7.6 C
New York
Friday, April 26, 2024

Ustadz Ali SPd.I , Sertifikat Perkawinan Jangan Jadi Proyek

Pematangsiantar | MISTAR.ID – Wacana syarat sertifikat menikah bagi pasangan yang hendak menikah, masih menuai kontroversi di tengah-tengah masyarakat. Salah satunya dari
Ustadz Ali SPd.I Menurutnya, sertifikasi tersebut tidak dijadikan syarat untuk bisa menikah dan malah dijadikan proyek mencari keuntungan pribadi bagi oknum tak bertanggungjawab.

“Dalam agama Islam pun sertifikasi itu tidak diperlukan sekali. Karena selama ini Kantor Urusan Agama (KUA) telah memberikan pendidikan pra nikah kepada calon pengantin. Sebenarnya sampai saat ini saya belum mengetahui apa alasan pemerintah membuat sertifikat pranikah itu. Nantinya ada pihak-pihak tertentu yang membuat kebijakan ini menjadi proyek,” katanya ketika ditemui Harian Mistar di sekolah tempatnya mengajar di Yayasan Perguruan Keluarga (YPK) Pematangsiantar, Senin (18/11/19).

Sebenarnya, lanjut Ustadz Ali, jika pemerintah ingin membuat sertifikasi atau kursus pernikahan, hal itu juga ada di kantor keagamaan, seperti BP4 dan penyuluh pernikahan.

“Lalu buat apa diadakan kursus lagi? Sayang uang negara terbuang begitu saja. Mungkin selama ini kegiatan akad nikah hanya sebuah seremonial saja, tapi pernikahan tersebut juga disertai nasehat pernikahan. Jadi diperlukan pemahaman yang lebih dalam lagi tentang hidup berumah tangga yang baik. Tapi jangan menghambat atau menunda pernikahan gara-gara harus punya sertifikat dahulu,” ungkap Ustadz Ali.

“Silakan saja dilaksanakan, tapi lebih baik lagi jika program ini tidak hanya ditujukan untuk pasangan yang akan mau menikah, tetapi juga kepada warga yang akan menikah dikemudian hari. Jadi ada pendidikan buat mereka apabila suatu saat akan menjalani bahtera rumah tangga nantinya,” paparnya.

Perlu Dikaji Ulang

Wacana ini ternyata mendapat reaksi dari Pesekutuan Gereja-Gereja Indonesia (PGI) dan Majelis Ulama Indonesia (MUI) Sumatera Utara.

Ketua PGI Sumut, Pendeta Darwis Manurung mengatakan, kebijakan tersebut perlu dikaji kembali, karena dikhawatirkan akan menyulitkan pasangan yang hendak menikah.

“Bimbingan pranikah itu memang perlu bahkan wajib. Tapi tujuannya bukan untuk dapat sertifikat lulus atau tidak lulus,” katanya, Senin (18/11/19) di Medan.
Gereja sendiri sejauh ini telah menerapkan bimbingan pranikah. Para calon pengantin diwajibkan mengikuti pertemuan reguler dengan pendeta. Penerapan ‘kelas’ bimbingan ini dimasing-masing gereja berbeda-beda. Ada yang selama tiga bulan, enam bulan atau hanya empat kali pertemuan.

Pada intinya, para calon pengantin diberi bimbingan mengenai membangun rumah tangga yang baik, hubungan yang harmonis hingga mengurus dan membimbing anak sebagai masa depan.

Bimbingan rohani seperti ini sudah dilakukan gereja sejak lama. Para calon pengantin juga diberi bimbingan mengenai hakekat pernikahan itu seperti apa.
Salah kaprah jika calon pengantin diminta untuk harus lulus dan mendapat sertifikat sebelum menikah. Jika tak lulus, maka tak jadi nikah. “Justru yang bertanggungjawab itu sebenarnya pemerintah dan paling utama adalah lembaga keumatan, seperti gereja dan lainnya yang harus membimbing para calon pengantin,” tegasnya.

Sebab, jika calon pasangan sampai batal menikah, maka negara dianggap melanggar hak asasi. Lagian, Indonesia telah memiliki undang-undang pernikahan yang selama ini sudah baik. Yang dilarang itu adalah pernikahan anak atau pernikahan usia dini.

“Tapi kalau untuk pasangan yang sudah cukup umur dan punya komitmen untuk menikah, tak usahlah dipersulit dengan sertifikat,” tambahnya.

Sekretaris MUI Sumut, Ardiansyah juga mengkonfirmasi hal serupa. Menurut dia, kelas bimbingan pranikah sudah ada di Kantor Urusan Agama (KUA) di tiap kecamatan. “Jadi penerapan kelas bimbingan ini yang seharusnya diperkuat,” tegasnya.

Dia mengatakan, adanya keharusnya mendapat sertifikat itu malah kontraproduktif dengan program pemerintah selama ini yang ingin memotong alur birokrasi yang panjang. Adanya kebijakan ini jutsru menambah pekerjaan dan alur birokrasi makin panjang.

Dua pemuka agama ini sepakat rencana kebijakan tersebut perlu dikaji ulang bahkan lebih baik dibatalkan. Lagian, sertifikat itu tak bisa menjamin bahwa pasangan baru yang terbentuk, tak bisa pecah atau bercerai. “Wacana ini perlu dikaji lebih mendalam, lebih hati-hati. Khawatirnya justru membuat calon pengantin malah kesulitan,” pungkasnya.

KKP

Terpisah, saat wartawan Harian Mistar mendatangi Kantor Paroki ST Joseph di Jalan Kain Batik, Pematangsiantar, Kantor Paroki ini tengah menggelar Kursus Persiapan Perkawinan (KPP) yang dilaksanakan 2 kali dalam sebulan, yakni pada minggu pertama dan ketiga tiap bulannya.

Senin (18/11/19), ada beberapa pasangan yang tampak menunggu antrian untuk masuk ke ruangan konseling, yang berlapis kaca tembus pandang. Di rungan ini nantinya para calon pengantin pria dan wanita akan ditanyai layak atau tidaknya calon pengantin tersebut menikah.

Salah satu pasangan calon pengantin yang diwawancarai Mistar adalah Olmes Siringoringo (33) dan Stevani Silaban (23). Menurut Olmes, kursus ini sangat bermanfaat buatnya, sebab dari sini dia mengetahui bahwa pernikahan itu tidak main-main.

“Nantinya kami akan ditanyai bersamaan pada pastor yang ada di dalam ruangan itu. Disitu pastor menyatukan jawaban kami ketika ditanyai satu persatu. Proses menuju ke sini juga tidak gampang,” jawabnya.

Olmes dan Stevani sudah tiga hari berada di paroki tersebut. Dia dan beberapa pasangan lainnya menginap di area kantor paroki. Menurut Pastor RD Marianus GA Kedaung, yang turut melakukan konseling, para calon pengantin ini sudah melakukan kursus pernikahan selama tiga hari.

“Kami menyediakan tempat tinggal buat yang rumahnya berada jauh dari Siantar. Hari ini adalah tanya jawab dalam penyelidikan kanonik, ucapnya.
Dalam kursus pernikahan tersebut isinya tentang moralitas perkawinan, ekonomi rumah tangga, kesehatan keluarga, dan umat beriman kristiani, perkawinan dari sudut pandang gereja katolik.

“Syarat Untuk melakukan kursus pernikahan yaitu, membawa surat dari lurah, fotocopy surat baptis, fotocopy akte kelahiran, fotocopy kartu KK gereja masing-masing,” ucap Pastor Marianus.

Setelah kursus pernikahan dan juga penyelidikan kanonik, selanjutnya dilakukanlah pemberkatan pernikahan. Pendaftaran tanggal pernikahan bisa dilakukan pada saat mendaftarkan Kursus Persiapan Pernikahan (KKP).

Reporter: Yetty/Roland/Daniel
Editor: Luhut Simanjuntak

Related Articles

Latest Articles