10.5 C
New York
Wednesday, April 24, 2024

BPJS Kesehatan Terus Defisit, Prakarsa: Perlu Pembiayaan Alternatif

Medan, MISTAR.ID

Badan Penyelenggara Jaminan Sosial (BPJS) Kesehatan terus mengalami defisit. Untuk itu, jika tidak dicari solusi maka defisit akan terus membengkak hingga dikhawatirkan program Jaminan Kesehatan Nasional (JKN) ditiadakan.

Diketahui, per 31 Desember 2019 defisit BPJS Kesehatan mencapai Rp15,5 triliun. Jumlah ini terus meningkat sejak tahun 2016 yaitu Rp 6 triliun menjadi Rp13,5 triliun tahun 2017. Karena itu, sebagai salah satu solusinya pemerintah menetapkan kenaikan iuran peserta BPJS Kesehatan pada semua kelas.

Direktur Eksekutif Perkumpulan Prakarsa Jakarta, AH Maftuhan mengungkapkan, defisit program JKN ini tidak bisa lepas dari berbagai faktor. Artinya, tidak ada faktor tunggal yang menyebabkan terjadinya defisit tersebut.

“Satu hal yang perlu digarisbawahi yaitu pemanfaatan program JKN sangat tinggi sekali oleh masyarakat. Tingginya pemanfaatan ini tidak bisa dilepaskan dari satu perubahan situasi yang sangat fundamental, yaitu sebelum adanya JKN dan setelah adanya JKN. Artinya, sebelum adanya JKN pelayanan kesehatan itu merupakan barang mahal, yang tidak mudah diakses dan dinikmati oleh masyarakat kecil. Nah, setelah adanya JKN maka akses menjadi lebih mudah dan kualitas pelayanan juga meningkat, sehingga masyarakat yang menjadi peserta memanfaatkannya secara besar-besaran,” ungkap Maftuhan diwawancarai di sela-sela acara bertajuk Desiminasi Penelitian Defisit JKN Mengapa dan Bagaimana Mengatasinya, yang digelar di Hotel Madani Medan, Kamis (5/3/20).

Menurut Maftuhan, faktor yang menyebabkan terjadinya defisit progam JKN tersebut yaitu karena terkadang masyarakat yang menjadi peserta BPJS Kesehatan tidak menyesuaikan dengan kondisi penyakit yang dideritanya. Sebagai contoh, masyarakat yang semestinya cukup datang ke klinik atau Puskesmas untuk mengatasi persoalan penyakit yang diderita. Akan tetapi, karena sudah merasa membayar sehingga memaksakan diri dirujuk ke rumah sakit. Terlebih, petugas di klinik atau Puskesmas tidak terlalu ketat dalam mengeluarkan rujukan tersebut alias masih longgar.

Kemudian, faktor lainnya yaitu kepatuhan masyarakat yang menjadi peserta dalam membayar iuran. Selanjutnya, jenis-jenis penyakit yang di-cover juga masih cukup komplit. Dengan kata lain, tidak ada batasan sehingga biaya klaim rumah sakit dan Fasilitas Kesehatan Tingkat Pertama (FKTP) sangat besar.

Faktor berikutnya, potensi fraud (kecurangan) yang masih cukup tinggi dan berada di seluruh tingkatan, tidak hanya berada di level penyelenggara tetapi juga masyarakat. Artinya, semua level berpotensi terjadi kecurangan sehingga mempengaruhi keberlanjutan pembiayaan program JKN.

“Intinya, jika kita ingin mendapatkan suatu kondisi JKN yang berkelanjutan maka kita perlu menyelesaikan paling tidak dua hal. Pertama, di aspek tata kelola JKN itu sendiri. Kedua, bagaimana mampu memobilisasi sumber-sumber pembiayaan alternatif yang bisa digunakan untuk menutup defisit sekaligus guna memastikan keberlanjutan program tersebut,” jelas Maftuhan.

Ia melanjutkan, jika dua hal itu tidak dilakukan pemerintah termasuk meminimalisir faktor-faktor penyebab defisit tersebut, maka tentu defisit yang terjadi seperti lingkaran setan, tidak bisa diputus. Di samping itu, harus memiliki sumber daya manusia yang memadai dalam keberlanjutan program JKN.

Sementara, Peneliti Perkumpulan Prakarsa Jakarta, Deni W Kurniawan mengatakan, benefit atau manfaat yang dirasakan dengan adanya program JKN sangat jauh dibanding cost atau biaya yang dikeluarkan. Untuk itu, jangan sampai program JKN ini berganti apalagi terhenti tetapi harus terus berjalan namun tetap dievaluasi sehingga semakin baik. “Progam JKN yang ada saat ini di Indonesia merupakan sistem yang paling bagus dibanding dengan negara-negara di dunia yang menerapkannya. Namun demikian, perlu terus ditingkatkan agar semakin baik,” kata Deni.

Lebih lanjut Deni mengatakan, pemanfaatan atau pembiayaan fasilitas layanan kesehatan yang ditanggung dalam program JKN akan terus meningkat setiap tahunnya. Data yang dihimpun saat ini, dari 100 persen jumlah peserta ternyata sekitar 5 persennya menggunakan layanan rawat inap. “Angka 5 persen ini tidak statis melainkan dinamis hingga 10 persen bahkan lebih. Hal ini berarti, klaim akan terus meningkatkan dan juga beban pembiayaan lainnya,” sebut Deni.

Oleh karena itu, sambung dia, sangat perlu sumber dana alternatif salah satunya yaitu melalui cukai. “Kalau sekarang cukai hanya dikenakan kepada rokok dan alkohol, maka bisa ditambah dengan produk lainnya. Apalagi, saat ini Menteri Keuangan Sri Mulyani tengah membidik sumber cukai baru dari minuman manis, plastik dan lain-lain. Hal ini diharapkan terus ditingkatkan,” imbuhnya.

Reporter: Saut

Editor: Edrin

 

Related Articles

Latest Articles