13.3 C
New York
Friday, May 10, 2024

Kemendikbud Kurangi Beban Mengajar

Jakarta | MISTAR.ID – Rencana Menteri Pendidikan dan Kebudayaan (Mendikbud) Nadiem Makarim mengurai persoalan yang dihadapi guru mendapat dukungan parlemen. DPR berinisiatif menyiapkan payung hukum dengan merevisi UU 14/2005 tentang Guru dan Dosen. Guru dan dosen akan dipisah dalam undang-undang yang berbeda.

Wakil Ketua Komisi X DPR Abdul Fikri Faqih menuturkan, rencananya, revisi UU Guru dan Dosen masuk program legislasi nasional (Prolegnas) prioritas 2020. ”Dengan begini akan menjadi lebih spesifik,” kata Fikri di kompleks parlemen, Senayan, Jakarta, kemarin (26/11).

Pemisahan UU tersebut, papar dia, merupakan aspirasi dari kalangan guru, dalam hal ini diwakili Ikatan Guru Indonesia (IGI). DPR pun beberapa kali melakukan rapat dengar pendapat dengan IGI. Hasilnya, para guru mendorong UU memisahkan guru dan dosen.

Menurut Fikri, wacana pemisahan UU itu cukup logis. Secara karakteristik keduanya memang berbeda. Soal kualifikasi, misalnya. Guru cukup berpendidikan sarjana (S-1), sedangkan dosen minimal S-2.

Lalu, guru memiliki fungsi mengajar. Bahkan, fungsi sebagai pendidik jauh lebih dominan. Sementara itu, dosen punya tiga fungsi tridarma. Yaitu, mengajar, meneliti, dan melakukan pengabdian kepada masyarakat.

”Perbedaan fungsi itu membuat kami ingin memisahkan undang undang tersebut,” katanya.

Fikri menambahkan, yang mendesak untuk direvisi adalah pasal 35 ayat 2. Itu terkait dengan beban kerja guru, yaitu sekurang-kurangnya 24 jam tatap muka dalam seminggu.

Pihaknya berharap kewajiban guru tatap muka dikurangi menjadi minimal 10 jam dan maksimal 36 jam per minggu. Dalam UU 14/2015 disebutkan, beban kerja guru sekurang-kurangnya 24 jam tatap muka dan sebanyak-banyaknya 40 jam tatap muka dalam satu minggu.

Revisi regulasi tersebut juga akan menekankan kesejahteraan guru swasta dan honorer. DPR mengusulkan agar guru swasta mendapatkan gaji minimal senilai upah minimum kabupaten/kota (UMK) tempat tinggalnya.

”Dengan begini, guru bisa meningkatkan kinerja dan profesionalisme dalam menjalankan tugasnya,” terang politikus Partai Keadilan Sejahtera (PKS) itu.
Hetifah Sjaifudian, wakil ketua komisi X yang lain, mendukung peningkatan kesejahteraan guru. Termasuk bagi guru swasta. Karena itu, dia berharap persoalan guru-guru honorer yang berstatus kategori dua (K-2) segera diselesaikan. Jumlahnya 250 ribu orang.

DPR meminta mereka diangkat sebagai pegawai pemerintah dengan perjanjian kerja (PPPK). ”Dengan begini, kan soal kesejahteraan guru swasta pelan-pelan bisa tertangani,” ujar Hetifah.

Selain revisi UU Guru dan Dosen, Komisi X DPR berencana merevisi UU 20/2003 tentang Sistem Pendidikan Nasional (Sisdiknas). Menurut Hetifah, UU tersebut sudah saatnya diubah karena tidak sesuai lagi dengan perkembangan zaman.

”Ada sejumlah poin yang akan kami ubah. Tahun 2003 itu kita belum mengenal pendidikan anak usia dini (PAUD),” ungkapnya.

Revisi juga menjangkau masa wajib belajar. Tidak hanya sampai 9 tahun, melainkan menjadi 12 tahun. UU Sisdiknas juga akan dikaitkan dengan perkembangan revolusi industri 4.0. ”Agar dunia pendidikan semakin kekinian,” tegas politikus Golkar itu.

Sumber: jawapos
Editor: Luhut Simanjuntak

Related Articles

Latest Articles