7.4 C
New York
Thursday, April 25, 2024

Tren Penggunaan “Influencer” Pemerintah, Ini Yang Dikhawatirkan

Jakarta, MISTAR.ID
Indonesia Corruption Watch ( ICW) mengungkap pemerintah sudah menggelontorkan anggaran sebesar Rp 90,45 miliar untuk aktivitas digital yang melibatkan jasa influencer. Belanja jasa influencer oleh pemerintah terus menanjak sejak 2017 hingga 2020. Dalam kurun waktu tersebut,

ICW menilai Pemerintahan Presiden Joko Widodo sebagai rezim humas. Pasalnya, pemerintah dianggap pandai “bersolek” di dunia maya dengan mengerahkan para influencer. ICW menelusuri situs Layanan Pengadaan Secara Elektronik (LPSE) milik 34 kementerian, 5 lembaga pemerintah nonkementerian dan 2 instansi penegak hukum yaitu Polri dan Kejaksaan Agung.

Dari penelusuran itu ditemukan pengadaan aktivitas yang melibatkan influencer terus berkembang, dengan total pengadaan sebanyak 40 paket sepanjang 2017-2020. “Di tahun 2014, 2015 dan 2016 kami tidak menemukan kata kunci itu. Mulai ada penggunaannya di tahun 2017, hingga akhirnya meningkat di tahun berikutnya,” kata Egi.

Baca juga: Jelang Pilkada 2020, Mendagri Harapkan Influencer di Medsos Angkat Isu Covid-19

Egi menuturkan, instansi dengan anggaran pengadaan jasa influencer adalah Kementerian Pariwisata dengan nilai Rp 77,6 miliar untuk 22 paket pengadaan jasa. Instansi lain yang menggunakan jasa influencer yakni Kementerian Pendidikan dan Kebudayaan (Rp 1,6 miliar untuk 12 paket), Kementerian Komunikasi dan Informatika (Rp 10,83 miliar untuk 4 paket), Kementerian Perhubungan (Rp 195,8 juta untuk 1 paket), serta Kementerian Pemuda dan Olahraga (Rp 150 juta untuk 1 paket).

Baca juga: ICW Kritik Pembahasan Kenaikan Gaji Pimpinan KPK

Egi mencontohkan, Kemendikbud menggunakan jasa influencer untuk menyosialisasikan Penerimaan Peserta Didik Baru (PPDB).

Dalam lampiran yang ditunjukkan Egi, Kemendikbud mengucurkan dana Rp 114,4 juta untuk membayar artis Gritte Agatha dan Ayushita W.N serta Rp 114,4 juta untuk Ahmad Jalaluddin Rumi dan Ali Syakieb. Sementara, Kemenpar menghabiskan Rp 5 miliar untuk pengadaan berjudul Publikasi Branding Pariwisata Melalui International Online Influencers Trip Paket IV.

Anggaran untuk aktivitas digital Anggaran Rp 90,45 miliar yang disediakan untuk jasa influencer hanyalah sebagian kecil dari Rp 1,29 triliun yang dibelanjakan Pemerintah untuk aktivitas digital sejak 2014 lalu. Menurut Egi, angggaran Rp 1.29 triliun itu dapat membengkak bila penelitian dilakukan dengan mengecek dokumen anggaran sebagai bahan data atau mencantumkan LPSE institusi lainnya.

“Tidak menutup kemungkinan sebetulnya secara jumlah ini lebih besar. Kalau tadi jumlahnya Rp 1,29 triliun bisa jadi jumlahnya lebih besar dari itu, belum lagi kalau ditambah pemerintah daerah,” kata Egi.

Egi mengungkapkan, paket pengadaan untuk aktivitas digital yang terbanyak terkait media sosial, yakni 68 paket pengadaan dengan nilai Rp 1,16 triliun. Berdasarkan data ICW, Polri merupakan instansi dengan nilai paket pengadaan terkait aktivitas digital terbesar, Rp 937 miliar untuk 12 paket pengadaan. Instansi lain yang banyak menggelontorkan anggaran untuk untuk aktivitas digital antara lain, Kementerian Pariwisata, Kementerian Keuangan, serta Kementerian Komunikasi dan Informatika.
“Kalau kita lihat data-data tadi, kita bisa menyimpulkan bahwa sebenarnya Pemerintah telah dan nantinya menggelontorkan anggaran publik dalam jumlah besar terkait aktivitas digital,” kata Egi.

Kekhawatiran di balik pengerahan influencer Egi menuturkan, penggunaan jasa influencer tidak melulu menjadi masalah karena sudah lazim digunakan oleh banyak perusahaan. Namun, dalam konteks pemerintahan, ada sejumlah catatan yang harus diberikan, antara lain soal transparansi anggaran, tujuan penggunaan jasa influencer, serta alasan pemilihan seorang influencer.

“Perlu juga kita pertanyakan bagaimana pemerintah sebetulnya menentukan individu yang layak dijadikan influencer, dan kenapa itu dicantumkan dalam awal paket pengadaan, karena ini akan terkait dengan segi akuntabilitas juga,” kata Egi.

Di sisi lain, meningkatnya tren pengunaan influencer sekaligus mencerminkan pemerintah tidak percaya diri dengan kebijakan-kebijakannya. Pengerahan influencer juga dikhawatirkan akan menjadi jalan pintas bagi pemerintah untuk memengaruhi opini publik atas sebuah kebijakan yang kontroversial. Menurut Egi, hal itu akan membuat proses demokrasi menjadi tidak sehat karena para influencer berpotensi menutup ruang percakapan publik .

“Dia (influencer) bisa mengaburkan substansi kebijakan yang telah disusun, dan pada ujung akhirnya berakibat pada tertutupnya ruang percakapan publik tentang kebijakan itu,” kata Egi.

Ketua Yayasan Lembaga Bantuan Hukum Indonesia (YLBHI) Asfinawati menambahkan, pengerahan influencer atau buzzer dapat menipu publik apabila tidak menginformasikan bahwa materi unggahannya itu berbayar dan bukan pendapat pribadi.

“Yang masalah dengan dengan influencer atau buzzer, publik itu tidak bisa membedakan mana yang pendapat pribadi atau mana yang iklan. Mungkin beberapa orang bisa mengira-ngira tapi lebih banyak yang tidak,” kata Asfinawati.

Hal berbeda ditunjukkan media massa seperti televisi atau radio yang memberi batas jelas antara siaran yang bersifat berita dan siaran iklan.

“Pemisahan yang tegas antara mana yang iklan, mana yang pesanan dan mana yang genuine, itu yang sulit kita temukan akhir-akhir ini dengan fenomena influencer atau buzzer ini,” kata Asfinawati. (kompas/hm06)

Related Articles

Latest Articles