12.6 C
New York
Saturday, April 27, 2024

Polemik Ranperda Janda, dari Poligami dan Bentuk Kekerasan

Jakarta, MISTAR.ID

Kata Janda begitu cepat menjadi isu yang menarik, seksi bahkan bukan tak jarang menjadi bahan guyonan juga cenderung ejekan serta bernada diskriminasi. Tak heran jika Ranperda Pemberdayaan Janda begitu cepat menjadi Perhatian masyarakat. Bahkan ranperda ini sudah menjadi isu nasional.

Wacana Rancangan Peraturan Daerah (Raperda) tentang Pemberdayaan Janda yang digulirkan anggota DPRD Banyuwangi dari Partai Persatuan Pembangunan (PPP) saat ini menuai polemik. Tidak sedikit yang menolaknya, baik kalangan politisi, aktivis bahkan kelompok atau perhimpunan janda di Banyuwangi.

Pemerhati Perlindungan, Pemberdayaan Perempuan dan Anak di Banyuwangi, Muhammad Hoiron khawatir muncul masalah baru di tengah masyarakat.

Kendati demikian, Hoiron tetap memandang positif wacana tersebut, sebab jika ditinjau dari rencana usulan dan niat PPP untuk memberdayakan para janda melalui sisi ekonomi, keilmuan hingga pemberian hak sampai kesejahteraan keluarga, dinilai baik dan perlu untuk ditindak lanjuti.

Namun, berbeda jika benar-benar diajukan dan berhasil disahkan dengan unsur mempengaruhi dan mengajak para suami berpoligami, Hoiron memprediksi akan banyak istri-istri yang meronta dan memecah situasi keluarga yang semula harmonis menjadi pertikaian sebab timbulnya wacana poligami.

Menurut Hoiron, kebanyakan para istri tidak rela jika suaminya poligami, apalagi mereka yang berstatus ASN.

“Jika cara poligami tersebut diperbolehkan melalui Perda, maka akan menimbulkan pertengkaran bagi keluarga tersebut, yang ujung-ujungnya terjadi pertengkaran dan istri tua meminta cerai. Akibatnya angka perceraian dan jumlah janda bukannya berkurang, namun justru akan bertambah,” kata Hoiron, Kamis (2/6/2022).

Baca juga:Gilaa.., Tokoh Poligami Angola Tutup Usia Tinggalkan 42 Istri, 156 Anak Dan 250 Cucu

Hoiron menyebut, aturan pernikahan telah diatur dalam UU Nomor 1 tahun 1974 tentang perkawinan. Menurutnya, solusi yang lebih tepat untuk membantu para janda di Banyuwangi yakni dengan cara memberikan pelatihan kerja kepada mereka. Sehingga secara ekonomi mereka tetap berdaya. Sebab tak jarang banyak janda yang saat ini menjadi kepala keluarga dan harus menanggung kebutuhan anak mereka yang sudah mengenyam dunia pendidikan.

Disisi lain, kebanyakan mereka yang menjadi janda tak jarang memiliki jenjang pendidikan masih rendah. Akibatnya ketika menjadi janda mereka kesulitan mencari pekerjaan baru serta kesulitan menghidupi anak-anaknya.

Hoiron menambahkan, adanya wacana perda perlindungan janda tersebut, harus menjadi perhatian pemerintah daerah. Sebab menurutnya negara juga harus hadir dalam memberikan solusi terhadap permasalahan tersebut.

“Sebenarnya juga merupakan tanggung jawab pemerintah. Pemerintah juga harus hadir ditengah-tengah persoalan para janda, minimal memperhatikan dan memberikan cara-cara terbaik,” ujar Hoiron.

Komnas Perempuan Tolak Wacana Ranperda Janda

Komisioner Komisi Nasional Anti Kekerasan terhadap Perempuan (Komnas Perempuan) Siti Aminah mengatakan, pihaknya tidak sepakat dengan wacana raperda janda. Terlebih dengan ajakan poligami sebagai bentuk perlindungan dan pemberdayaan para janda.

Dia menjelaskan, ketentuan poligami telah diatur dalam Undang-Undang Perkawinan. Bagi Komnas Perempuan sendiri, poligami adalah salah satu bentuk kekerasan terhadap perempuan. ”Sehingga pengaturan poligami dalam raperda berpotensi bertentangan dengan UU Perkawinan,’’ tegasnya.

Selain itu, pernyataan poligami sebagai salah satu cara untuk melindungi dan memberdayakan janda dinilainya justru merendahkan janda. Seakan-akan janda tidak mampu untuk berdaya dan mandiri sebagai single parent dan perempuan. Padahal, banyak bukti perempuan-perempuan janda, baik karena suaminya meninggal maupun bercerai, berhasil mendidik dan membesarkan anak-anaknya. ”Dari alasan-alasan tersebut, maka wacana raperda janda tidak diperlukan,’’ ujar perempuan yang biasa disapa Amih itu.

Amih juga menyebut, wacana itu sangat mungkin tidak melihat atau menganalisis kemungkinan-kemungkinan pemberdayaan janda dengan program lainnya. Misalnya, memaksimalkan zakat, infak, dan sedekah untuk janda, anak yatim piatu, atau pemberdayaan ekonomi lainnya. Padahal, pemberdayaan janda dapat dilakukan dengan program-program pemberdayaan ekonomi lain, baik dari negara maupun organisasi keagamaan. ”Lebih penting lagi, apakah wacana tersebut telah mendengarkan suara dan pendapat dari perempuan, khususnya dari janda?’’ ungkapnya.

KPPOD: Ini Ranperda Nyeleneh

Komite Pemantauan Pelaksanaan Otonomi Daerah (KPPOD) dengan tegas menolak ranperda pemberdayaan ranperda. Direktur Eksekutif KPPOD Herman Suparman mengatakan, secara prinsip, DPRD memiliki hak untuk mengusulkan perda. Namun, dia mengingatkan, usulan perda harus memperhatikan banyak aspek, termasuk kebutuhan.

”Jangan sampai hanya untuk kepentingan kelompok tertentu,’’ ujarnya kemarin.

Arman menilai, perda perlindungan janda tidak cukup krusial untuk dibahas saat ini. Apalagi, penolakan publik juga sangat kencang. Dalam konteks penyusun regulasi, tingginya penolakan harus jadi perhatian DPRD. Artinya, jika banyak yang menolak, sejatinya tidak perlu dilanjutkan. Terlebih baru di tataran rencana yang relatif mudah dibatalkan. ”Artinya jika sudah banyak penolakan sejak wacana, ya nggak usah dibuat,’’ imbuhnya.

Dibandingkan membuat perda “nyeleneh”, lanjut Arman, sebaiknya DPRD memikirkan isu lain. Sebab, masih banyak urusan yang memerlukan atensi. Misalnya, aturan turunan dari berbagai undang-undang. Khususnya, yang menyangkut kebutuhan masyarakat. ”Atau perda tentang perlindungan UMKM, itu lebih urgen,” jelasnya.

Baca juga:Umi Pipik Bicara Poligami, Pernah Bertemu Istri Kedua Ustad Jefri

Namun, jika raperda tersebut tetap lanjut, Arman menilai pemerintah, khususnya pemerintah provinsi, bisa melakukan review kritis atas perda. Sebab, secara regulasi, yang berwenang melakukan executive review terhadap perda kabupaten/kota adalah pemprov. ”Kalau perda provinsi, itu di Kemendagri,’’ kata Arman.

Sebagai informasi, raperda itu sempat diusulkan beberapa tahun lalu. Ketua Fraksi PPP DPRD Banyuwangi, Basir Khadim menggulirkan wacana perlu adanya peraturan daerah tentang perlindungan janda di Banyuwangi.

Pertimbangannya karena banyaknya angka perceraian di kabupaten ujung timur pulau jawa ini yang diprediksi jumlahnya mencapai 500 perbulan. Sehingga nasib mereka perlu diperhatikan dengan cara memperbolehkan ASN atau warga yang mampu untuk poligami. Selain itu pemerintah daerah juga harus memberikan pelatihan kerja terhadap mereka agar ekonomi mereka tetap stabil. (berbagaisumber/hm06)

Related Articles

Latest Articles