7.5 C
New York
Friday, March 29, 2024

Sejarawan USI, Dr. Hisarma Saragih, S.Hum, J Wismar Saragih Layak Disebut Pahlawan

Siantar | MISTAR.ID – Pakar sejarah Universitas Simalungun (USI), Dr. Hisarma Saragih S.Hum, menegaskan J Wismar Saragih layak disebut sebagai pahlawan. Alasannya, J Wismar telah memperjuangkan sebuah lembaga dan samapai sekarang lembaga itu tetap dipertahankan. Lembaga itu adalah Gereja Kristen Protestan Simalungun (GKPS).

Hisarma menyebut, pahlawan adalah orang yang berjasa pada banyak orang, dan sudah melakukan banyak perjuangan. Hasil Perjuangan itu dikenang oleh masyarakat banyak bagi agama, suku, bangsa dan negara.

Diceritakan J Wismar adalah seorang pendeta dan merupakan pendeta pertama dari suku Simalungun. Sebagai pendeta, J Wismar memimpin orang – orang Simalungun sekaligus menggaungkan rasa etnisitas Simalungun di mana-mana.

Lahir di tengah keluarga lumayan. Ayahnya merupakan kepercayaan raja. Ketika itu, datang Badan Zending RMG (Rheinische Missions-Gesselschaft) ke Indonesia. Badan ini pertama kali datang ke Tapanuli. Di daerah itu didominasi etnis etnis Toba. RMG pun banyak mengkristenisasikan suku Toba. Kemudian badan zending melihat ada suku lain selain Toba, yakni Simalungun.

Akhirnya kelompok zending RMG itu datang ke Pematang Raya yang dipimpin oleh pendeta August Theis. RMG meminta izin kepada raja Raya untuk membuka sekolah, mendirikan gereja, dan membuat rumah sakit. Tujuan zending ini menyebarkan agama kristen, memberi pengobatan bagi yang sakit, memberi pendidikan supaya orang – orang Simalungun itu bisa membaca huruf latin. Sebelumnya masyarakat Simalungun menggunakan huruf lak-lak.

Ketika itu, J Wismar merupakan salah satu orang yang ikut mendaftar di sekolah zending tersebut. “Dia berharap nantinya bisa memajukan Simalungun,” kata Hisarma.

Tahun 1910 J Wismar masuk zending. Selanjutnya, J Wismar sempat bekerja di pemerintahan kolonial Belanda. Saat itu Belanda menjajah Indonesia termasuk Pematang Raya. J Wismar melihat bahwa yang berada di tempat ia bekerja adalah orang – orang Toba. Diapun mulai berfikir bahwa untuk memajukan Simalungun dapat dilakukan melalui agama, yakni agama kristen protestan. Akhirnya J Wismar berhenti bekerja lalu mendaftar sekolah pendeta di Sipoholon. Di sekolah itu J Wismar merupakan orang pertama asal suku Simalungun.

Setelah tamat dari sekolah pendeta, J Wismar banyak membandingkan peradaban yang ada di Toba dengan sukunya Simalungun. Dia berfikir bahwa bangsa Simalungun sudah banyak ketinggalan dari suku Toba. Menyadari hal itu J Wismar berkomitmen akan mengangkat harkat orang Simalungun menjadi sebuah bangsa yang beradab dan maju. Orang Simalungun harus mempunyai identitas, supaya orang Simalungun itu bangga menjadi orang Simalungun, begitu komitmennya.

Menurut Hisarma, waktu itu gereja kristen pertama yang ada adalah HKBP. Tentu saja bahasa dan bahan yang digunakan dalam penginjilan menggunakan bahasa Toba. Ketika dilakukan penginjilan di Simalungun, banyak kata-kata dalam penginjilan yang bertentangan dengan suku Simalungun. Misalnya, ada kata – kata yang tertulis dalam penginjilan menurut orang Toba merupakan hal yang biasa, tapi di kalangan suku Simalungun merupakan kata pantang atau tidak baik untuk diucapkan. “Sehingga terjadilah kesalahpahaman antara penginjil dan suku Simalungun. Akhirnya orang – orang Simalungun merasa enggan untuk beralih agama ke kristen,” terangnya.

Mendapat tantangan itu, D Wismar berusaha agar bahasa Simalungun digunakan dalam penginjilan di Simalungun. J Wismar sendiri mulai menterjemahkan alkitab dari bahasa Toba ke bahasa Simalungun sampai ke percetakan. Tahun 1928 Wismar mulai membagikan kitab Injil yang sudah direvisi tadi ke bahas Simalungun.

Tahun 1953 HKBP memberikan pengakuan kepada suku Simalungun membentuk distrik pelayanan sendiri. Maka lahirlah HKBPS (Huria Kristen Batak protestan Simalungun). Pdt J Wismar adalah orang yang pertama menjadi wakil ephorus. Ephorus dipegang oleh HKBP. Tapi Wismar tak berhenti berjuang, dia terus mengajak teman-teman pendeta Simalungun melakukan penginjilan supaya di Simalungun tercipta gereja sendiri.

Pada tahun 1964, lahirlah Gereja Kristen Protestan Simalungun (GKPS) yang merupakan identitas orang Simalungun sampai sekarang. Pada tahun itu juga Wismar ikut menandatangani surat pernyataan dari HKBP kepada GKPS untuk berdiri sendiri. Dengan kata lain, “Manjahema Gereja Simalungun, humbani gereja HKBP,” sebut Hisarma.

Hisarma yang bergelar Doktor bidang ilmu sejarah ini mengatakan berdasarkan fakta-fakta sejarah tadi, J Wismar merupakan penyelamat identitas Simalungun terutama dalam hal kekristenan. Disebutkan, J Wismar dalam pelayanannya sebagai pendeta, selalu mendorong agar orang Simalungun melestarikan budaya Simalungun seperti pakaian adat Simalungun “gotong dan bulang”, dan mengenakannya di setiap acara di gereja ataupun di mana saja.

Di zaman yang sudah serba modern dengan teknologi yang semakin canggih saat ini, budaya Simalungun sudah mulai hilang. Hisarma mencontohkan seperti bahasa Simalungun yang sudah mulai memudar. Contohnya, di Pematang Raya, bahasa Simalungun tidak lagi sebagai bahasa sehari-hari lagi. Anak – anak pun sudah mulai terkontaminasi budaya barat. “Tapi untung ada gereja yang tetap menggunakan bahasa Simalungun. Kitab Bibel pun masih tetap bahasa Simalungun. J Wismar selalu mengatakan :” jangan mengaku sebagai orang Simalungun, kalau tidak bisa bahasa Simalungun”, inilah yang tetap saya ingat,” kata Hisarma.

Hisarma menjelaskan, UUD 1945 mengamanatkan jangan ada hilang budaya yang ada di Nusantara ini. Budaya daerah merupakan kekayaan dalam menyokong budaya nasional. Karena itu, jika budaya Simalungun hilang, suku Simalungun, orang Sumatera Utara, dan bangsa Indonesia, akan rugi besar. Katanya, banyak kekayaan budaya yang dimiliki suku Simalungun.

Reporter: Yetti Damanik
Editor: Mahadi

Related Articles

Latest Articles