7.9 C
New York
Friday, April 19, 2024

IPW: Waspadai Aksi Teror Jelang Akhir Tahun

Medan, MISTAR.ID

Polisi belum juga berhasil menangkap gerombolan Mujahidin Indonesia Timur (MIT) pimpinan Ali Kolara yang membunuh empat warga Kabupaten Sigi, Sulawesi Tengah dan membakar enam rumah serta satu gereja. Padahal aparat keamanan telah seminggu memburu kelompok yang diperkirakan berjumlah 20 orang ini.

Menurut Indonesia Police Watch (IPW), informasi yang mereka terima setelah melakukan aksi teror kelompok Ali Kolara kembali bersembunyi di hutan lebat Sulteng. “Sementara aparatur kepolisian yang ditugaskan memburu tidak berpengalaman di medan tempur hutan belantara”, kata Neta S Pane, Ketua Presidium IPW, kepada Mistar, Kamis (3/12/20).

Dikatakannya, dalam medan tempur ada tiga katagori, hutan, gunung, dan perkotaan. Masing masing medan berbeda situasi dan karakteristiknya, sehingga strategi, stamina fisik personil, mental, dan peralatan yang harus dimiliki aparat juga harus berbeda.

Baca juga: Diduga Teroris Perempuan Pengobat Alternatif Diamankan Densus 88

Personil kepolisian yang tidak punya pengalaman di medan hutan, pasti takut untuk masuk hutan memburu Ali Kolara cs. Mereka hanya berada di luar hutan hingga waktu penempatannya di Poso berakhir dan akhirnya pulang ke Jawa, katanya.

“Akibatnya, Ali Kolara cs yang 20 orang itu tidak akan pernah tertangkap. Sejak 2016 mereka bebas menebar teror di Sulteng,” tandas Neta.

Ia minta Mabes Polri perlu mengkonsolidasikan Brimob dan TNI yang memang punya pengalaman di medan tempur hutan, untuk memburu teroris MTI itu. Densus 88 sekali pun tidak punya pengalaman di medan tempur hutan. Mereka hanya piawai di perkotaan.

Mabes Polri, kata Neta, harus memberikan biaya operasional yang memadai, begitu juga insentif bisa diperoleh utuh untuk ditinggal di rumah, peralatannya dipenuhi agar memadai, dan ada reward yang jelas ketika mereka berhasil menghabisi kelompok MTI, misalnya bisa mengikuti pendidikan atau memegang posisi jabatan.

“Jika tidak ada jaminan soal keempat hal itu jangan harap Ali Kolara cs bisa “dihabisi”. Strategi inilah yang perlu diperhatikan, sehingga Mabes Polri tidak hanya sekadar “perintah kosong”, sementara mereka melihat teman temannya yang bertugas di belakang meja, di kota kota di Jawa bisa sekolah dan gampang dapat jabatan empuk,” ujarnya lagi.

Baca juga: Terduga Teroris Jaringan JI Diringkus Densus 88

IPW menilai kasus Sigi semakin menunjukkan kelompok radikal dan garis keras keagamaan yang bersekutu dengan terorisme makin bercokol kuat di Indonesia. Sekecil apapun celah, mereka gunakan untuk membuat teror. Untuk itu Polri perlu bekerja cepat dan membuat strategi taktis untuk menangkap dan membongkar jaringan MTI.

“Apa yang mereka lakukan di Sigi seperti sebuah sinyal bahwa kelompok radikal terorisme itu akan kembali menebar teror di berbagai tempat,” tambah Neta.

IPW minta Mabes Polri perlu mewaspadai akan munculnya aksi terorisme menjelang akhir tahun ini. Dengan maraknya aksi kerumunan massa dan meluasnya gerakan intoleransi akhir-akhir ini telah membuat kalangan radikal dan jaringan terorisme seakan mendapat angin untuk kembali beraksi secara masif.

Dari pendataan IPW, simpatisan ormas yang sering melakukan kerumunan massa pernah ada yang terlibat dalam aksi terorisme. Di tahun 2017 jumlah mereka yang ditangkap Polri mencapai 37 orang dari berbagai daerah, mulai dari Aceh, Jawa Tengah, Sulawesi Tengah dan lainnya.

Beberapa di antaranya sempat ditahan di Nusa Kambangan, Gunung Sindur Bogor dan LP lainnya. Namun kini mereka sudah bebas dan tidak terlacak keberadaannya. Keterlibatan mereka dalam aksi terorisme mulai dari menyembunyikan buronan terorisme hingga melakukan aksi teror itu sendiri.

Baca juga: Ancaman Bagi HAM, Perpres Terorisme Ditolak

Di khawatirkan dengan meluasnya aksi-aksi kerumunan massa dan gerakan intoleransi belakangan ini membuat mereka kembali bermanuver dan melakukan aksi teror.

Saat ini jumlah narapidana terorisme yang tersebar di sejumlah lembaga pemasyarakat lebih dari 500 orang. Napi terorisme yang sudah bebas dan selesai menjalani hukuman dibina pemerintah melalui program deradikalisasi. Namun para mantan napi yang tidak terlacak keberadaannya memang perlu diwaspadai agar tidak bermanuver untuk melakukan aksi teror kembali.

Kabaintelkam Polri perlu bekerja ekstra keras mencermati hal ini agar jajaran kepolisian tidak kecolongan. “Sebab dalam kerumunan massa akhir akhir ini, terutama menjelang kedatangan Rizieq, Baintelkam Polri seperti kecolongan karena tidak membuat pemetaan konfrehensif bahwa seperti apa antisipasi yang perlu dilakukan Polri,” katanya.

Aksi aksi kerumunan massa seperti terbiarkan dan tidak terantisipasi oleh Baintelkam, sehingga tidak hanya melanggar protokol kesehatan tapi aksi kerumunan massa itu sempat mengganggu jadwal penerbangan di bandara Soetta dan kemacetan parah di berbagai tempat.”Menjelang akhir tahun ini Baintelkam Polri perlu memetakan situasi dan kondisi yang ada sehingga situasi Kamtibmas benar benar terkendali,” tutup Neta. (edrin/hm09)

Related Articles

Latest Articles