7.7 C
New York
Monday, March 25, 2024

Ini Cara Leluhur Sunda Selamatkan Warga di Krisis Pangan

Bandung,MISTAR.ID

Wabah virus corona di dunia khususnya Indonesia memukul berbagai aspek kehidupan, di antaranya ekonomi. Perusahaan tidak bisa beroperasi maksimal, merumahkan karyawan, peningkatan pengangguran, angka kemiskinan meningkat, dan yang cukup menghantui adalah ketahanan pangan di masa krisis.

Bagi masyarakat Sunda, ketahanan pangan menjadi hal yang krusial. Itulah mengapa, setiap rumah di masa lalu memiliki leuit atau lumbung padi untuk menyimpan hasil panen. Persediaan ini akan sangat berguna saat paceklik atau terjadi wabah seperti sekarang. Bagi masyarakat tidak mampu, orang Sunda mengenal budaya beas perelek.

Budayawan asal Jawa Barat, Dedi Mulyadi mengatakan, beas perelek merupakan bagian budaya Sunda yang harus dijaga dan dilestarikan. Ini juga merupakan bukti kepedulian kepada sesama. “Beas perelek itu spirit kasih sayangnya orang sunda.

Tradisi itu terbangun dalam dunia pertanian secara sistemik tanpa masuk dalam formalisme berbentuk aturan,” ujar Dedi saat dihubungi Kompas.com, belum lama ini.

Seperti saat orang Sunda akan menanam padi. Biasanya mereka menggelar selamatan tanpa berpikir akan panen, untung atau tidak. Begitu juga ketika panen dan padi masuk leuit, orang Sunda melakukan selamatan lagi.

“Padi yang baru akan masuk leuit. Untuk dikonsumsi, orang Sunda akan mengambil padi yang sudah lebih lama di dalam leuit,” tuturnya.

Ketika memasak nasi, orang Sunda harus mengingat orang lain. Itulah alasan mereka menyisihkan segenggam beras setiap menanak nasi. Genggaman beras tersebut disimpan dalam ruas bambu yang ada di depan rumah. Beras yang ada dalam ruas bambu di tiap rumah itu nantinya akan dikumpulkan. Setelah terkumpul, beras digunakan untuk menyelesaikan kekurangan pangan di masyarakat. Inilah yang disebut beas perelek.

“Beras ini akan diberikan pada orang miskin, orang tua yang tidak memiliki penghasilan. Intinya untuk memenuhi pangan di daerah tersebut,” paparnya.

Namun, bagi daerah yang berkecukupan, beras tersebut bisa dijual untuk keperluan kampung. Misalnya membeli kursi, katel, wajan, seng, untuk keperluan dapur umum ketika ada acara kampung ataupun datang musibah.

Antropolog dari Universitas Padjadjaran (Unpad) Bandung, Nanet Prihatini Ambaretnani, mengatakan beas perelek adalah warisan budaya nenek moyang masyarakat Sunda dari generasi ke generasi.

Menurut dia, beas perelek merupakan indigenous knowledge atau kearifan lokal untuk mengembangkan social capital bagi orang-orang yang membutuhkan, misalnya orang sakit, orang meninggal, dan kebutuhan-kebutuhan lainnya. “Jadi, masuk dalam prinsip gotong-royong. Diadopsi lagi pada masa sekarang untuk kesejahteraan masyarakat,” ungkapnya.

Tradisi yang dipertahankan di perdesaan hingga kini, budaya beas perelek masih dipertahankan sejumlah daerah, terutama di perdesaan. Salah satunya di Desa Kertajaya, Kecamatan Lakbok, Kabupaten Ciamis, Jawa Barat. Saat ini, warga desa tidak khawatir kekurangan pangan bila sesuatu yang buruk terjadi akibat corona.

Salah seorang warga, Asep Yana mengatakan, di kampungnya ada lahan padi seluas 270 hektar. Masyarakat kemudian menginisiasi lumbung pangan dengan mengumpulkan masing-masing 15 kg padi kering. Bila dikumpulkan kapasitasnya mencapai 30 ton. Untuk membantu sesama, relawan Rumah Zakat ini pun menginisiasi pengaktifan kembali beas perelek.

Sepekan sekali beas perelek diambil. Dalam 40 hari, total beas perelek di desanya mencapai 118 kg atau sekitar 1,5 ton beras per tahun.

“Sudah kembali diaktifkan beberapa tahun lalu setelah sebelumnya terhenti,” tutupnya.

Sumber : Kompas
Editor : Mahadi

Related Articles

Latest Articles