12.6 C
New York
Friday, May 3, 2024

PEMA USU Minta Pemerintah Kaji Ulang Permenaker No 2 Tahun 2022

Medan, MISTAR.ID

Pemerintahan Mahasiswa (PEMA) Universitas Sumatera Utara (USU) menilai, Keputusan Menteri Ketenagakerjaan Ida Fauziyah yang menunda pencairan dana Jaminan Hari Tua (JHT) hingga peserta berusia 56 tahun, cacat logika.

Presiden Mahasiswa (Presma) USU M Rizky Fadillah mengatakan, JHT dikumpulkan dari upah pekerja bukan berasal dari uang negara. Sehingga, pemerintah tidak punya hak untuk menahan dana tersebut.

“Aturan itu jelas mengabaikan kondisi riil sekarang. Di tengah pandemi Covid-19 yang merontokkan pelbagai sektor industri, nasib para pekerja serba tidak pasti. Mereka bisa sewaktu-waktu terkena ataupun mengundurkan diri dan pensiun dini,” ujarnya, Senin (28/2/22).

Baca Juga:Spanduk Penolakan Permenaker JHT Terpampang di Kantor Disnaker Sumut

Rizky mengatakan, Peraturan Menteri Ketenagakerjaan Nomor 2 Tahun 2022 yang terbit pada 4 Februari 2022 lalu menyebutkan, JHT merupakan manfaat uang pemutusan hubungan kerja, diminta berhenti, tunai yang dibayarkan sekaligus pada saat peserta memasuki usia pensiun, meninggal dunia, atau mengalami cacat total tetap.

“Kementerian Ketenagakerjaan berargumen kebijakan tersebut untuk mengembalikan fungsi jaminan hari tua sebagai manfaat bagi pekerja setelah pensiun. Menurut Kementerian, mereka yang terkena pemutusan hubungan kerja sudah ada program baru yakni Jaminan Kehilangan Pekerjaan (JKP),” sebutnya.

Rizky menegaskan, penjelasan itu tidak mengindahkan kondisi di lapangan karena kriteria untuk mendapatkan JKP sungguh rumit. Rizky menilai, tidak semua perusahaan mampu ataupun mau memenuhi kewajiban tersebut di tengah ketidakpastian usaha.

Baca Juga:Peluncuran Program JKP Batal, Jokowi Minta Peraturan JHT Disederhanakan

“Masalah lain, jaminan kehilangan pekerjaan hanya berlaku bagi mereka yang terkena pemutusan hubungan kerja (PHK). Sementara pekerja yang kontraknya habis, mengundurkan diri dan pensiun dini, tidak mendapatkan fasilitas tersebut,” ungkapnya.

Padahal, kata Rizky, menurut data Badan Pusat Statistik (BPS), dari sekitar 15 juta orang yang kehilangan pekerjaan pada 2020, hanya 13,13 persen korban PHK, 14,35 persen habis kontrak dan sisanya berhenti bekerja karena berbagai alasan.

“Alhasil, program JKP hanya akan bisa didapatkan oleh segelintir kehilangan pekerjaan. Jumlah yang mereka terima pun tergolong kecil dan hanya enam bulan. Tiga bulan pertama 45 persen dari upah sebulan (dengan perhitungan maksimal upah Rp 5 juta) dan 25 persen dari upah sebulan untuk tiga bulan berikutnya. Bagaimana jika sampai lebih enam bulan korban PHK itu belum mendapat pekerjaan,” ucapnya.

Baca Juga:Menaker Temui Buruh dan Tampung Aspirasi Terkait JHT

Rizky menegaskan, harusnya JHT bisa dicairkan seperti aturan sebelumnya baik pekerja korban PHK maupun mereka yang mengundurkan diri, agar mereka bisa menggunakan uang itu untuk membuka usaha dan kegiatan produktif demi menopang hidup.

“Aturan pencairan JHT pada usia 56 tahun menggunakan logika sesat. Pemerintah seolah-olah bercita-cita pekerja sejahtera pada usia tua. Padahal, pemerintah sedang menjerumuskan pekerja dan keluarganya dalam kemelaratan di usia muda,” tukasnya.

Untuk itu, kata Rizky, PEMA USU menyatakan menolak disahkannya Permenaker No 2 Tahun 2022 dan juga mengecam untuk dibatalkannya Permenaker tersebut. “Kita menuntut pemerintah untuk meninjau ulang hasil Permenaker No 2 Tahun 2022, agar pemerintah bisa mewujudkan pekerja sejahtera dan berkeadilan,” tegasnya.(ial/hm10)

Related Articles

Latest Articles