10.1 C
New York
Wednesday, April 24, 2024

Menelisik Biang Kerok Merebaknya Kasus Rasisme Anti-Asia di AS

Washington DC, MISTAR.ID

Di Amerika Serikat (AS) kejahatan rasial terhadap orang Asia dan keturunannya meningkat tajam. Fakta wabah pertama Covid-19 dilaporkan di Wuhan, China menjadi alasan.

AS adalah negara yang paling parah dihantam pandemi. Berdasarkan catatan Worldometer, jumlah pasien positif corona di Negeri Paman Sam per 23 Maret 2021 adalah 30.580.072 orang. AS menjadi negara dengan pasien positif corona terbanyak di dunia.

Total pasien positif corona di seluruh negara adalah 124.423.295 orang. Artinya, hampir satu dari empat orang yang terjangkit virus corona di seluruh dunia ada di Negeri Paman Sam.

Tidak hanya jumlah pasien, AS juga menjadi negara dengan korban jiwa terbanyak di dunia. Sudah 556.003 orang di AS meninggal dunia akibat serangan virus corona.

Baca Juga:Ratusan Warga Atlanta Protes Anti Asia

Stop AAPI Hate, organisasi yang melacak insiden kebencian dan diskriminasi terhadap orang Asia-Amerika dan Kepulauan Pasifik, mencatat setidaknya ada 500 insiden dalam dua bulan pertama tahun ini. Jika dilihat setahun terakhir, tentu angkanya lebih besar, mencapai 3.795 keluhan.

Mayoritas laporan mencatat 68% merupakan pelecehan verbal. Sementara 11% melibatkan serangan fisik.

Berbagai Kasus

Kasus terbaru, dua warga negara Indonesia (WNI) di Philadelphia, AS dikabarkan menjadi korban pengeroyokan oleh lima orang tak dikenal. Hal ini diketahui dari sebuah rilis yang dikeluarkan oleh komunitas masyarakat Indonesia di Philadelphia.

Mereka menuturkan, dua WNI telah dikeroyok di sebuah stasiun saat sedang menunggu keberangkatan kereta pada Minggu (21/3/2021) malam waktu setempat.

Tindakan kekerasan tersebut diduga sebagai kekerasan berbasis rasisme. Kedua remaja tersebut sebelumnya melaporkan mereka sudah ditarget oleh kelompok pengeroyok karena motif ras.

Lima hari sebelumnya, juga terjadi penembakan dan pembunuhan oleh warga Amerika terhadap delapan orang di area spa di Atlanta pada Selasa (16/3/2021) malam waktu setempat. Enam di antaranya adalah wanita Asia-Amerika.

Baca Juga:Tiga Panti Pijat Di AS Ditembaki, 8 Orang Tewas

Dalam beberapa minggu terakhir juga muncul beberapa laporkan kematian orang Asia di AS. Salah satunya pembunuhan seorang imigran Thailand berusia 87 tahun, Vichar Ratanapakdee, serta penyerangan brutal terhadap seorang pria berusia 67 tahun di San Francisco yang tidak disebutkan namanya secara publik.

Selanjutnya ada pemukulan terhadap seorang pria bernama Denny Kim berusia 27 tahun di Koreatown Los Angeles. Denny mengatakan para penyerangnya berteriak, “Kamu mengidap Virus China, kembali ke China”.

Pada tahun 2020, menurut data New York City Police Department (NYPD), ada 29 serangan bermotivasi rasial terhadap orang Asia-Amerika di New York City. Sebanyak 24 kasus di antaranya digambarkan memiliki “motivasi virus corona.”

Gelombang kekerasan yang meningkat terhadap orang Asia menuntun banyak orang ke arah motif rasial setelah berita tentang pembunuhan di wilayah Atlanta tersiar ke penjuru negeri.

Kronologi

Kasus rasisme terhadap orang Asia di Amerika tidak muncul baru-baru ini. Dilansir dari The Washington Post, kasus rasis terhadap Asia di Amerika sudah berlangsung sejak beberapa abad lalu.

Kiasan itu berasal dari tahun 1700-an, ketika para dokter Tiongkok membuat gambar epidemiologis terperinci dari korban cacar. Namun beberapa tahun kemudian, hal ini secara tidak masuk akal, malah diklaim oleh Prancis.

Ini diklaim sebagai bukti keunggulan pengobatan Eropa. Muncul gagasan rasis bahwa orang China adalah ras kotor dan pembawa penyakit mematikan.

Hal ini sangat miris. Karena pada saat yang sama, orang Eropa merupakan penderita cacar dan campak yang menyebabkan musnahnya populasi penduduk asli di seluruh Amerika dan Pasifik.

Baca Juga:Jelang Pelantikan Biden, Direktur CIA Gina Haspel Mundur

Pada abad ke-19, negara-negara Eropa, yang putus asa untuk mengeksploitasi kekayaan Asia, memaksa Jepang dan China dibuka. Mereka memulai perdagangan opium untuk sutra, teh, dan perak, dan ketika China berusaha mengakhirinya dengan membuat narkotika ilegal, kekuatan asing memulai dua Perang Candu berturut-turut.

Hilangnya China dari kedua perang tersebut membuka lebih jauh bagi kepentingan bisnis Eropa dan Amerika, yang menghidupkan kembali gagasan bahwa orang China lemah dan menderita.

Perang menggerakkan migrasi, dan stereotip ketidakmurnian dan kontaminasi mengikuti para migran ke Amerika, di mana mereka dipaksa ke permukiman terpisah secara rasial yang terkadang tumbuh menjadi Chinatown, Japantowns dan Filipino Towns.

Bertahun-tahun kebrutalan pun terjadi kepada warga Asia di sana. Pada tahun 1886 saja, massa membakar setidaknya selusin Chinatown di California hingga rata dengan tanah.

Serangkaian undang-undang yang disahkan juga dibuat untuk membatasi hak-hak sipil orang Asia-Amerika. Termasuk akses ke pendidikan, praktik budaya, dan aktivitas bisnis.

Terdapat pula undang-undang yang dimaksudkan untuk menegakkan kemurnian pria kulit putih atau white supremacist propaganda. California mengesahkan undang-undang anti-miscegenation yang melarang pernikahan antara orang kulit putih dan “negro, mulatto, atau Mongolia”.

Undang-undang semacam itu mencapai puncaknya pada Undang-Undang Pengecualian China tahun 1882. Itu untuk pertama kalinya undang-undang federal AS berupaya mengecualikan suatu kelompok etnis.(cnbcindonesia.com/hm01)

Related Articles

Latest Articles