebanyak 650 kasus disidangkan dan 144 orang penyelenggara pemilu diberhentikan tetap.

Tahun ini pemilihan kepala daerah (pilkada) serentak akan dilakukan pada Desember. Malapraktik ini sulit dihentikan kecuali para penyelenggara pemilu memiliki tekad kuat untuk tidak melakukan tindakan curang sekecil apapun.

Publik, lewat lembaga masyarakat sipil ataupun media massa, bisa dan harus terus memperkuat pemantauan penyelenggaraan pemilu di semua daerah sehingga para kandidat dan para penyelenggara pemilu kesulitan untuk berkongsi untuk melakukan kecurangan. (theconfersation/hm06)

Related Articles

Latest Articles